CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Rabu, 28 Januari 2009

SURAT DARI KAMPUNG : Catatan Tentang Masa Kecil

" Lembar Yang Terselip "
ilustrasi oleh: sendiri aja dari komputer seorang kawan yang baik


HOBI MEMBACA
(Sebuah Potongan Masa Kecil)


- Masa kecil saya dikampung bukanlah sebuah masa dimana anak-anak seperti saya akan mudah mendapatkan bacaan yang sesuai dengan usianya. Kondisi sosial dan ekonomi waktu itu membuat kami hanya bisa mencoba dan ‘berjuang’ untuk dapat ‘mengukir diatas batu’ dengan segala keterbatasan yang ada. Selebihnya kami ikut kepada perjalanan nasib dan karakter kami yang terbentuk selanjutnya ketika kami sudah besar

JATINANGOR kawasan pendidikan, dikostan yang cukup sepi dimalam minggu. Sebagian penghuninya sedang menghabiskan malam akhir pekan dengan acara masing-masing. Sebagian lagi mungkin sedang pulang kampung dulu berhubung libur kuliah baru saja dimulai. Namun ada juga yang masih ‘nyempil’ tertinggal, termasuk saya dan beberapa kawan lainnya. Salah satunya adalah seorang kawan -orang Tasikmalaya- penggemar Kura-Kura Ninja.

Anda tahu Kura-Kura Ninja? Ninja Turtles, begitulah istilah aslinya dalam bentuk bahasa Inggris. Kisah fiksi empat ekor kura-kura yang berubah wujud (mutan) menjadi setengah manusia dengan gurunya yang bijak dan berwujud (mutan juga) setengah tikus setengah manusia. Bagi kalangan anak-anak, film ini cukup mewakili ‘cita-cita’ mereka saat itu; menjadi pahlawan pembela kebenaran yang hebat tanpa terkalahkan. Kawan saya pun sepertinya mengalami cita-cita yang sama waktu kecil dulu. Walaupun akhirnya sekarang ia kuliah di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran, jauh dari dunia yang mengharuskan ia mesti berduel dengan para penjahat.

Bertolak dari segala kesukaan dan hobi tentang masa kecil, ingatan saya kemudian melayang ke waktu dimana saya menjalani masa-masa kecil dikampung. Dari sekian banyak kenangan, maka warung atau kios ibu saya adalah salah satu yang mendapat tempat tersendiri di memori otak ingatan saya.

Warung ibu saya adalah sebuah bangunan kayu berwarna biru yang layaknya seperti kios-kios pinggir jalan. Beratap seng dan menjual berbagai kebutuhan sehari-hari seperti gula, kopi, rokok, sabun, permen, obat nyamuk, dan lain sebagainya dalam skala kecil. Warung yang berbentuk bangunan panggung ini terletak kurang lebih lima atau tujuh meter didepan rumah yang kami tempati. Rumah saya dikampung menghadap kearah utara dan kebetulan berada tepat dipinggir jalan raya menuju kearah kabupaten Lombok Timur. Kampung saya tepatnya bernama Desa Batunyala, masuk dalam Kecamatan Praya (sekarang Praya Tengah) diwilayah Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Tetangga kiri kanan maupun seberang jalan berjejer rapi. Sebelah kanan rumah adalah kantor dan gudang gabah milik KUD. Kalau orang lewat memakai kendaraan, sekilas akan nampak jika kampung saya dipinggir jalan itu akan padat penduduknya. Padahal tidak, dibelakang masing-masing rumah kami itu tidak ada rumah lagi. Yang ada hanya hamparan sawah luas sejauh mata memandang. Jika ada perkampungan lagi, maka itu hanya perkampungan kecil penduduk yang jauh ditengah persawahan.

Berjarak sekitar empat rumah sebelah kiri kearah barat adalah sekolah SD saya. Disanalah saya menamatkan pendidikan dasar sekaligus menyemai kegemaran saya membaca. Dikampung saya waktu itu belum ada TK. Seperti kebanyakan anak-anak lainnya, waktu kecil saya tidaklah terlalu senang bersekolah. Aktifitas sekolah adalah sesuatu yang membosankan. Bangun harus pagi dan mandi dalam cuaca dingin. Belajar sampai siang dan main hanya sore saja. Sangat membosankan. Maka disini, hari sabtu adalah waktu yang ditunggu-tunggu karena besoknya adalah hari minggu dan tentu saja; I hate monday..!! Hari yang saya senangi adalah hari-hari libur panjang, sebab itu berarti bermain dan bermain terus.

