CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Kamis, 01 Agustus 2013

JAKARTA : Catatan Gelisahnya Sebuah Kota

" Muara Angke "
ilustrasi oleh: airbening21



MENCARI YANG TERSELIP DALAM PERADABAN


Cuaca pada Juni ini seperti gadis yang gelisah. Terkadang panasnya merajuk-rajuk, namun bisa pula hujan tanpa terlalu banyak berpesan mendung. Bulan Juni juga memberi gairah riang untuk anak-anak sekolah, artinya musim liburan tiba. Betul sekali, seperti anak-anak sekolahan itu, saya pun sedang ingin berlibur.

Seorang kawan karib dari Kalimantan akan berkunjung. Sekian lama tak bersua semenjak kami tamat kuliah. Ia datang tepat pada bulan di mana ibukota negara sekaligus sebuah provinsi dengan status daerah istimewa khusus ini sedang bersolek untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 485. Kawan saya dari daerah garis katulistiwa ini berkunjung ke Jakarta untuk urusan sebuah bisnis.

Saya menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta dan mengantarnya ke Hotel Kawanua. Selama di Jakarta ia akan stay di hotel ini. Saya sendiri yang memilihkannya, sebab posisi hotel bintang tiga dengan pelayanan prima ini cocok untuk para pebisnis yang melakukan aktivitasnya di ibukota. Hotel Kawanua Aerotel yang terletak di jalan Cempaka Putih, mudah dijangkau dari Bandara Soekarno Hatta dan pusat pemerintahan serta pusat-pusat belanja di Jakarta.

Di Jakarta, saya tidak membiarkannya tenggelam dalam penat. Saya pun mengajaknya ke sisi lain Jakarta. Walau saya yakin, dia sudah sering melihatnya. Tapi ini Jakarta. Beda. Saya ingin refresh di wilayah kota berbalut gedung-gedung ini. Saya ingin jalan-jalan ke tempat yang agak berbeda.

Hutan Suaka Margasatwa Muara Angke dan ini sepertinya menarik. Menjauh sedikit dari kebisingan sambil mengunjungi salah satu benteng terakhir konservasi bakau untuk pesisir Jakarta. Di tengah arus pembangunan kota besar yang resah, di pinggiran Jakarta ini masih menyisakan 'nafas' yang ingin saya 'hirup'.

Untuk menjangkau tempat ini memang agak nyaman dengan menggunakan kendaraan pribadi. Tinggal melewati jalan tol dan keluar di pintu tol Pluit, kemudian menuju wilayah Pantai Indah Kapuk. Hutan konservasi ini berada dekat pemukiman terbesar di pesisir pantai yang seperti menjadi batas wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Baiklah, kami meluncur!

Suaka Margasatwa Muara Angke

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah sebuah kawasan konservasi berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 097/Kpts-II/1988, 29 Februari 1988 di wilayah hutan bakau (mangrove) di pesisir utara Jakarta. Secara administratif, kawasan ini termasuk wilayah Kelurahan Kapuk MuaraKecamatan PenjaringanKotamadya Jakarta Utara. Kawasan yang berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk ini, hanya dibatasi Kali Angke dengan permukiman nelayan Muara Angke.

Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan SMMA sebagai kawasan cagar alam pada 17 Juni 1939. Awalnya SMMA seluas 15,04 ha lalu tahun 1960-an menjadi 1.344,62 ha. Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia mengubah status kawasan ini menjadi suaka margasatwa. Perubahan status ini untuk menangkal kerusakan lebih lanjut di kawasan tersebut. Kini, luas SMMA menjadi 25,02 hektar.

Dari sebuah gerbang kecil, 'petualangan lingkungan' kami dimulai.

Berjalan di lintasan kayu sepanjang 800 meter memberi kesan yang berbeda. Sepanjang menyusuri lintasan, di kiri kanan dipenuhi pepohonan rimbun khas pesisir. Sebut saja bakau. Ada 30 jenis tumbuhan di tempat saya berjalan-jalan. Sebelas diantaranya adalah jenis pohon bakau seperti Api-Api (Avicennia Spp.) dan Pidada (Sonneratia Caseolaris). Selain itu, ada juga beberapa jenis pohon yang ditanam untuk reboisasi seperti Asam Jawa (Tamarindus Indica), Bintaro (Carbera Manghas), dan Waru Laut (Hibiscus Tiliaceus).

