CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Kamis, 28 Oktober 2010

HARI SUMPAH PEMUDA : Catatan Dari http://tribunjabar.co.id

" Merapi "
ilustrasi oleh: nemu di google.com / kompasiana.com



* Sumpah Lansia, "Bertanah Air Satu, Tanah Air Airmata .."


MARI kita menangis, SBY. Usia kita sudah lanjut. Biarkan airmata lansia ini menjadi Indonesia. Tapi tunggu dulu, lihat saya, SBY. Kita perlu kacamata hitam. Kenapa? Pasalnya, mata lansia itu jendela batin yang jujur. Receptor yang sering diteror rangsangan macam-macam. Lihat cermin, SBY! Mata kita bisa ditipu ilusi ketika rangsangan melecut lewat sinyalsinyal munafik. Mata kita bisa dikecoh halusinasi. Bahkan siapa bilang hanya olok-olok, saat mata kita diteror sinaetesi juga garis-garis perspektif yang pedih Ini semua kerap melahirkan keanehan-keanehan osilasi.

Mari kita menangis, SBY. Lihatlah ada nestapa Indonesia di belantara kesunyian kemiskinan. Bisa jadi ini kutukan kultural ketika kita bersembunyi di ketiak peradaban yang tidak lagi mempunyai jenis kelamin. Lihatlah 35 juta penduduk miskin tahun 2010, konon menurut BPS bertebaran di persada tanah air. Manusia miskin itu bagi laron-laron muram mengejar cahaya Jakarta untuk sebuah kematian yang pedih. Benar, ayo tetep menangis, SBY. Simak, 35 juta manusia Indonesia yang miskin itu cuma bisa jongkok di tepian belantara nestapa, memandangi kolam Nusantara dengan bibir kering. Indonesia bagai tembok gelap ketika surga forestrasi di republik ini menjadi bancakan para korporasi. Petani gurem cuma dapat 0,25 ha sementara petani kakap ngangkang di atas 56,3 juta hektar.

Oh, biarlah kita tetap menangis, SBY! Ini airmata dari mataair kolbu terjernih yang masih kita miliki. Lihatlah, pada 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia telah menguasai lahan seluas 65 ribu hektar. Lantas 10 tahun kemudian, mereka kuasai areal kerja 10,04 juta hektar. Ini tentu angka raksasa tiwikrama.

Siapa mencuri airmata kinasih kita, SBY? Lupakan itu dulu. Mari kita buka kacamata hitam kita. Kita ziarahi sejarah 79 tahun yang lalu. Saat itu ada airmata merah putih di setiap bola mata pemuda. Sebut saja Soekarno! Soekarno di Gedung Nasional Surabaya, awal Januari 1932 baru saja keluar dari penjara Sukamiskin Bandung.

"Berilah saya seribu orang tua, saya bersama mereka kiranya dapat memindahkan Gunung Semeru," tutur Soekarno di depan Kongres Pertama Indonesia." Tetapi apabila saya diberi sepuluh pemuda bersemangat dan berapi-api kecintaanya terhadap bangsa dan tanah air tumpah darahnya, saya akan dapat menggemparkan dunia."

Benar, SBY! Pemuda bermata telanjang itu, bagi Gubernur Jenderal Jonkheer Mr BCD De Jonge adalah matahari agitator politik yang kotor. Mata telanjang begini perlu diendapkan di pulau-pulau pengasingan. Soekarno tanpa diadili diasingkan tanpa diadili di Endeh, Flores. Sementara Hatta, Sjahrir, Burhanuddin, Maskun, Suka, Bondan dan Marwoto digiring di Boven Digul.

Mari menangis, SBY. Kali ini untuk airmata WR Supratman. Pemuda belia itu sadar makna sebuah perlambang. Jendela batin sesungguhnya mesti akrab dengan indera pendengar. Maka dengarlah suara biola dan gitar yang mengumandangkan Indonesia Raya dari Indonesisch Clubgebouw jalan Keramat 106 Batavia. Benar, kongres Pemuda Indonesia ke II bagai menyatu dalam satu nada bernama Indonesia! Ada tepuk tangan, ada keharuan, ada kemandirian bertanah air berbangsa dan berbahasa. Ini suatu penyembahhan kolektif terhadap nada dan perlambang.

