CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Selasa, 29 Januari 2008

PUISI: Jejak - Jejak Hidup

EPILOG PENDIDIKAN

Buat: Mahasiswa Baru

Di depan gerbang ia berdiri berjejal-jejal
Bercelana abu lusuh sepatu buta warna
Tiga tahun tak pernah ganti-ganti
Ah.. mari mengaso sejenak

Perjalanan dari pelosok-pelosok berdatangan
Bergerak menuju gedung-gedung pengharapan
Sabda para ‘Nabi’; diharamkan cita-cita dibuang kepemakaman

Dalam tas lusuh segepok duit lusuh
Tabungan emak selama tiga setengah tahun
Recehan yang kini menangis
Ditertawakan daftar biaya registrasi

Dalam ruangan berderet meja seperti singgasana para hakim
Ada bisik-bisik tangan dibawah SK Rektor
Dengan bahasa ‘asing’ yang kadang susah dimengerti
Ia lalu mengangguk-angguk sambil mengingat emak

Senja pun turun perlahan
Besok batas akhir daftar ulang
Dan malam ini
Orang miskin dilarang bermimpi,

Universitas Padjadjaran, Agustus 2004


MULUT

Di mulut kanak-kanak
Kata-kata seperti tanpa makn
Di mulut para remaja
Kata-kata hanyalah rayuan saja
Di mulut orang tua
Kata-kata adalah petuah
Di mulut guru
Kata-kata adalah pelajaran
Di mulut para raja
Kata-kata adalah sabda
yang terdengar seperti firman tuhan
(dengan huruf t kecil saja)
Dan di mulut ‘kita’
Kata-kata adalah ‘kitab suci’
Sebatang pena yang menjelma sebilah pedang,

Jatinangor, Juli 2004


EKSEKUSI (Aku dan Kau)

Sekarang ayo kita dengarkan
Mana yang lebih gelisah
Degup-degup jantung dan detak jam
Adakah arti yang sama?

Berbaris menunggu instruksi
Sebuah drama tentang keberhasilan
Tentang mimpi-mimpi masa depan
Sekaligus menghibur ibu dirumah

Tanpa beliau pernah tahu jika anaknya

Semalam masih repot mencari pinjaman

sepatu, dasi, dan jas

Dan pagi-pagi terlihat klimis dan wangi

dengan parfum tebengan

Aduhai… IPK kita berapa?
Berapa jumlah sarjana Indonesia tahun ini?

Sekarang ayo kita dengarkan
Mana yang lebih bergairah
Ketukan palu atau suara mesiu
Adakah arti yang sama?

Diseluruh dunia
Picu-picu diciptakan untuk ditarik
Seperti itulah potret kita (aku dan kau)
Berlomba menuju pelatuk,

Jatinangor, Mei 2007


PELUKIS ASA (1)

Buat: neng Ayu..

Aku tengah melukismu lewat jemari angin
Yang mencoreti langit dengan kuasnya yang basah
Kebahagiaan ini kemudian menancap bagai akar-akar aur

Tapi, kalimatmu telah menghancurkan nuansa
Menyusup lebur dalam pengakuan
Malam akhir bulan yang fana,

Bandung, Oktober 2004


PELUKIS ASA (2)

(Tetap) buat: neng Ayu..

Ada yang ingin diucapkan angin pada kegelapan
Malam yang mengalirkan badai bunga
Ada yang ingin diucapkan angin pada dingin
Mungkin kegelisahan kuas yang gemetar
Pada bulan dan sepotong langit
Sebuah lukisan tak kunjung selesai

Kini sajak-sajakku mungkin tinggal jejak-jejak
Sejumlah episode dan sekian kalimat yang hancur
Dalam cerita tentang pusaran mimpi bertuba
Kemanakah kita?
Kemanakah pergi?

Berdentang cuaca di koridor di gerai rambut
Berguguran dari tiang ke tiang
Seperti ingin memberhentikan waktu,

Jatinangor, Oktober 2004


MERANTAU

Selepas magrib
Lepaslah sauh saat peluit ditiup
Lalu papan-papan tua berderak menantang gelombang
Riak-riak cahaya bulan dan angin laut yang menari
Ada rindu di geladak
Pada lampu-lampu dermaga
Yang kian mengecil,

Lembar – Padang Bai, September 1999


RESAH

Pada senja ada bias-bias pecah mengubur desah
Pada subuh ada gairah-gairah mengikat patah
Lalu, rindu pun meleleh seperti geliat ASI yang basi
Tumpah di bilik-bilik,

Saritem, Desember 2003


SERENADE FAJAR

Pada negeri-Mu di pesona bunga
Di penghujung musim ku ketuk kabut
Saat Jatinangor masih bercadar kelam
Embun sedingin subuh

Tuhan..
Bolehkan aku berdzikir tanpa tasbih?
Dan ku hitung asma-Mu dengan kalkulator?