Jangan kaget ketika tiba-tiba ada monyet menghampiri. Bukan seekor atau dua ekor, tapi kadang-kadang mereka bergerombol seolah-olah menyambut para pengunjung. Uuppss! Sepertinya seekor monyet merasa tidak nyaman saya ambil gambarnya. Ketika kamera membidik, matanya terlihat melotot sambil menyeringai. Waw .. hahaa!! Kawasan ini membuat saya seolah-olah tidak berada di Jakarta. Amazing!

SMMA memang menjadi habitat kelompok monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis). Kawanan pemakan buah ini memegang peran penting di SMMA dengan 'perilakunya' menyebar biji-bijian tumbuhan hutan. Selain itu tercatat sekitar 91 jenis burung hidup bebas disini. Diantaranya 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan. 17 jenis di antaranya adalah hewan yang dilindungi seperti Bangau Bluwok (Mycteria Cinerea), Cerek Jawa (Charadrius Javanicus), dan Bubut Jawa (Centropus Nigrorufus).

"Kita berharap pengunjung juga ikut menjaga kebersihan disini. Jangan buang sampah sembarangan dan hindari memberi makan kepada monyet-monyet. Agar mereka tetap terbiasa mencari makan sendiri. Kalau di kasih makanan nanti mereka jadi manja, bahaya kalau mereka keluar dari sini dan 'minta makan' ke warga," kata Arifin yang menjadi salah satu penjaga SMMA ini sambil tertawa.

Meski menjadi suaka margasatwa terkecil di Indonesia, tapi peranan SMMA cukup penting. Bird Life International - salah satu organisasi pelestarian burung di dunia - telah memasukkan kawasan ini sebagai salah satu daerah vital bagi konservasi kehidupan burung.

Tak heran jika kemudian SMMA sering dikunjungi anak-anak sekolah. Waktu saya mengitari area tersebut, saya berjumpa dengan sekelompok anak muda memakai jas almamater perguruan tinggi. “Karena ada tugas, tapi berasa kayak bukan di Jakarta ya,” ujar seorang mahasiswa.

Memang tidak rugi jika Anda pun harus menyempatkan diri kesini bersama keluarga di saat senggang. Pengenalan lingkungan kepada anak-anak harus dimulai sejak dini, memanfaatkan libur sekolah agar lebih bermakna.

Mengintip Kepingan ‘Catatan Tua’ Jakarta

Kembali ke hotel saat senja telah rebah jauh kearah malam. Sambil beristirahat di kamar yang nyaman, saya jadi tertarik untuk mengetahui Jakarta secara lebih ‘jadul’. Membuka buku dan berselancar di dunia maya. Mengintip banyak hal tentang Jakarta.

Kota yang suhunya relatif panas ini memang sangat akrab dengan tempat hiburan yang berserakan hampir di seluruh penjuru kota. Tapi ini kota bersejarah, kawan. Bukan sekedar ‘desa besar’ yang muncul secara tiba-tiba.  Banyak hal lain dan menarik yang tersimpan di metropolitan ini.

Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Jakarta tak kan pernah terlepas dari sejarah sebuah pelabuhan yang terletak di Teluk Jakarta di kawasan Sungai Ciliwung. Ya, pelabuhan Sunda Kelapa erat hubungannya sebagai sejarah asal usul Kota Jakarta, yang merupakan pusat perdagangan sangat penting sejak abad ke 12 hingga abad ke 16.

Hampir semua ‘bangsa penginvasi’ pernah menginjakkan kakinya di jantung Indonesia ini. Sebut saja Portugis, Belanda, maupun Jepang. Lika liku perjalanan zaman di nusantara banyak ditentukan dari sini. Tidaklah mengherankan, asal usul namanya sendiri merupakan dari rangkaian sejarah ‘lontar raja-raja’.