Bisa dimaklumi pula, jika saya adalah salah satu murid yang paling suka terlambat meskipun rumah saya dekat dengan sekolah. Kalah sama teman-teman yang rumahnya jauh ditengah kampung persawahan. Padahal mereka jalan kaki kesekolah menempuh jarak berkilometer pulang pergi. Saya tidak bisa membayangkan jam berapa mereka harus bangun dan mandi pagi.

Sekitar masa-masa saya kelas dua atau tiga SD, jika ibu kekota untuk belanja dagangan buat warung maka saya selalu menunggu apakah hari itu ibu akan membeli sabun Lifebuoy atau tidak. Waktu itu membeli satu lusin sabun Lifebuoy akan mendapat hadiah satu buah komik Superman. Tentu saja saya tidak menyangka, jika komik tipis hadiah sabun itu kelak akan sangat mempengaruhi kegemaran saya membaca. Sebab sering mendapatkan hadiah komik, maka koleksi komik Superman saya berjumlah sampai beberapa seri. Tidak bisa lama saya kumpulkan sebab beberapa waktu setelah habis saya baca maka komik-komik itu biasanya saya jual kembali kepada teman-teman disekolah. Cukup beberapa rupiah saja tentunya.

Selain komik Superman maka saya rasa stimulus awal hobi membaca saya adalah komik Herkules. Saya lupa lagi, dari mana saya dulu mendapatkan komik ini. Kalau tidak salah merupakan pemberian seorang sepupu saya dikota. Legenda pahlawan Yunani kuno ini merupakan bacaan yang mengasyikkan. Ketika saya kelas empat SD, saban Sabtu ada pembagian buku perpustakaan pinjaman dari sekolah. Lima belas menit sebelum pulang akan ada guru masuk kekelas membawa setumpuk buku yang akan dibagikan keseluruh murid, seorang satu buku.

Kita tidak bisa memilih buku mana yang harus kita pinjam karena pembagiannya menurut absensi kelas saja. Jika sedang beruntung maka kita akan mendapatkan buku cerita yang bagus. Tapi kalau ‘kurang beruntung’, kita ‘hanya’ akan mendapatkan buku tentang ilmu pengetahuan. Buku ini bisa kita pinjam selama satu minggu dan dikembalikan pada Sabtu depan untuk ditukar dengan buku yang ‘baru’.

Dikelas, sepertinya tidak semua teman-teman saya hobi membaca. Ini bisa saya perkirakan karena ternyata saya gampang sekali meminjam kembali bukunya teman-teman yang lain. Saya tinggal bertanya hari itu mereka dapat buku apa saja. Lalu hari senin atau selasa saya akan ‘melobi’ mereka. Terkadang malah saya bisa langsung dapat meminjam dari teman hari sabtu itu langsung. Jadi kalau dipikir-pikir sebenarnya saya tidak meminjam satu buku dari sekolah di hari sabtu, tapi bisa dua atau tiga buku sekaligus. Kalau sudah asyik membaca, maka saya susah dihentikan. Satu buku bisa selesai hari itu juga untuk anak SD seusia saya. Saat lembar terakhir sudah terpegang, semacam ada perasaan sayang; kenapa buku ini seperti cepat sekali habis saya baca.

Yah .. Masa kecil saya dikampung bukanlah sebuah masa dimana anak-anak seperti saya akan mudah mendapatkan bacaan yang sesuai dengan usianya. Kondisi sosial dan ekonomi waktu itu membuat kami hanya bisa mencoba dan ‘berjuang’ untuk dapat ‘mengukir diatas batu’ dengan segala keterbatasan yang ada. Selebihnya kami ikut kepada perjalanan nasib dan karakter kami yang terbentuk selanjutnya ketika kami sudah besar.