Jatinangor, Maret 2005




-------oooooo--------

tentang kawan aktifis kampus

Soulmate

*Oleh: G. Sulye Jati

Percayalah semua ada harganya. Hanya masalah sudut pandang tentang menghargai dan memaknai akan arti sebuah kesabaran. Tengkyu, Bung..”

SMS yang saya terima tanggal 01 / 06 / 2007 pukul. 23:42:09

Pesan singkat itu telah mengingatkan saya kembali tentang obrolan-obrolan kami (tanpa double M yang semuanya berbentuk huruf kapital) yang kadang-kadang sangat alot waktu itu (kami maksudnya disini adalah saya dengan Bung DA -seorang kawan dekat saya- beserta beberapa orang kawan lagi yang lebih dari cukup untuk berperan sebagai aktor pendukung pada tema obrolan). Sungguh berhutang budi kami kepada penemu telepon genggam atau lebih populer dengan sebutan HP. Betapa tidak, penemuannya telah membuat kami sering melanjutkan obrolan yang terputus (karena waktu yang terlalu larut hingga masuk waktu subuh) lewat SMS - SMS yang sungguh sangat ‘kontroversi’. Paling tidak buat saya dan kawan dekat saya itu.

Ngobrol adalah budaya dan tradisi masyarakat Indonesia dari dulu sampai sekarang. Hingga sekarang, ngobrol pun telah menjadi suatu profesi. Lihatlah di TV-TV dan radio, setiap hari hampir sebagian besar acaranya adalah ngobrol melulu. Temanya macam-macam, tentang si A yang putus cinta sama si B, si L yang cerai sama si K dan nikah lagi dengan si M, dan masih banyak lagi tema obrolan yang lain. Hebatnya pula, para pemirsa dan pendengar juga sangat menggandrungi acara ngobrol ini. Mereka bisa betah berjam-jam melototin TV. Di kantor-kantor juga seperti itu, orang-orang yang di gaji oleh rakyat kerjaannya cuma ngobrol melulu mengumbar janji dan membodohi rakyat, seolah-olah mereka sangat serius membahas suatu masalah. Akhir bulan dapat upah. Enak sekali, Bung..

Dalam kehidupan biasa sehari-hari, memperbincangkan sesuatu ada kalanya lama dan sering juga sebentar. Tema obrolan sangat menentukan apakah anda akan ‘ikhlas’ berbetah - betah untuk menghabiskan begitu banyak waktu dalam diskusi panjang lebar atau tidak. Seperti kebanyakan aktifis kampus pada umumnya, maka Bung DA adalah salah satu kawan dekat saya yang sungguh mengasyikkan menjadi lawan bicara. Seluruh tema yang kami bahas buat kawan DA sepertinya tidak ada yang tidak ia ketahui. Sosial, politik, ekonomi, astronomi, hukum, mode, film, musik sampai ilmu hitam dalam dunia perdukunan dan lain sebagainya rata – rata ia kuasai. Sebagai karib dekat, setiap kali bersua dengan Bung DA maka perbincangan akan mengalir. Lepas tanpa beban dan batas, karena ini juga sekaligus kesempatan bagi saya untuk mencuri ilmu dari dia. Tidak perlu menyiapkan tema sebelumnya karena kami juga sering bertemu tanpa pernah janjian.

