CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Jumat, 10 September 2010

PUISI : Kepada Sebuah Bedug

" Sang Penabuh Bedug "
ilustrasi oleh: airbening21 dan model oleh: Atang


BEDUG



Dung .. Dung .. Dung ..
Suara bedug seperti sudah di pinggir telinga
Dung .. Dung .. Dung ..
Dan aku harus bersiap berlomba dengan hujan
Dung .. Dung .. Dung ..
Ternyata hanya degup jantung saja

Tapi, oh .. Rupanya ada ribuan bintang sujud hari ini
Bulan matahari mengemas doa senja kala
Lalu aku pun mengemas segala dosa
Dalam kata-kata maaf pujangga lara yang fana
Lebaran .. Bedug .. Takbir dan Tahmid ..
Dan aku merasa tak pernah jadi pemenang

Bedug dikaki matahari
Aku mendengarnya seperti tetesan gerimis,


Lebaran Di Bandung, 10 September 2010 - 1 Syawal 1431 H.






-------ooOoo-------

Kamis, 09 September 2010

MEMINTA MAAF : Catatan Lebaran 2010

" Tangan Dijabat "
ilustrasi oleh: hasil nemu dari google.com


CUCI TANGAN
Minal Aidin Wal Faidzin .. Mohon Maaf Lahir dan Bathin


- “.. sebab kita adalah makhluk yang bernama manusia, maka cukup manusiawi ketika kita agak susah untuk bercerita tentang hari ini dengan begitu ‘putih’ tanpa kita tidak teringat dengan hari kemarin, sebab masa lalu terkadang selalu menjadi bayangan setia kita menuju hari esok dan kita merasa perlu untuk belajar dari peristiwa itu ..” -

MANUSIA adalah makhluk yang ‘cerdas’, akhirnya saya harus berkata seperti itu. Ia akan senantiasa mencoba untuk mengambil keuntungan dari setiap apa yang terjadi dengan motif tertentunya. “Momen yang tepat ..”, manusia menyebutnya. Banyak hari-hari yang bisa dijadikan ‘kambing hitam’ sebagai momen subjektifnya. Tidak peduli itu adalah momen apapun akan ia gunakan sebaik mungkin. Bila perlu ia akan menunggu, walaupun sebenarnya ‘pekerjaan’ tersebut bisa ia lakukan saat itu juga, tapi karena ia perlu pembenaran dan alasan maka ia rela menunggu datangnya hari tersebut. Mungkin menurutnya itu lebih penting daripada esensi ‘pekerjaannya’, termasuk untuk urusan meminta maaf.

Meminta maaf (dan mungkin juga memberi maaf) adalah sesuatu yang sangat gampang. “gratis, gak perlu bayar .. mau ribuan kali juga gak apa-apa ..”, seorang kawan senior saya dulu yang anggota Wanadri pernah mengatakan itu. Disini kita bisa membayangkan bahwa berkata maaf itu memang sangat mudah dan murah. Tentu saja manusia sangat menyukai sesuatu yang mudah dan murah. Di Indonesia, hari raya Iedul Fitri alias lebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk mengobral kata maaf. Kekeliruan yang disengaja (terlebih yang tidak disengaja) selama satu tahun kebelakang ingin dihapus hari itu juga. Terlepas dari entah apakah esensi dari kesalahan itu sudah diluruskan dan diselesaikan atau belum. Yang penting minta maaf di hari lebaran dan putih bersihlah semuanya seperti bayi baru lahir. Enak sekali ..

Lalu saya mulai berpikir, “apakah memang segitu mudahnya?”. Pertanyaan ‘nakal’ saya mencoba menggugat banyak hal, tentang perilaku dan kecenderungan manusia untuk memanfaatkan momen demi sesuatu yang dirasa sangat sarat muatan kepentingan dirinya. Suatu pola untuk menjadikan dirinya kembali ‘tampak bersih putih’ dan bebas dari segala kesalahan, baik kepada sesama manusia maupun terhadap Tuhan. Perilaku ini saya sebut dengan gerakan “AGENDA CUCI TANGAN GRATIS”.

Anda tahu arti cuci tangan? Iya, kita biasanya melakukan itu sebelum dan sesudah makan serta saat kita merasa tangan kita kotor. Cuci tangan yang saya maksud pada catatan ini tentunya tidaklah benar-benar seperti itu, sebab cuci tangan itu adalah kata kiasan. Biasanya berhubungan dengan kalimat-kalimat kiasan lainnya seperti ‘lempar batu sembunyi tangan’ atau ‘kura-kura dalam perahu’ tentang masa lalu. Sebuah ‘ritual‘ dimana manusia ingin manusia lainnya tempat ia mempunyai kesalahan bisa akan memaafkan kesalahannya diwaktu lampau pada satu tahun kemarin. Jika ‘kasusnya’ dulu cukup berat (berat disini relatif subjektif), maka disini biasanya ada semacam kondisi serba salah pada individu yang akan memberi maaf. Dan kondisi ini betul-betul dimanfaatkan oleh sang peminta maaf untuk ‘menekan’ pemberi maaf agar memaafkan ‘kasus’ itu secara lahir bathin. Tentu saja penekanan itu dengan embel-embel ini adalah hari lebaran, dimana kita semua mestinya kembali ‘menjadi bayi tanpa dosa’. Luar biasa ..