Alkisah, pada tahun 1527 pasukan Fatahillah dari Demak berhasil menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Ketika armada Portugis datang, pasukan Fatahillah menghancurkannya, sisa-sisa armada Portugis itu melarikan diri ke Malaka.

Atas kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya “Kemanangan Yang Berjaya”. Menurut perhitungan, hal itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Itulah sebabnya hari tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta hingga usianya yang menginjak 485 tahun di 2012 ini.

Pekan Raya Jakarta

Mengitari banyak acara dalam Hari Jadi Kota Jakarta ke 485 tahun ini sepertinya tak akan pernah habis. Jadi kami mencoba memilih mana yang kira-kira menjadi ‘maskotnya’. Setidaknya sebuah kegiatan yang menjadi ciri khas dan bisa kami masuki tentunya. Sepertinya kami telah menemukannya.

Siang beranjak rebah di ibukota keesokan harinya. Sebelum senja benar-benar kembali menyapa, kami telah bersiap. Mengunjungi sebuah pameran terbesar, mungkin di Indonesia. Pekan Raya Jakarta sebagai bagian dari kegiatan mengisi perayaan ulang tahun Kota Jakarta.

Event tahunan ibukota ini diadakan pertama kali pada tahun 1968. Dari pertama sampai 1991 PRJ pernah berlangsung di Taman Monumen Nasional (Monas). Sejak digelar pertama kali di kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli tahun 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan melepas merpati pos, penyelenggaraannya tidak pernah terputus.

PRJ dulunya disebut DF yang merupakan singkatan dari Djakarta Fair (ejaan lama). Lambat laun ejaan tersebut berubah menjadi Jakarta Fair yang kemudian lebih popular dengan sebutan Pekan Raya Jakarta.

Dari Hotel Kawanua kami mencoba naik bajaj. Kendaraan khas dari India ini mengantar kami ke gerbang PRJ. Setelah membeli tiket seharga 20 ribu rupiah per orang, kami pun ‘chek in’. Sungguh ramai suasana dengan konsep eksibisi metropolit yang kami jumpai. Tentu saja, sebab ini adalah semacam pameran produk di kota terbesar negeri ini. Dari mulai HP hingga stand mobil. Selayaknya sebuah pameran, maka tentunya bonus dan diskon juga ramai disebar.

Kami mencoba menyusuri jalur-jalur yang ada di dalam area pameran. Memuaskan mata menikmati hampir semua stand yang ada. Selain berbentuk produk barang, maka ada juga stand-stand kuliner. Cuma sayang, kami tidak menemukan kuliner khas betawi. Deretan pedagang kerak telor malah kami temukan di luar area. Kegiatan yang digelar dari 14 Juni hingga 15 Juli ini pun terasa kurang gregetnya.

Tapi ada yang menarik, kami menemukan stand-stand dari provinsi lain. Ini mengobati pencarian kami akan sesuatu yang berbeda di PRJ. Stand-stand daerah tersebut memajang barang-barang khas daerahnya masing-masing. Dari batik hingga kerajinan tas.

Buat yang datang bersama keluarga sepertinya telah diperhitungkan oleh panitia. Arena bermain untuk anak-anak. Dari komidi putar hingga ‘sungai-sungai’ kecil yang terbuat dari plastik tempat anak-anak bermain perahu-perahuan. Pengunjung memang sepertinya tidak ingin ‘dikasih keluar’ oleh panitia.

Kami mencoba masuk ke sebuah stand handphone. Waw! Harganya murah, cuma 159 ribu. “Sedang promosi setengah harga disini,” celetuk penjaga stand-nya saat kami memperhatikan handphone-handphone yang dijajarkan. Memang, di stand-stand elektronik yang lain kami juga melihat hal serupa.

Pegal juga rasanya mengitari arena pameran yang begitu luas ini. Lapar terasa. Agak disisi arena kami menghampiri sebuah tenda panjang. Semacam foodcourt. Berjejer kursi meja dan tentunya beragam pilihan menu yang bisa dipilih. Kami merasa, ‘petualangan’ kami akan berkahir disini. Dua piring sate padang dan es jeruk adalah yang terakhir kami nikmati sebelum akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel.