Namun, dengan begitu banyak topik yang bisa kami angkat tentu tidak semuanya bisa diobrolkan sama panjang. Tergantung sikon walaupun pelengkap yang ada selalu kopi hitam dan rokok (tapi, kadang-kadang saya sering juga mengusulkan untuk minum ‘jamu’). Cuma satu tema yang sampai entah kapan, selalu menduduki peringkat teratas sebagai tema diskusi kami. Hampir bisa dikatakan, semua tema yang kami bahas selalu saja balik kearah tema tersebut. Luar biasa memang, sehingga saya rada ngeri juga kalau tema tersebut sampai diusulkan oleh Bung DA (kawan saya ini juga seorang tokoh dibalik beberapa demonstrasi mahasiswa di Jawa Barat ini) agar bisa di bahas pada sidang para anggota DPR di gedung sate atau senayan. Sebab, sekali saja para anggota DPR tersebut sepakat untuk membahas itu di sidang mereka, maka bisa saya pastikan dengan amat sungguh-sungguh bahwa mereka tidak akan pernah bisa lagi membahas agenda sidang yang lain. Seluruh waktu mereka -sampai dengan pemilu berikutnya- akan habis cuma buat membahas masalah tersebut. Bisa-bisa rakyat mengamuk dan terjadi kudeta besar-besaran. Sangat mengerikan sekali bukan?! Perihal yang saya sebut itu adalah obrolan tentang soulmate, yah.. soulmate!!

Anda tahu soulmate?! Seorang kawan saya –seorang Humas 2003 mantan Bendahara BEM Fikom periode 2005 / 2006- dulu sering menyebut tentang hal itu. Tidak terlalu detail memang, tapi sudah lebih dari cukup bagi saya untuk memahami maknanya. Seluruh jiwa yang tercipta di dunia ini selalu sendiri, dengan satu raga tentunya. Setiap yang sendiri tentu merasa kesepian, manusiawi sekali. Oleh karena itu sudah lumrah jika jiwa yang sendiri itu kemudian mencari pasangannya. Para kawan-kawan ‘penyair’ saya menyebutnya “pasangan jiwa” atau juga sekali-sekali dengan titel “belahan jiwa”. Ah.. begitu romantis sekali. Saya tidak tahu, apakah sebutan yang indah ini juga cocok untuk nama seorang anak saya nanti. Mungkin sekali-sekali nanti saya coba juga. Mudah-mudahan pas dan disetujui pula oleh istri saya kelak (????).

Jika anda adalah penggemar berat aliran musik Ska semacam Shaggy Dog (dengan tembang Hey Cantik-nya) atau Hoobastank (dengan The Reason-nya), maka bisa saya pastikan bahwa anda punya posisi sama dengan Bung DA, telah punya seorang Soulmate juga. Saya sendiri sebenarnya tidak yakin persis jika Shaggy Dog dan Hoobastank (mohon jangan mengganti huruf B dengan M) punya aliran musik yang sama. Tapi, paling tidak (menurut kawan saya itu) isi lagu tersebut mencerminkan sebuah keinginan dan apresiasi perasaan yang dalam.. oooohhhh... (diucapkan dengan mata sedikit sayu dan kedua tangan memegang dada seperti mengingat sesuatu yang sangat indah dan sepertinya tidak akan pernah didapatkan oleh manusia manapun di seluruh dunia ini kecuali oleh anda sendiri).

Aku tengah melukismu lewat jemari angin

Yang mencoreti langit dengan kuasnya yang basah

Kebahagiaan ini kemudian menancap bagai akar-akar aur

…………………………………………………………..

(sepotong sajak: Pelukis Asa (1) by: G. Sulye Jati)

Berbicara tentang belahan jiwa (sekilas saya jadi teringat dengan Katon Bagaskara), maka tentu saja setiap mereka yang merasa normal akan mempunyai itu. Terutama bagi mereka yang senantiasa merasa kesepian saja sepanjang hidupnya. Bukan!!! Maksud saya kesepian itu bukan karena tiada kawan atau lawan, tapi kesepian sejati dalam konteks soulmate (Subjektif saya menelaah statement kawan DA) adalah ‘menyatu’ dengan sesesorang yang tidak (belum) pernah benar-benar bisa jadi satu. Hingga mungkin suatu saat akan kehilangan soulmate yang tidak pernah benar-benar datang. Oh shit man.. Anda mungkin pernah tertidur nyenyak dan bermimpi mencium seorang gadis cantik idaman anda atau mendapat uang bermilyar-milyar dolar, mungkin juga suatu bermimpi rasa sakit tertusuk sembilu didada. Tapi, itu dalam mimpi.. Sakit? Ya..! Bahagia? Tentu..! Tapi, bukan itu keadaan sebenarnya. Dan jika anda pernah mimpi seperti itu, itu urusan anda dengan nasib sial bin apes anda sendiri. Sebab, yang pasti kondisi Bung DA berbeda. Mengapa? Bung DA berada dalam posisi seperti menjadikan sebuah kenyataan menjadi mimpi. Lah..kebalik!? Lha ya, memang unik..