Maka tak aneh bila saat ulang tahun kelompok Studi Indonesia, 27-28 Juli 1929, ternyata ketika masih ada pejabat-pejabat negeri yang tetap duduk sewaktu Indonesia Raya dinyanyikan, Sutomo pun berteriak "Mereka yang tetap duduk adalah kerbau!" Juga ucapan Maskun dalam sebuah rapat PNI di Bandung,September 1929. "Hadirin yang mempunyai semangat kebangsaan dan berbudaya, akan berdiri menghormati lagu Indonesia Raya. Hanya mereka yang berjiwa kerbau akan tetap duduk!"

Ah, tentu kita bukan kerbau, SBY! Sebab kita tahu mata batin yang telanjang, tentu itu sang kekuatan. Sebab dalam kejernihan bola mata itu terpancar kesungguhan menjadi Indonesia. Mereka penggerak lokomotif perjuangan. Mata pemuda tanpa kacamata itu tentu saja sangat cepat menyerap patriotisme. Dan ini perlu, "Ide nasional harus sadar politik," ucap Soekarno dalam sebuah rapat umum PNI cabang Bandung di Gedung Bioskop Oranye Groote Postweg Cikakak, September 1829. "Meskipun suatu negara punya 10 ribu meriam, negara itu tetap lemah selama rakyatnya tetap seperti kecoak. Sebaliknya rakyat yang tidak bersenjata, tetapi mempunyai watak dan kesadaran berpolitik, tidak akan kalah sekalipun harus berhadapan dengan tentara bersenjata."

Oh, tentu-tentu, SBY. Tentu kita bisa beda dengan Soekarni. Agitasi berlebihan adalah langkah kalah yang melelahkan. "Demonstrasi dan agitasi saja adalah mudah karena tidak berkehendak akan kerja dan usaha terus menerus," tulis Hatta di Daulat Rajat 20 september 1932. Bagi Hatta, agitasi hanya melahirkan kegembiraan hati bersifat sementara. Sesaat dan terhenyak. Persis sama seperti dituturkan Lukman Al Hakim,: "Anakku, jadilah kau bagian garam yang akan membuat ikan-ikan berenang dengan tenang. Andai tidak bisa, janganlah kau menjadi lalat. Sebab lalat itu hanya akan membuat ulat menjadi raja di sekitar ikan." Juga persis yang dituturkan Gajah Mada tahun 1362. Mahapatih Gajah Mada dalam peseradaan agung, sambil membungkuk di hadapan Seri Nata berkata: "Seri Baginda adalah memikul kewajiban yang menurut timbangan orang yang sungguh-sungguh tidak boleh diabaikan."

Tapi itu dulu, SBY. Hari ini, ayo, jangan malu, mari kita menangis, SBY. Pakai kembali kacamata hitam. Kita sudah lanjut usia. Ujung emas monas tidak lagi semanis sejarah masa lalu. Indonesia bisa jadi hanya sebuah fiksi yang kita paksakan untuk ada di sebuah peradaban yang lalim. Lantas, tiap kali kita menangis maka akan lahir cerita bagus tentang penyediaan lapangan usaha (pro-growth), penyediaan lapangan kerja (projob), pengentasan kemiskinan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-environment).

Mari kita menangis, SBY. Kita duduk di pojok Masjid Al Ukhuwwah, Panyileukan. Tengadahkan wajah. Heneng, hening dan Eling. Dan ikrarkan sumpah lansia: "Bertanah air satu, tanah air: airmata. Berbahasa satu: bahasa airmata basah. Berbangsa satu: bangsa yang digerogoti para bangsat!"


Tuesday, 26 October 2010





* Tandi Skober, Pengarang dan Anggota Dewan Penasihat Indonesia Police Watch

Catatan ini diambil oleh airbening21 dari http://tribunjabar.co.id, diposting kembali disini tidak untuk kepentingan komersil .. sekedar berbagi, semoga mendapat hikmah dan inspirasi ..




-----ooOoo-----