Jakarta memang tak akan pernah berhenti berdengus. Rodanya terus berputar, berpacu dengan zaman. Dan sisa-sisa perjalanannya yang masih terekam bisa kita jumpai dari Muara Angke hingga Pekan Raya Jakarta.




Jakarta, 2012






*untuk keperluan liputan, maka tulisan ini telah melalui proses sunting tanpa mengurangi esensi dari isi liputan.




-------ooOoo-------

Rabu, 31 Juli 2013

LOMBOK : Catatan 2012

" Penjual Kain Di Pantai Kute"
ilustrasi oleh: airbening21


Legenda Pulau Dua Dewi



Rinduku pada Dewi Anjani adalah alunan seruling batang padi yang membelah lembah
Rinduku pada Putri Mandalike adalah hembusan angin laut yang menderu-deru ..

Sepertinya siang telah tegak di ubun-ubun, saat pesawat Garuda Indonesia yang membawa saya dari Jakarta mendarat mulus di Bandara Internasional Lombok (BIL). Ini bandara baru, belum genap setahun beroperasi menggantikan bandara lama di Kota Mataram, Lombok. Penerbangan hampir 1,5 jam terasa begitu cepat. Sepertinya tadi saya hampir tertidur. Penerbangan yang nyaman dengan menu makanan yang disuguhkan pramugari yang ramah didalam ‘perut garuda’ membuat saya tidak begitu berminat mencari makanan di sekitar bandara.

Lombok, sebuah pulau di timur Bali yang ‘di paku’ oleh menjulangnya Gunung Rinjani sebagai gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Kerinci di Sumatera dan Semeru di Jawa. Dengan ketinggian sekitar 3.726m dpl, maka Rinjani terlihat begitu menjulang. Ada danau di atasnya, yaitu Danau Segare Anak. Mitos menyelimuti gunung yang tiap tahunnya menyelenggarakan kegiatan Tapak Rinjani ini sebagai ajang pertemuan tahunan para pecinta alam sambil bersih-bersih gunung. Tentang seorang puteri yang menjadi penjaganya, Dewi Anjani, yang menurut cerita untaian rambutnya begitu panjang hingga ke pantai selatan Lombok.

Sejenak saya tenggelam dalam kegairahan perjalanan. Tapi saat ini saya ingin segelas kopi sambil mengecek kembali ‘peta perjalanan’. Tak lama saya berpikir, ketika saya telah berada dalam sebuah kedai kopi yang ada disekitar bandara. Beberapa tempat telah saya persiapkan dari Jakarta untuk dikunjungi. Namun saya harus memulainya dari Senggigi. Saya akan menginap di kawasan pantai yang terkenal ini. Dari BIL beberapa alternatif kendaraan bisa dipilih. Diantaranya damri, taksi, ataupun travel lepas yang biasa mangkal di sekitar bandara.

“Travel-nya bisa ditawar kok, Mas. Tawar aja,” celetuk penjaga kedai kopi ketika saya bertanya tentang travel yang mangkal didepan bandara.

Tapi saya ingin mencoba damri. Angkutan publik ini sepertinya menarik untuk saya jajal di Lombok. Dengan tarif 15 ribu rupiah ke Mataram dan 25 ribu rupiah yang langsung ke Senggigi. Damri berangkat setiap satu jam. Dengan inilah saya kemudian meluncur ke Senggigi.

Matahari Terbenam Di Senggigi

Senggigi Beach Hotel. Senja itu saya telah berada disana. Sungguh beruntung saya sore itu. Setelah sedikit beristirahat dikamar hotel yang lebih mirip bungalow-bungalow, saya ingin jalan-jalan. Suasana sekitar hotel yang telah mendapat sertifikat eco hotel ini cukup teduh. Jajaran pepohonan, hamparan rumput, dan suasana tenang.

Sayup-sayup suara ombak senja itu menggiring langkah saya ke pinggir pantai. Ada live music. Manajemen Senggigi Beach Hotel memberi nuansa yang berbeda dengan membuat stage dipinggir pantai dekat bar. Beberapa lagu berirama country terdengar mengalun seperti menyambut ombak-ombak yang memecah pantai. Rata-rata kursi yang disediakan diatas pasir terlihat terisi. Tentu saja dengan bule sebagai mayoritas.