Berkumpul kembali dengan kawan-kawan ‘sealiran’ adalah hal yang selalu saya tunggu-tunggu. Tidak terkecuali dengan kawan saya penggemar Shaggy Dog dan Hoobastank tersebut. Luar biasa (sekali lagi) memang kawan saya yang satu ini. Kesetiaan pada idealisme sesosok soulmate dalam dirinya paling tidak telah mempengaruhi agenda perjalanan hidupnya. Saya menangkap kesan ia lebih memproritaskan ‘nyata’ itu bukan harus tepat waktu, tapi ‘nyata’ pada waktu yang tepat. Sangat arif sekali. Namun, ada hal yang unik dari kawan DA, apakah ketika berkomunikasi dengan soulmate­-nya itu ia menggunakan telepati atau kecanggihan teknologi? Sebab akan menjadi peristiwa amat langka (mungkin seperti peristiwa Nabi Musa mendapat 10 perintah Tuhan di bukit Sinai) jika anda melihat Bung DA menunggu atau bercengkerama dengan soulmate-nya itu. Ah.. Saya jadi malu sendiri dengan beberapa modus operandi saya dalam rangka untuk sekedar memperhatikan seorang gadis pujaan saya (yang sekarang sudah entah dimana) di koridor kampus pada jam istirahat kuliah. Sudahlah, tidak baik membicarakan diri sendiri..

Nongkrong di koridor depan gedung 1 Fikom Unpad dekat payung sosro saat jam istirahat kuliah adalah hal yang selalu saja menyenangkan. Betapa tidak, ratusan bunga-bunga indah nan menawan akan hilir mudik didepan hidung saya tanpa bisa saya menyentuhnya sedikitpun. Tapi tidak apa-apalah, sekedar bertegur sapa pun cukuplah. Tak perlu terlalu jauh karena saya juga belum tentu siap jiwa raga dan mental spiritual (sebuah pembenaran yang mungkin bagi anda sangat ‘diplomatis’ dan begitu konyol..), jika kemudian salah satu bunga wangi itu mengajak saya jalan-jalan. Namun bagi anda yang kebetulan lagi amat sangat beruntung hari itu, maka siapkanlah segala indera perasa anda untuk mencium aroma wangi keteduhan yang dikirim Tuhan lewat seorang hamba-Nya yang kebetulan melintas di depan kita. Bukan apa-apa, tapi setidaknya selepas itu anda akan jadi mengerti mengapa Bung DA sekarang telah menjadi amat bergairah dengan secara revolusioner merubah ‘agenda’ hidupnya melalui ‘peta konflik’ yang sangat dramatis. Luar biasa..

Sesuatu yang menggebu-gebu dan meledak-ledak suatu saat (mungkin human error) akan lepas kendali juga. Disinilah kemudian, kecerdikan seorang Bung DA dalam menganalisa itu. Dengan aktifitas hidup dan karakter yang bagi saya sangat hiperaktif, Bung DA telah berani menentukan balon (red: bakal calon, mengikuti gaya penulisan untuk menyebut calon kepala desa atau kepala dusun di kampung saya) belahan jiwanya sebagai peredam yang nyaman dan lembut. Tidak main-main, sebab kawan DA tidak sekedar menggunakan perasaan tapi juga analisis tentang keyakinan. Yah.. keyakinan yang mantap!! Saya jadi ingat dengan seorang kawan yang sekarang mulai hilang semangatnya. Karena beberapa waktu lalu ia mulai mengatakan bahwa faktor hoki adalah nomor satu dalam mendapatkan sesuatu. Mungkin kawan itu telah patah arang setelah sekian lama ikhtiarnya tidak sedikitpun menuai hasil. Saya jadi mulai berpikir untuk meminta Bung DA supaya lebih sering berbincang serius dengan kawan itu.

