CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Rabu, 09 September 2009

PUISI : Bulan dan Kata - Kata

" Bulan Di Balik Daun "
ilustrasi oleh : hasil nyari di internet dan di edit pake adobephotosop



BERIKAN AKU KATA

Berikan aku kata untuk kunyalakan sebagai cahaya
Berikan aku kata untuk ku asah menjadi asa
Berikan aku kata untuk kusandingkan bersama doa
Berikan aku kata untuk ku sulam bagai sutra
Berikan aku kata untuk kujadikan pena melukismu jelita
Berikan aku kata untuk kupahami sebagai rasa
Berikan aku kata untuk kuturutkan mencari makna
Berikan aku kata untuk kuabadikan didalam masa
Berikan aku kata untuk ku pakai menggenggam dunia

Sudah terlalu lama aku kehilangan kata-kata
Hingga aku hanya bisa menerka-nerka saja
Sungguh ..
Berikanlah aku kata yang bisa kau artikan sebagai cinta ..


(Bandung, 8 September 2009)





BULAN MERAH JAMBU


BULAN merah jambu bukanlah nama buah. Mungkin saja penambahan kata jambu itu adalah sebuah kesalahan yang tidak disengaja dan tentu saja bisa dimaafkan. Bulan merah jambu adalah nama untuk warna bulan yang memantulkan cahaya matahari dengan refleksi yang sebenarnya lebih berupa warna jeruk yang sudah matang total. Bulan memang dekat dengan buah-buahan. Bagaimana tidak, bulan diibaratkan sebagai sosok perempuan. Kenapa perempuan? Sebab buah-buahan dengan perempuan juga berkerabat dekat. Perempuan mempunyai buah dada yang bergelayut manja sebanyak dua buah di kiri dan kanan.

Tidak semua bulan berwarna merah jambu. Kondisi sosial lingkungan angkasa raya menentukan kadar kemerahannya. Apakah mendung, cerah, gerimis, atau hujan lebat. Jadi tidaklah heran jika terkadang orang akan menyebutnya kuning, orange, atau juga keemas-emasan. Tapi tidak pernah ada yang melihatnya bercahaya merah maroon, sebab merah maroon cukup jauh dengan merah jambu.

Tanpa bulan, maka matahari akan kehilangan sebagian fungsinya. Bulan membantu matahari meneruskan kekuasaannya menerangi bumi dimalam hari. Orang-orang pintar mengatakan bahwa warna matahari adalah putih perak yang kuat. Saya orang bodoh, tapi terkadang saya tidak percaya bahwa matahari benar berwarna seperti yang orang-orang pintar itu katakan. Namun saya cukup pintar untuk tidak melakukan pembuktian terhadap ketidakpercayaan saya dengan cara mengobservasi warna matahari lewat mata telanjang. Saya sama sekali tidak tertarik untuk melakukan itu. Cukup sudah saya bisa memandangi bulan saja.

Untuk mengatakan bahwa sayur sop ini enak, janganlah mencicipi daging ayamnya (sebab rasa daging ayam mah sama-sama aja). Tapi cukup cicipi kuahnya saja. Untuk bisa merasakan bahagia bisa bermain bersama’nya’, tidak perlu harus pergi tamasya berdua dengannya. Cukuplah dengan ngerumpi bersama teman-temannya. Seperti itulah, tidak perlu memandang matahari untuk mengetahui rupanya. Cukup nikmati bulan sebagai gantinya.

…………………………………………
Bulan merah jambu
Luruh di kotamu
Ku ayun sendiri
Langkah-langkah sepi
Menikmati angin
Menabuh daun-daun
Mencari gambaranmu
Di waktu lalu
…………………………………………………..

(Tak Bisa Ke Lain Hati – KLA Project)


Yah.. begitulah dan seperti itulah ..



Tanggal dan tempat yang sama dengan puisi di atas






-------ooOoo-------

Senin, 07 September 2009

NAIK PESAWAT : Persiapan Pulang Kampung Waktu Lebaran

" Warna Warni Mudik "
ilustrasi oleh : dari hasil browsing di internet saja




MUDIK LEBARAN 2009


- Merantau di jantung provinsi Jawa Barat ini, maka 2009 kemudian menjadi salah satu momen yang indah karena saya akhirnya bisa mudik juga. Langsung ke kampung halaman tempat saya dilahirkan dan dimana ibunda menunggu dengan cinta tiada tara ..

LEBARAN tahun ini insya Allah saya akan pulang. Berlebaran dikampung bersama keluarga, handai taulan dan kawan-kawan disana. Tentu banyak waktu untuk bisa pulang, tidak mesti lebaran saja. Tapi suasana lebaran akan berbeda, untuk itulah momen ini mendapat nama alias yaitu mudik. Ini sebenarnya acara khas untuk para perantau dari kampung. Bisa dilihat dari namanya, (m) udik yang berarti desa atau kampung. Mudik adalah pulang kampungnya seorang udik dari perantauan. Tapi entah kenapa, orang kota juga mudik. Padahal mereka bekerja atau sekolah di kota Jakarta atau London (mungkin juga New York) dan rumah asal mereka di kota Bandung atau Surabaya. Mungkin karena kosakata mudik sudah jadi bahasa baku Indonesia sehingga orang kota itupun harus ikhlas untuk disamakan dengan orang udik alias orang kampung. Tidak apa-apalah, sekali-kali orang kampung juga boleh menang .. hahaha!