Semakin sore suasana bertambah menarik. Segelas kopi yang saya pesan sepertinya cukuplah untuk menemani saya menghabiskan malam. Seorang tukang tattoo temporary melintas, menawarkan ‘keahliannya’. Tapi sayang sekali, saya tidak terlalu suka menggambar badan.

Di sepanjang pantai para pengunjung cukup menikmati suasana. Senggigi merupakan kawasan yang bebas dikunjungi oleh para wisatawan, tidak dikenakan tarif untuk memasuki area ini, kecuali wilayah-wilayah yang dikelola khusus oleh hotel maupun lapangan golf.

Namun di sekitar stage live music Senggigi Beach Hotel, pengunjung boleh berlalu lalang ataupun sekedar duduk-duduk di pasir pinggir pantai. Pantai ini memanjakan pengunjungnya dengan panorama alam yang indah di pandang mata.

Pengunjung dapat melakukan banyak aktivitas di sini, baik melakukan snorkeling di bawah laut maupun sekadar berjemur menghangatkan tubuh di pinggir pantai. Ombak pantai ini terkenal tidak terlalu besar, sehingga aman untuk bermain air di pinggiran pantai. Namun, apabila ingin berenang di pinggir pantai, berhati-hatilah karena banyak terdapat karang-karang runcing yang bisa membahayakan kaki. Jika ingin mencoba berperahu, kita juga menyewa perahu-perahu bermotor untuk menyusuri keindahan laut. Biaya sewa dikenai harga Rp. 150.000 hingga Rp. 200.000 selama 1 jam. Satu perahu dapat memuat hingga 6 orang penumpang.

Selepas senja rebah dan menghilang, saya pun beranjak kembali ke kamar hotel.

Makam Bintaro, Lebaran Ketupat, dan Batulayar

Ketika saya di Senggigi, bertepatan dengan Lebaran Ketupat, yaitu sebuah lebaran yang menjadi tradisi masyarakat Sasak. Lebaran ini dilaksanakan seminggu setelah lebaran Iedul Fitri. Saya cukup beruntung, karena akhirnya bisa menyaksikan bagaimana tradisi di tempat yang dijuluki Pulau Seribu Masjid ini dijalankan.

Lebaran Ketupat adalah julukan untuk lebaran bagi mereka yang puasa di bulan Syawal. Di hari ini tradisi awalnya adalah masyarakat membikin ketupat untuk disantap bersama-sama di masjid maupun ketika berziarah di makam orang-orang yang dianggap suci. Saya melihatnya lebih tepat sebagai halal bihalal massal. Ditemani oleh Fauzan, seorang kawan dari Lombok Tengah, maka salah satu tempat yang saya kunjungi adalah Makam Bintaro.

“Saya adalah generasi keempat yang menjaga komplek makam ini,” cerita Haji Ali, seorang juru kunci yang saya temui di Makam Bintaro.

Makam Bintaro ini sejatinya adalah makam seorang Arab yang dahulu datang ke Lombok untuk menyempurnakan Islam di Lombok. Kisah alim ulama yang datang ke Lombok memang banyak. Semuanya meninggal dan dimakamkan di Lombok.

Posisi komplek makam ini berada persis dipinggir jalan menuju Senggigi. Kondisi sangatlah ramai. Disini saya menemukan orang ‘begibung’, yaitu makan bersama-sama dalam satu wadah. Sebuah tradisi makan bersama yang perlahan mulai hilang. Rata-rata peziarah yang datang hampir dari seluruh penjuru Lombok. Selain Makam Bintaro, sebenarnya ada juga makam yang cukup ramai yaitu makam Loang Balok di pantai Ampenan. Tapi waktu yang tidak cukup membuat saya cukup sampai di Makam Bintaro saja.