Api butuh air dan panas memerlukan sejuk. Kira-kira seperti itulah alasan kenapa belahan jiwa itu mesti ada. Alur kisah Bung DA kemudian terus berjalan mengikuti musim yang senantiasa berganti dengan wujud selalu sama. Perhatikan purnama yang mengintip penuh di puncak Geulis. Jangan pernah merasa kehilangan jika kita tidak bisa menikmatinya malam ini, sebab bulan berikutnya tentu ia kembali bersinggasana di sana dengan kecantikan yang serupa dengan malam ini. Bung DA di pergantian waktu pukul 00.00 adalah penjelmaan Gunung Geulis yang beratap langit tanpa awan. Pada posisi ini, maka kemunculan purnama tergantung pada kebijaksanaannya. Ah.. Memang, terlalu dingin Jatinangor pada musim kemarau ini. Namun, Gunung Geulis dengan purnama dan rerumputan sabananya tetaplah sebuah mata rantai. Eh sebentar.. hamparan rumput di sepanjang punggung Geulis? Ada apa ini? Ya.. Wujud rembulan bisa penuh atau sepotong seperti sabit dan pada waktu tertentu terlihat kecil. Kebersamaannya bersama Geulis selalu momentum, tapi hamparan rumputnya tidaklah seperti itu. Ia setia berdiam disana. Dalam segala suasana hingga mungkin ia akan mulai mengering (jika) pada suatu subuh saat embun terlambat datang.

Seorang bijak pernah berkata, bahwa untuk menguji karakter seorang lelaki sejati maka berikan ia kekuasaan. Menurut saya tidak salah, tapi kurang lengkap. Sebab adalah alternatif lain untuk mengujinya, yaitu dengan memberikan ia pilihan. Yah.. Sebuah pilihan buat lelaki itu, di mana pada ujungnya nanti ia harus mengambil satu pilihan saja (jika ia tidak mau melepas keduanya). Saat lafadz kita sudah bercengkerama dengan kata-kata seperti itu, maka sebenarnya kita sudah masuk pada fase membicarakan sebuah konsekuensi. Semua pilihan ada min plus-nya. Lumrah..

Segala damai datang saat dia menjelma. Kurasakan lagi sejuk dipeluknya. Halus tutur kata yang selalu tercipta. Mengundang naluri untuk sandarkan letihku ..

(Bidadari Kesunyian – by: Ahmad Band)

Kerinduan adalah sebuah dendam terhadap cinta yang merayap. Entah sudah berapa lama Bung DA telah ‘bermain-main’ dengan rindu dendamnya. Ribuan kilometer mengukir asa tentang sebuah anugerah yang memerah darah. Kegalauan yang terbakar namun tak pernah habis. Perempuan itu.. Dengan langkah selembut awan, bertiup dari kisi-kisi dedaunan yang mulai gugur di awal kemarau. Lalu, Bung DA adalah seorang pengelana yang tertidur melepas letih. Bukan.. bukan akan berhenti. Bung DA tetaplah seorang manusia dengan berbagai ‘anugerah’ yang diberikan oleh Tuhan. Terkadang sisi ego terlihat muncul saat Bung DA (entah sedang belajar atau memaksakan diri) seperti hendak ‘membuang’ sejauh-jauhnya segala rasa yang menghimpit tentang perempuan merona. Tapi, itulah jiwa.. itulah rasa.. dan itulah cinta. Meminjam kalimat pada iklan kawan jurnalistik yang saya pelintir sedikit, “sejauh kaki dipaksa melangkah, jejak perempuan itu malah akan semakin berbekas..”.

Menikmati segelas kopi (yang saya hutang di ibu Lo-tech) dengan sebatang rokok pemberian seorang kawan di kantin Fikom adalah salah satu suasana yang tepat untuk bertemu kawan DA. Tapak-tapak hari kemarin tentulah masih selalu berbekas buatnya. Namun ada yang menarik sebenarnya disini. Yakni tentang jiwa pada konteks membelah. Dari sebuah sudut pandang yang lain (yang mudah-mudahan tidaklah terlalu dungu..), saya beranggapan bahwa jiwa bolehlah satu, tapi belahannya tidaklah mesti satu juga. Saya pikir tidak begitu membingungkan. Ingat.. kawan DA adalah seorang ‘sutradara’. Ingat juga tentang hamparan rumput di Gunung Geulis itu. Sambil menunggu purnama, tanpa sadar Bung DA kemudian merebahkan diri di hamparan itu. Ia merasa nyaman. Ia merasa tenang. Apa tidak sekali-sekali, Bung DA datang dengan niat menjumpai rerumputan?

Ada yang ingin diucapkan angin pada kegelapan

Malam yang mengalirkan badai bunga

Ada yang ingin diucapkan angin pada dingin

Mungkin kegelisahan kuas yang gemetar

Pada bulan dan sepotong langit

Sebuah lukisan tak kunjung selesai

………………………………………………….