Begitulah, kegemaran membaca saya akhirnya terpupuk sampai sekarang. Tapi bukan semua buku. Yang saya maksud disini adalah koran, majalah, dan buku yang suka saya baca. Untuk buku syaratnya antara lain; agak ringan (kalau bisa), penyampaian menarik dan tidak terlalu kaku (semacam gaya Cak Nun dan Gunawan Muhamad), memberikan inspirasi, dan mencerdaskan. Untuk jenisnya mungkin bisa novel, biografi, sejarah, kumpulan cerpen (semacam Keajaiban Di Pasar Senen; Misbach Y. Biran), fiksi, kumpulan puisi, dan lain sebagainya.

Tidak ada cita-cita atau tujuan khusus untuk hobi membaca ini. Saya cuma suka saja, cukup.. Seperti seorang teman kecil sekaligus tetangga saya yang sekarang sudah jadi wartawan, maka jika kemudian ada hal lain yang bisa didapatkan nanti, berarti itu adalah efek atau imbas yang datang sesudahnya.

Bacalah .. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah!
Dan Tuhanmu lah yang paling pemurah.
Yang telah mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
”.

(QS. Al-Alaq :1-5)


Jatinangor, 17 Januari 2009


Terima kasih saya persembahkan setinggi-tingginya kepada:

Komik Superman hadiah sabun Lifebuoy di tahun 80-an, Komik Herkules kenangan yang sudah usang dan sekarang entah kemana, seluruh guru-guru dan teman-teman saya waktu di SDN 2 Batunyala serta semua pihak yang telah membantu dalam membuat saya menjadi ‘manusia’ berkarakter.

Semoga kita semua senantiasa mendapat hidayah dan bimbingan-Nya.. amin..


-------ooOOOoo-------

Senin, 12 Januari 2009

PUISI : Kepada Gaza

" Helikopter Perang dan Sunset "
ilustrasi oleh : (dari) komputer seorang kawan yang baik


Memanah Matahari

Harus kita belah saja remah-remah awan dilangit ini
Agar titik pusat matahari bisa telanjang dipelupuk mata
Pada sekian ratus ketukan jam di dinding tua
Semenjak pagi setelah ledakan pertama

Harus kita bakar saja remah-remah awan dilangit ini
Agar titik pusat matahari bisa membius angan-angan
Pada sekian juta keluhan dirumah ibadah
Semenjak lahir setelah mati

Dilangit Gaza ada ribuan serupa matahari berpijar
Memanah tanah membakar harapan,

Jatinangor, 11 Januari 2009



Di Indonesia Kupegang Dada

Kupegang dada dengan jemari lima terbuka
Kuketuk dada dengan jemari lima terkepal
Di Jalur Gaza sebuah bulan sabit retak
Instrumen yang tidak lagi sebuah syair puisi

Kupegang dada dengan jemari lima terbuka
Kuketuk dada dengan jemari lima terkepal
Di Jalur Gaza anak-anak menghitung pasir yang terbang
Instrumen yang menjadi inspirasi diskusi para tokoh dunia dilayar kaca (dan obrolan rakyat kecil seperti kita sehabis kerja)

Di Jalur Gaza ribuan dada rubuh dan terluka
Di Indonesia kupegang dada mengutuk langit,

Jatinangor, 11 Januari 2009




-------------000000000------------

SEGELAS KOPI HANGAT DI AWAL TAHUN

" Gos Raider Yang Tersesat "
ilustrasi oleh : sendiri aja di komputer seorang kawan yang baik



MEMBUKA TAHUN




Tanggal 31 Desember 2008, Jatinangor – Bandung

PUKUL 10.16 pagi berangkat ke Bandung dengan tujuan Cimenyan via Padasuka. Rencana awal adalah meminjam motor kepada seorang kawan buat saya pergi ke kantor Pikiran Rakyat di Jln. Asia Afrika. Berhubung kawan yang punya motor belum datang jadi harus menunggu. Untuk mengisi waktu saya main komputer, ngopi plus merokok, dan ngobrol-ngobrol dengan kawan-kawan lain yang ada disana.

Sekitar sore 16.20 kawan itu datang. Tanpa basa basi yang terlalu berpanjang lebar saya langsung melesat menuju Asia Afrika. Jalanan telah berbau libur panjang dan weekend.