Masih menurut Haji Ali, pada hari-hari biasa selalu saja ada yang datang berziarah ke makam ini. Namun jumlah peziarah akan membludak pada saat-saat tertentu, salah satunya ya ketika Lebaran Ketupat. Masyarakat akan berbondong-bondong bersama keluarga dan handai taulannya mengunjungi komplek pemakaman yang cukup luas ini. Mereka juga membawa bekal, khas Lebaran Ketupat. Makanan ini disantap bersama-sama di bangunan-bangunan sekitar makam yang memang sengaja dibikin sebagai tempat para peziarah beristirahat.

Tidak jauh dari situ ada Makam Batulayar. Letaknya persis dipinggir jalan mendekati Senggigi. Sebenarnya Makam Batulayar ini sudah masuk wilayah Senggigi. Seperti halnya Makam Bintaro, disini juga dimakamkan seorang ulama terkenal. Menurut cerita turun temurun, Batulayar ini merupakan makam Syeh Syayid Muhammad al Bagdadi yang berasal dari Bagdad. Beliau datang ke Pulau Lombok untuk menyebarkan agama Islam. Setelah agama Islam sempurna Syeh Syayid ingin kembali ke negeri asalnya di Bagdad.

Kemudian penyebar agama Islam ini diantar ke pinggir pantai Batu Layar oleh para muridnya. Setelah tiba di pinggir pantai, Syeh Syayid berdiri di atas batu yang menyerupai sebuah perahu. Namun sekitar setengah jam kemudian datang hujan lebat yang disertai angin dan petir. Pada saat itulah Syeh Syayid menghilang dan yang tertinggal hanya surban dan kopiahnya. Dengan demikian yang dimakamkan di Makam Batu Layar itu bukan jasad Syeh Sayid melainkan kopiah dan sorban yang ditinggalkannya.

Dari Makam Batulayar ini kita bisa memandang pantai dan laut. Cukup menarik untuk kita duduk menunggu sore. Pada saat Lebaran Ketupat, pada makam-makam itu juga ada yang punya tradisi mencukur rambut bayi. Mungkin berharap berkah agar anaknya kelak bisa menjadi baik dalam hal agama.

Hari ini saya betul-betul seperti sedang wisata religi. Berbaur dengan masyarakat lokal Lombok dan mengikuti acara tradisinya. Sebuah kearifan lokal akan arti kebersamaan dalam semangat menghormati tokoh-tokoh dari masa lalu.

Memeluk Putri Mandalike Di Kute dan Tanjung Aan

Jika kita menyebut atau mendengar nama Kute, maka tentu akan terlintas sebuah pantai terkenal di Bali. Tapi jangan harap itu akan terlintas dikepala orang-orang Lombok. Kute di Lombok adalah sebuah nama pantai di bagian selatan. Sebuah kawasan yang masuk dalam wilayah Lombok Tengah dan tahun 2012 ini dijadikan sebagai kawasan Mandalika Resor.

Berjarak tempuh sekira 1,5 hingga 2 jam dari Senggigi. Ini berarti kita cuma butuh waktu hanya 30 – 40 menit saja kalau dari bandara. Bersama kawan Fauzan, saya memasuki kawasan Kute ketika hari menjelang siang. Semilir angin laut menerpa. Disekitar pantai ini cukup ramai. Disepanjang jalan sebelah kiri adalah deretan hotel-hotel dan tempat penginapan lainnya. Harganya? Jangan khawatir, tidak semahal di Bali. Pantainya disebelah kanan, jejeran artshop sambung menyambung.

“Sekarang turis lagi ramai, memang Agustus sampai Oktober itu musim kunjungan wisatawan. Setiap tahun selalu seperti itu,” Nari, seorang penjaga artshop yang saya temui menceritakan.

Pantai Kute adalah sebuah pantai dengan ombak yang relatif tenang. Dalam arti kata sangat cocok untuk berenang bersama keluarga. Namun saya mendengar, bahwa Pantai Gerupuk di ujung jalan Kute ini kearah timur ombaknya sangat disukai para peselancar. Besar dan menantang. Sayang sekali, saya belum bisa sampai kesana. Namun suatu saat nani saya harus mencobanya.