(sepotong sajak: Pelukis Asa (2) by: G. Sulye Jati)

Oh Tuhan Pemilik Jiwaku ini.. saya saat ini tiba-tiba menjadi begitu serius. Bung DA adalah pengelana misterius. Lalu, si juwita purnama adalah kode-kode rahasia untuk mengungkap jati diri Bung DA. Namun, apakah si hamparan rumput adalah kunci untuk memecahkan kode-kode itu? Agama yang saya yakini sama sekali tidak melarang ummatnya untuk mendapat dua atau lebih (sampai dengan empat). Tapi, ‘etika’ masyarakat modern akan mencerca perihal tersebut. Saya yakin Bung DA punya jawaban sendiri untuk pilihan yang akan diambil.

Jatinangor di fase perpindahan musim. Bung DA masih menganyam sebuah jala untuk menantang arus meraup mimpinya. Saya pikir (sekali lagi) bukan mimpi. Lebih cenderung kepada tekad untuk menjelmakan mimpi (yang sebenarnya sudah menjelma). Mungkin sekali-sekali saya harus memberanikan diri untuk bertanya kepada rembulannya Bung DA tentang musim ditahun ini. Entahlah..

Diakhir coretan ini, saya ingin membayangkan kembali. Jika saja suatu saat nanti Bung DA telah meyakinkan dirinya untuk mengalir. Maka, saya ingin sekali untuk berbincang-bincang dengannya. Ada ilmu yang harus saya timba dari Bung DA. Sungguh.. tapi, biar lebih enjoy, kenapa tidak jika harus ditemani dengan hidangan ‘jamu’? sebab saya merasa, bahwa nanti Bung DA akan membuat sebuah produk semacam ayam goreng Suharti atau Jamu Cap Ny. Meneer, dan produk Bung DA sendiri mungkin akan memakai gambar si juwita purnama itu? Entahlah.. tapi, ada baiknya juga nanti saya tanyakan langsung kepada Bung DA.

Dia masih saja sempatkan senyumnya

Meski bumi yang dia pijak lelahkan langkahnya ..

Belum cukup rasa yang kini tercipta

Baru saja dari sini wanginya masih tertinggal..

(Bidadari Kesunyian – by: Ahmad Band)

*Sang Petarung Kehidupan

tentang beberapa kawan

Pondok Nadin – Jatinangor, 15 Mei 2007 : Pkl. 10.00 malam

Owner

*Oleh: G. Sulye Jati

Bung.. Telor dadar sama asin, nasinya yang timbel aja. Oh ya pake tahu juga satu, goreng agak kering ya.. Makasih, Bung..! Rada cepet udah laper nih..”.

Ah senang juga rasanya dilayani. Setelah seluruh sisi hidup ini saya dedikasikan (walau mungkin kadang-kadang dengan terpaksa) untuk melayani (yang terakhir saya lakoni adalah profesi sebagai pelayan curhat), maka boleh juga kalau sekali-sekali saya yang dilayani. Tidak aneh juga tentunya, bukankah ada yang disebut dengan siklus? Jika kemarin anda ke kampus naik angkot dan saya jalan kaki (karena tidak punya ongkos), maka besok mungkin gantian saya yang naik angkot (karena ada kawan yang mbayarin) dan giliran anda yang jalan kaki (karena nguntit sang pujaan hati yang kebetulan lagi jalan). Itulah siklus, paling tidak menurut seorang kawan yang sering sekali saya jumpai di gerbang Unpad malam-malam.

Untuk masalah melayani dan dilayani, saya harap tidak ada yang akan protes sebab argumentasi yang akan saya sodorkan sudah cukup kuat; SIKLUS..!! Anda juga jangan ngotot untuk kemudian mengajak saya berdebat. Biar begini juga saya punya beberapa kawan kumpulan tukang debat yang mumpuni dan handal, yang pasti akan membantu saya untuk berdebat sangat alot dengan anda. Jadi, saya harap lupakanlah dan buang jauh-jauh niat anda untuk mengajak saya berdebat (terutama masalah siklus tersebut). Sebab jika anda mencoba nekat, maka sampai dower 1, 5 meter bibir anda dan sampai berbusa sekental sperma ludah anda tidak akan pernah menang berdebat melawan kawn-kawan saya itu.