Sudah empat tahun lebih saya tidak mudik. Biasanya saya pulang ke Bogor, berlebaran dengan keluarga sepupu yang tinggal di kota hujan itu. Bandung - Bogor via Puncak atau tol Cipularang via Jakarta tidaklah bisa disebut jauh. Cuma beberapa jam saja, jadi mudiknya tidak cukup berkesan seperti iklan-iklan lebaran di televisi. Merantau di jantung provinsi Jawa Barat ini, maka 2009 kemudian menjadi salah satu momen yang indah karena saya akhirnya bisa mudik juga. Langsung ke kampung halaman tempat saya dilahirkan dan dimana ibunda menunggu dengan cinta tiada tara.

Tiket sudah saya pesan jauh hari sebelumnya. Lebih tepatnya beberapa bulan sebelumnya. Ini saya lakukan agar bisa mendapat harga yang murah. Maklumlah, di negeri yang permai ini harga-harga selalu melonjak tinggi ketika lebaran. Mungkin mereka yang hobi menaikkan harga itu ingin juga mendapatkan untung yang fantastis dari peristiwa sekali setahun ini. Tujuannya (sekali lagi; mungkin) agar mereka mendapat banyak uang dan akhirnya bisa mudik juga seperti saya. Mudik memang dekat sekali dengan uang. Tak ada uang tak bisa (susah) mudik.

Tidak seperti kepulangan saya sebelum-sebelumnya, maka mudik kali ini agak spesial karena saya menggunakan pesawat terbang. Wow .. seperti cinta pertama pada umumnya (upss..), maka pengalaman pertama tentu juga menyenangkan dan mendebarkan. Begitu bosan rasanya mengingat jika harus pulang dengan bis yang akan menyeberangi dua selat dalam kapal feri. Untuk itulah, ketika tulisan ini saya ketik, perlengkapan mudik sudah 80 persen siap. Pakaian, sepatu, tas dan lain sebagainya telah dipisahkan termasuk sedikit oleh-oleh buat keluarga dan teman-teman. Pulsa siap untuk diisi, rambut harus dirapikan lagi. Mudik tentu beda dengan aktivitas sehari-hari. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar sebab semua tentu sudah sangat tahu.

Selain perlengkapan, saya juga sedikit banyak bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan pesawat terbang. Untuk info mengenai baling-baling, mesin pesawat hingga roda dan landasan pacunya bisa saya cari di internet. Tapi tentang ‘etika dan adat istiadat’ naik pesawat terbang dari bandara ke bandara? Alangkah baiknya bertanya langsung kepada mereka yang pernah menggunakan pesawat terbang. Naik bis, kereta api, kapal feri, dan angkot saya pernah dan sering. Naik pesawat terbang? Tentu tidak bisa disamakan dengan naik alat angkutan umum bin massal seperti itu. Agar ‘tidak tersesat dijalan’, maka saya ‘tidak malu untuk bertanya’. Ini penting, daripada saya nanti malu dan malu-maluin di bandara. Sok tahu kesampingkan dulu.

Saya mendapat tiket promo kelas ekonomi dengan harga yang (menurut mbak cantik penjual tiketnya) sudah cukup murah. Tapi tentu saja, si mbak itu tidak mengerti benar konsep murah untuk ukuran orang seperti saya. Ataukah saya yang tidak betul-betul paham aturan murah harga sebuah tiket pesawat? Entahlah, saya kali ini tidak begitu peduli. Yang penting mudik dan bisa secepatnya sampai dirumah.

Saya masih ingat betul, suasana ditempat penjualan tiket waktu itu. “Pesawatnya nanti berangkat jam 5-an sore. Mas sudah harus check in di bandara Soekarno Hatta satu jam sebelumnya, berarti mas dari Bandung sekitar jam 11 atau 12 siang. Oh ya, tiba di Mataram sekitar pukul 9-an malam. Via Surabaya ya .. Satu lagi, karena ini tiket promo jadi nggak bisa dikembalikan, di tukar, atau pindah nama. Tidak dipakai sama yang bersangkutan, tiket hangus..”.

Sangat manis si mbak penjual tiket menjelaskan segala sesuatunya dan saya (tentu saja) menikmatinya dengan cara mengangguk-angguk macam mahasiswa baru yang sedang registrasi daftar ulang. Dia memang cocok untuk melayani konsumen tiket, sudah cantik penjelasannya juga tajam akurat dan cerdas. Dengan cara pelayanan dan penyampaian yang begitu seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tidak lama saya bisa asyik masyuk menikmati si mbak tiket berceloteh. Saya harus segera keluar karena calon penumpang lain dibelakang yang antri sudah ingin segera dilayani juga. Mungkin ada yang kesal sambil ngedumel dalam hati karena saya cukup lama juga dilayani, maklumlah pelanggan baru. “Hhmmm, ketauan banget ni orang baru pertama kali naik kapal terbang.. huhh..”. Saya bergegas ngeloyor, “Ah.. bodo amat, bukan kamu juga yang ngebayarain tiketnya.. hehe..”.

…………………………………………
Rinduku pada Dewi Anjani 1) adalah alunan seruling batang padi
yang membelah lembah
Rinduku pada Putri Mandalike 2) adalah hembusan angin laut
yang menderu-deru
…………………………………………
(Pada Suatu Musim)

Didalam kamar kost, sambil membolak balik tiket pesawat tertanggal 11 September 2009, saya tiba-tiba sudah membayangkan seolah-olah saat ini saya sudah duduk-duduk didepan rumah saya di kampung. Menunggu kawan, sebab malamnya kami akan memukul bedug sambil takbiran bersama di masjid desa. Hhmmm.. Lalu saya tersenyum, lebih manis dari senyum si mbak cantik penjual tiket pesawat terbang itu.




Jatinangor, 7 September 2009







-------oooOooo-------