Pukul 17.14 tiba di PR. Ngapain aja? Main internet dan ngerokok lagi sambil menunggu orang yang janjian dengan saya. Setelah membereskan urusan, sekitar sehabis sholat maghrib meluncur ke kostan seorang kawan di daerah sekitar Jln. BKR dekat Buah Batu.

Ada terpikir rencana untuk langsung pulang saja ke Jatinangor. Aroma tahun baru di tengah kota membikin saya agak malas untuk menghabiskan malam disini. Namun, seorang kawan mengajak ke Gasibu, “Sambil lewat aja, pulang..” katanya. Baiklah.. saya sepakat, sekalian cari makan. Mungkin ada pecel lele yang buka di malam tahun baru.

Hampir pukul 20.30 ketika saya dan kawan itu keluar. Kemacetan merajalela terasa disepanjang jalan sampai Gasibu. Pikiran jadi pusing melihat lautan kendaraan dan manusia, asap knalpot, tiupan terompet, dan percikan kembang api hingar bingar bercampur suara-suara kegembiraan manusia yang larut dalam euphoria pergantian tahun.

Udahlah, kita langsung ke Dipati Ukur aja cari makan disana..”, saya memberikan usul dengan sedikit perintah karena udah kesal dengan macet. Meluncur ke Dipati Ukur bukan tambah fresh, pusing volumenya makin naik. Bukan pusing sakit kepala yang butuh obat semacam tablet, tapi ‘pusing’ karena malas dengan suasana yang ada. Saya salah terka, tumpukan manusia dan kendaraan ternyata mengular sampai ke pinggir kota.

Akhirnya… “Terus ke Dago Pakar aja gabung sama kawan-kawan lain disana. Kagok ini mah..”. Dalam hitungan detik rencana berubah, Jatinangor besok subuh aja. Dengan membelah macet yang memuakkan kami menuju Dago Pakar.


Tanggal 01 Januari 2009, Bandung (Dago Pakar) - Jatinangor

Di Dago Pakar kami menenggelamkan diri larut dalam suasana ramai yang ‘semu’. Ciri khas pesta malam tahun baru orang-orang kota dan saya tidak perlu menceritakannya.

Sekitar pukul 05.10 pagi dengan kepala masih rada pening karena pengaruh ‘konsumsi pesta’ akhirnya sampai juga di Jatinangor, rebahan dan capek menyentuh ubun-ubun. Tidak terasa mata terpejam sampai saya terbangun pukul 14.26 siang. Rada lapar dan tidak lama kemudian saya sudah duduk dengan manis di sebuah warung makan milik seorang kawan. Setelah perut kenyang, segelas kopi, dan beberapa batang rokok tapi badan masih saja terasa letih ingin tidur lagi.

Sambil pulang ke kostan maksain mampir ke warnet; buka e-mail, Friendster, blog, dan sebuah situs berita yang ‘wajib’ saya buka setiap kali main internet. Ada beberapa informasi terbaru yang cukup menyita perhatian saya. Diantaranya;

“Tentang Gaza yang porak poranda dan korban ‘beringasnya’ bom Israel yang bertambah hampir mendekati angka 400 orang meninggal dan ribuan lainnya luka-luka, suasana semakin genting dan rakyat disana tentu saja semakin menderita.”
“Kemudian bebasnya Muchdi Pr. dari dakwaan pembunuhan aktivis HAM Munir.”
“Lalu curhat para korban lumpur Lapindo yang masih saja terjebak ‘deritakala’ diatas tanahnya sendiri.”
“Terus ada kasus berkelanjutan perseteruan Sarah Azhari beserta si Rahma, adiknya, dengan Roy Suryo si ahli handphone dan kamera. Dua hawa cantik bohay bersaudara itu sangat marah, gara-gara gambar ‘kreatifnya’ yang ternyata terbukti benar dan asli secara ilmu telematika.”
“Hingga tentu saja infromasi mengenai ‘kesuksesan’ masyarakat kota segala elemen dalam menuntaskan pesta perayaan malam tahun barunya yang sangat wah.”

Termenung beberapa saat.. dan sungguh.. Tiba-tiba saya merasa sangat tidak enak sendiri. Entah..



Jatinangor, 2 Januari 2009
Pukul 01.29 tengah malam




----------oooooo--------