Memang hebat. Untuk itulah saya banyak bergaul dengan mereka. Harapan saya, suatu saat nanti saya bisa juga ketularan hebat berdebat. Hal yang utama sehubungan dengan harapan saya itu adalah adanya pepatah “bergaul dengan penjual parfum, kita bisa juga ketularan wangi..”. Walaupun setelah sekian lama saya masih juga belum jadi ‘wangi’ seperti kawan-kawan saya yang tukang debat itu. Ataukah saya yang terlalu bodoh?! Ah.. entahlah, yang penting kawan-kawan saya sekarang ini sudah tambah hebat dan selalu siap membantu jika saya harus berdebat dengan siapapun (termasuk anda tentunya). Untuk sementara ini cukup itu saja dulu.. aman kan?!

Kembali kepada masalah melayani dan dilayani. Saya pernah berpikir kalau semua rumah makan akan melayani pembelinya. Sebab yang utama adalah saya sudah betul-betul haqqulyaqin dengan ‘kampanye’ rumah-rumah makan di semua tempat yang pernah saya kunjungi, bahwa PEMBELI adalah RAJA. Tapi, belakangan ini saya nampaknya harus mengkaji kembali ‘kesepakatan’ saya untuk tag line para warung makan tersebut. Pasalnya adalah beberapa pengalaman yang membingungkan buat orang dengan tingkat intelektual yang rendah seperti saya.

Daerah yang secara waktu lumayan panjang saya diami adalah Jatinangor. Sebuah kawasan pendidikan (???) di mana saya mendapat kesempatan untuk kuliah di kampus Fikom Unpad. Di Jatinangor ini bertebaran banyak sekali rumah makan yang anda sendiri mungkin akan sangat malas untuk mengitungnya (kecuali itu menjadi bagian dari tugas kuliah anda sendiri). Jika anda orang yang dermawan, maka bisa dipastikan sebanyak apapun duit anda sepertinya tidak akan cukup untuk membayari sekaligus semua rumah makan di Jatinangor dalam satu waktu. Dan yang paling penting adalah tidak semua rumah makan di Jatinangor ini mau memperlakukan pembelinya seperti raja. Sungguh..

Tidak usah jauh-jauh. Jika anda merasa lapar saat lewat di gerbang Unpad, saya sarankan anda untuk mampir di rumah makan padang yang ada di seberang jalan depan kantor Camat Jatinangor. Atau silahkan juga anda berkunjung ke warung makan (yang mengklaim dirinya menyediakan makanan khas sunda) di sebelah tukang photo copy dekat penjual pulsa belakang kios 24 jam. Saya beberapa kali kesana ‘mengantar’ perut saya untuk di isi. Sesuai dengan pengalaman saya, maka bisa dipastikan anda tidak akan dilayani seperti layaknya seorang ‘raja’. Anda akan melayani diri anda sendiri dengan cara mengambil sendiri makanan yang anda inginkan. Tatap muka anda dengan penjual makanan itu terjadi hanya saat anda membayar makanan (kecuali anda pura-pura minta izin ke kamar kecil untuk kemudian kabur..). Ternyata pengalaman ini tidak hanya terjadi di Jatinangor saja, tapi sudah ‘mewabah’ rata-rata ke seluruh tempat yang pernah saya kunjungi itu.

Pernah juga saya ‘mengeluhkan’ ini kepada seorang kawan. Sepertinya kawan tempat saya biasa berkeluh kesah ini sudah bisa menerima kondisi ‘siklus tag line’ rumah makan. Ini terbukti dari jawabannya yang mungkin terdengar bagi saya cukup diplomatis, “..ah, kau Bung.. memang sudah seperti itu kondisi sebagian besar rumah makan sekarang. Sebab, yang Bung jumpai dirumah makan itu bukan pelayan atau karyawan rumah makannya. Tapi, mereka adalah Owner rumah makan itu.. apa Bung tidak tahu?!”. Namun, lanjut kawan saya ini, tidak semua rumah makan itu seperti yang saya keluhkan. Di sini kesalahan saya adalah, “..tidak pernah makan di tempat yang mengharuskan pembeli menyediakan budget­-nya minimal 25 ribu untuk sekali santap..”, begitu mantap kawan saya ini memvonis saya to the point (dan saya mengakuinya dengan mantap pula..). Tapi, 25 ribu rupiah sekali santap untuk seorang perantau seperti saya?! Busyet dah, biadab dan dzalim betul pembuat daftar menunya.