Saya tidak ingin berenang, bersama kawan saya mencoba menikmati suasana dengan duduk-duduk diatas pasir. Beberapa anak penjual cinderamata menawarkan gelang-gelang. Cukup murah, saya bisa menawarnya hingga 5 ribu rupiah. Di sepanjang pantai ada beberapa tempat makan yang dibikin dari bamboo beratap daun kelapa. Agak disayangkan karena malah terkesan kurang tertata rapi, ini mungkin tugas aparat terkait untuk menertibkannya.

Sebuah mitos lama juga ‘menaungi’ pantai wilayah selatan yang eksotis ini. Sebuah legenda tentang seorang putri yang mengorbankan dirinya dengan menceburkan diri ke laut. Setiap tahun diselenggarakan pesta pantai untuk ‘mengenang’ putrid tersebut. Legenda Putri Mandalike, hidup dalam kepercayaan masyarakat Sasak hingga saat ini. Putri yang kisahnya secantik panorama Kute ini diperingati sebagai ajang kearifan budaya lokal Sasak.

Di Kute juga kita bisa melanjutkan perjalanan kearah timur sedikit. Berjarak kurang lebih 5 KM, kita akan menemukan Pantai Tanjung Aan. Pasirnya lebih putih disini. Suasana disini juga tidak kalah indah dengan Kute. Laut biru dan ombak yang berkejaran berirama. Disini juga cocok untuk berjemur. Jadi tidak heran, saya menemukan banyak bule berjemur. Wisatawan lokal juga banyak. Terutama di hari minggu atau saat-saat tertentu, seperti Lebaran Ketupat.

Kalau di lihat-lihat, Tanjung Aan pantainya cenderung seperti landai. Kawasan yang memiliki bukit-bukit kecil yang bisa kita naiki ini berpasir seperti buah merica. Menyenangkan untuk kita membenamkan kaki. Beberapa kepercayaan mengatakan bahwa disini kita bisa mengobati asma. Caranya dengan mengubur diri di pasir pantainya. Benar atau tidak, jika ingin mencoba maka tidak ada salahnya juga.

Pantai Tanjung Aan sepertinya akan masuk dalam kawasan Mandalike Resor. Yaitu semacam kawasan pantai yang dikelola secara khusus. Namun jalan dari Kute menuju Tanjung Aan masih kurang bagus. Walaupun beraspal, tapi banyak lubang. Sepertinya menunggu Mandalike Resor direalisasikan, sehingga paket pengerjaan jalannya bisa bersama-sama.

Saya menghabiskan waktu hampir seharian di Kute dan Tanjung Aan. Menikmati pantai dan segala aktifitas para turis. Berbincang dengan penjaga artshop hingga berjalan-jalan menikmati kawasan yang membuat saya malah merasa seperti menjadi ‘bule’, karena terlihat bule lebih banyak daripada orang lokal .. hahahaa ..

Berburu Cinderamata

Hari ini merupakan hari terakhir saya di Lombok. Beberapa kawan sudah mengirimi saya SMS, isinya sudah bisa ditebak. Minta dibawakan oleh-oleh. Setelah ‘berdiskusi’ sebentar dengan Fauzan, saya memutuskan untuk mengunjungi Sukerara dan Sekarbela. Dua tempat yang menjadi sentra kain tenun dan produksi mutiara.

Sukarara atau Sukerare dalam dialek Sasak adalah sebuah desa di Lombok Tengah. Berjarak tempuh sekitar 1 jam lebih dari Senggigi. Tempatnya menjelang kita masuk ke Kota Praya, mungkin 4 – 5 KM sebelum masuk Praya. Tepat di perempatan Puyung kita belok kanan. Sekitar 1,5 Km kemudian kita akan masuk Desa Sukerara.

Masyarakat di desa ini menggunakan dialek Lombok Selatan. Penduduknya terkenal sebagai pengrajin tenun songket. Sepanjang jalan setelah memasuki desa ini kita akan menemukan artshop sekaligus tempat menenun didepannya. Sebuah berugak atau saung dengan gaya Sasak merupakan tempat buat perempuan Sasak untuk menenun.