“.. sebab kita adalah makhluk yang bernama manusia, maka cukup manusiawi ketika kita agak susah untuk bercerita tentang hari ini dengan begitu ‘putih’ tanpa kita tidak teringat dengan hari kemarin, sebab masa lalu terkadang selalu menjadi bayangan setia kita menuju hari esok dan kita merasa perlu untuk belajar dari peristiwa itu ..”, kurang lebih saya menulis itu di wall facebook saya. Bukan tanpa maksud, sebab saya ingin mencoba mengingatkan kepada para peminta maaf untuk sedikit ‘beretika’ saat minta maaf. Terlepas apakah itu di hari raya Iedul Fitri, hari proklamasi kemerdekaan, maupun hari-hari atau momen apapun. Memang betul, kita sangat dianjurkan untuk menjadi insan yang pemaaf. Tapi tidak kemudian anjuran itu seolah-olah menjadi pembenaran buat kita untuk berbuat salah sesuka hati kepada manusia lain. Tuhan memang Maha Pemaaf dan Pengampun, namun etika berkehidupan sosial telah mengajarkan kepada kita untuk mempunyai cara dan aturan menyelesaikan masalah. Memberi maaf itu gampang, cuma harus jelas dulu bahwa duduk perkara pada suatu masalah. Jangan sampai kemudian ‘perilaku tidak baik’ pada masa lalu seolah-olah menjadi bukan sesuatu yang keliru. Jika seperti itu, maka kita telah mengajarkan dan membenarkan sesuatu yang salah atau keliru. Duduk perkara belum lurus, tapi sudah dianggap tidak ada masalah alias clear putih bersih seperti bayi baru lahir.

Beberapa saat lalu seseorang telah begitu saja menuduh saya sebagai seorang pendendam. Saya santai saja sebab saya tidak pernah memelihara sebuah dendam untuk jangka waktu yang lama. Tidak ada untungnya. Tapi saya bisa memaklumi ‘tuduhan’ tersebut dialamatkan kepada saya. Si penuduh mungkin kecewa saat saya tidak serta merta ingin melupakan peristiwa pada masa lalu itu walaupun ia memanfaatkan momen Ramadhan dan Iedul Fitri untuk ‘mencuci tangannya’. Posisi yang berbeda dan harusnya si penuduh tidak begitu saja egois hanya ingin masalahnya beres dan menjadi sejarah yang terkubur, tapi ia harus belajar mengerti bahwa saya ingin mengingatkan sesuatu kepadanya. Bahwa kita harus menjadi manusia beradab yang berani mengakui kesalahan dan bertanggung jawab dengan menjelaskan secara jujur berbagai hal yang menjadi pokok dari masalah tersebut sehingga menjadi gamblang dan terang. Dengan begitu maka kita bisa mengambil hikmah dari masalah tersebut. Seandainya saya begitu saja melupakan dan memaafkan, maka si penuduh akan merasa bahwa ternyata gampang untuk melakukan hal yang sama. Toh, nanti kita bisa maaf dan semua beres tanpa harus merasa bersalah. Begitu naif ..

Salah satu yang berat dimuka bumi ini bukanlah gunung, tapi mengakui suatu kesalahan. Kalimat, “iya .. saya salah ..” sepertinya tidak pernah berani dilanjutkan dengan penjelasan, “.. karena .. bla .. bla .. bla ..”. Terlalu gengsi atau dengan alasan yang lain manusia seperti tidak ingin benar-benar menjadi salah, meskipun kesalahan itu berpeluang 95 persen ada pada dirinya. Selalu saja ada kecenderungan lebih untuk mencari 'kambing hitam' atau mencari alasan lain agar ‘si korban’ memberi maaf dan dengan begitu ia menjadi puas. Dengan kata lain, manusia selalu ingin mencuci tangan dengan benar-benar bersih seolah-olah ia tidak pernah ‘membuat kotor’, walaupun memang benar ia telah ikut membuat kotor.

Yah.. masyarakat Indonesia adalah bangsa pemaaf. Oleh sebab itu ia (mungkin oleh para pelaku) dihimbau untuk memaafkan banyak hal dimasa lalu tanpa ia berhak tahu tentang apa yang terjadi pada masa itu. Berbagai rezim yang telah berkuasa selalu ingin menjadi ‘bersih’ kembali dengan memanfaatkan waktu yang berlalu untuk mengarahkan kita melupakan sejarah (kelam) tanpa pernah mereka berani untuk mempertanggungjawabkannya. Kondisi yang sedemikian itu sudah menjadi ‘kebiasaan’ masyarakat kita dan kita pun mengikutinya, sebab itu memang ternyata menguntungkan bagi si peminta maaf. Pemberi maaf hanya bisa memaafkan dan misteri sesuatu akan tetaplah menjadi misteri.

Suara bedug menyambut Iedul Fitri 1431 Hijriyah atau 2010 Masehi telah digendang telinga. Dan saya merasa tidak pernah memaafkan siapa-siapa, bukan tidak ingin merayakan Iedul Fitri ini dengan bermaaf-maafan, tapi saya tidak tahu dan tidak mengerti atas dasar apa saya harus memberi maaf. Siapa yang salah dan kenapa harus salah? Jangan-jangan peminta maaf tidak bersalah dan yang keliru sebenarnya saya. Itu tidak bisa terjawab, kecuali sang peminta maaf mau bercerita terlebih dulu .. dengan jujur tentunya dan inilah kemudian yang paling berat buat manusia.



Bandung, 30 Ramadhan 1431 Hijriyah / 09 September 2010




TERIMA KASIH : untuk semua yang telah menginpirasi saya membuat tulisan ini, paling tidak saya akhirnya bisa memposting sesuatu untuk meng-update tulisan terbaru saya diblog ini .. salam hangat dan selamat berlebaran .. ingat, jangan terlalu minta maap kepada saya apabila tidak merasa bersalah .. sip ..





-------ooOoo-------