Menurut info, dulu menenun adalah aktifitas ketika musim kemarau tiba. Sambil menunggu musim hujan yang merupakan waktu untuk bertani, maka perempuan-perempuan Sasak akan menenun. Di wilayah pesisir, menenun itu adalah aktifitas ketika bulan sedang terang. Saat itu nelayan-nelayan tidak ada yang melaut. Ketika para laki-laki menggunakan waktu tidak melautnya untuk memperbaiki sampan dan jaring, maka perempuan-perempuan juga akan mengisi waktunya dengan menenun.

Kini menenun sudah dijadikan sebagai salah satu sentra pariwisata di Lombok. Jadi aktifitas menenun pada desa yang sudah dibina oleh pemerintah, menenun dilakukan sepanjang waktu. Gayanya masih tetap dengan alat yang tak pernah berubah.

“Kebanyakan yang datang itu berombongan, pakai bis pariwisata,” kata Putre, seorang pemilik artshop tenun “Intan” di sana.

Putre juga menambahkan jika turis mancanegara lebih suka datang sendiri-sendiri. Berbagai macam kain dipajang di tempatnya Putre. Dari yang seharga 70 ribu hingga 5 jutaan. Kita bisa menawar.

“Kalau beli banyak saya kasih harga turun. Tapi kalo cuma satu ya jangan ditawar ya .. hahaha ..”, cetus pria paruh baya ini sambil bercanda.

Kain tenun di Sukerara ini ada yang berbentuk selendang hingga kain panjang. Cukup menarik bagi yang menyukai kain-kain dengan corak etnis. Puas saya berkeliling dan melihat-lihat yang sedang menenun.

Saatnya kembali kearah barat, sebuah tempat lagi harus saya kunjungi. Berada di pinggir Mataram, Sekarbela namanya. Disini merupakan pengrajin perak dan mutiara. Tempatnya tidak luas. Sekitar 500 meter sepanjang jalan disana kiri kanan berjejer toko-toko yang menjual perak dan mutiara.

Harganya relatif murah. Dengan perak berkarat 92,5, maka kita bisa menjumpai aksesoris seharga 10 ribu hingga ratusan ribu. Mutiaranya yang dijual rata-rata mutiara air tawar. Yaitu mutiara yang sengaja khusus dibudidayakan. Harganya murah, perbutir Rp.7.500 rupiah. Tapi jika sudah berbentuk gelang perak, maka harganya menjadi 40 hingga 70 ribu rupiah. Tergantung jumlah mutiara dan ketebalan peraknya.

Bagi yang mencari mutiara air laut, maka di Sekarbela juga ada. Harganya jauh lebih mahal daripada mutiara air tawar.

“Kalau yang air laut itu perbutirnya 100 ribu, Mas .. biasanya yang suka mutiara air laut itu diikatnya sama emas, tapi kalau mau pakai perak juga gak apa-apa,” penjual mutiara tempat saya melihat-lihat kerajinan handycraft itu menjelaskan.

Jika sudah masuk butik, harganya menjadi jauh lebih mahal. Biasanya naik lebih dari 50 persen. Para pedagang mutiara dari luar daerah, terutama dari Jakarta juga banyak yang ‘berburu’ mutiara ke Sekarbela. Mereka biasanya membeli dengan sistem borongan.

Hari sudah lewat ashar, ketika beberapa mutiara sudah saya beli. Perjalanan saya ke Lombok kali ini penuh warna warni. Dari wisata pantai, mendengarkan kisah-kisah mitos, wisata religi dalam kearifan lokal, hingga berburu cinderamata.

Malam pun beranjak kelam di bumi yang ramah ini. Saya sudah mengemas barang-barang, sebab esok hari pesawat Garuda Indonesia akan kembali membawa saya pulang ke Jakarta. Sekilas saya lihat tiket, disana tertulis waktu pkl. 06.55 pagi. Untuk waktu Indonesia bagian tengah tentunya. Tak terasa saya terlelap, pagi buta saya harus segera bergerak menuju bandara untuk kembali ke ibukota. Lombok akan selalu menjadi ‘kekasih’ yang akan saya rindukan.




Lombok, Agustus 2012






*untuk keperluan liputan, maka tulisan ini telah melalui proses sunting tanpa mengurangi esensi dari isi liputan.





-------ooOoo-------