Beberapa kawan saya belum lama ini telah sepakat untuk saling bergabung dalam menciptakan sebuah lapangan pekerjaan, yakni membuka usaha menjual makanan. Seorang kawan yang saya jumpai di kampus menceritakan jika kawan-kawan yang membuka usaha makanana itu sekaligus adalah owner juga dari warung makan yang mereka dirikan. Mereka adalah pemilik 100 persen saham dan berarti sekaligus juga pemilik yang sah dari usaha itu (termasuk juga “nama” tempat makan tersebut, jadi kalau ada yang mau membuka usaha jual makanan juga tapi dengan “nama” yang sama, maka ia harus mendapat izin dan membayar royalti pada kawan-kawan saya itu.. Luar biasa!!). Ketika mendengar itu, seketika terbayang dalam benak saya rumah makan di samping gerbang Unpad. Apakah kawan-kawan saya itu juga seperti itu ‘mengelola’ usahanya?

Saya pernah ‘dikuliahi’ oleh seorang kawan yang tergolong sebagai salah satu orang yang saya anggap hebat pula. Ia mengatakan bahwa salah satu cara untuk memecahkan masalah kaum buruh adalah dengan menjadikan semua buruh itu sebagai pemilik usaha. Menarik bagi saya, karena itu berarti semua orang akan jadi majikan. Wah.. agak terhibur rupanya saya sedikit, maklumlah orang seperti saya selalu saja berharap suatu saat bisa hidup berkecukupan. Apalagi sebagai bos, saya selalu bermimpi menjadi seperti itu.

Di sini menurut kawan saya yang hebat itu, orang paling tidak harus memulai dari mempunyai jiwa seorang owner. Semua orang harus membiasakan dirinya untuk berkarakter seperti layaknya owner. Walaupun juga saat ini, misalnya, orang tersebut sedang bekerja pada orang lain, sebagai buruh. Dengan karakter seperti itu, lanjut kawan hebat ini, maka si buruh tersebut pasti akan bekerja dengan sangat sungguh-sungguh dan tidak akan melakukan suatu hal yang akan merugikan perusahaannya. Kenapa? Karena ia sudah merasa sebagai ‘pemilik’ perusahaan itu, maka tentu saja ia tidak ingin ‘perusahaannya’ menjadi rugi atau bangkrut sampai gulung tikar segala. Terlongo-longo saya mendengar penjelasan yang sangat brilian tersebut. Memang hebat sekali kawan saya yang satu ini. Sepertinya ia sudah ditakdirkan untuk jadi orang hebat semenjak orang tuanya masih pacaran dulu.

Belajar menjadi seorang owner?? Harus saya lakukan itu!! Terbayang saya akan berpakaian rapi, sedikit klimis tentunya. Alangkah senang ibu dan keluarga juga kawan-kawan saya di kampung termasuk juga alamarhum bapak saya, begitu mengetahui saya menjadi seorang pemilik perusahaan. Tidak sia-sia pula saya jauh-jauh merantau menyeberangi dua selat lautan dan melintasi daratan pulau Jawa yang begitu panjang. Mengenai jenis usahanya nanti sajalah saya pikirkan. Apakah jual sendal, produksi pakaian bayi atau bandar buah-buahan di pasar induk Gedebage. Masalah itu nanti sajalah, sebab sekarang saya masih sibuk membayangkan kebahagiaan orang-orang di kampung saya itu.

Salah satu ciri khas seorang owner adalah ia bebas berbuat apa saja terhadap perusahaannya, temasuk juga para pekerjanya. Kalau tidak salah, mungkin itu yang disebut kebebasan yang mendekati ‘mutlak’ (rekrut pekerja sesuka hati dan pecat pekerja juga sesuka hati). Seperti itu juga, seorang dosen pun memiliki hak ‘mutlak’ untuk memberikan mahasiswanya nilai apa saja yang dosen itu inginkan. Terserah apakah mahasiswanya itu rajin, nakal, pintar, atau bego sekalipun. Masalah nilai itu suka-suka dosen dan tergantung juga pada ‘lobi-lobi’ mahasiswanya. Melihat hal tersebut, apakah berarti dosen tersebut adalah seorang (paling tidak mempunyai karakter) owner juga? Owner kampus atau mempunyai hak ‘kepemilikan’ atas nasib mahasiswa? Mungkin perlu sebuah diskusi yang alot dan lama untuk memecahkan pertanyaan tersebut.

Pada zaman dahulu kala, ketika dunia ini masih berbentuk kerajaan-kerajaan dan orang-orangnya masih suka saling berperang menggunakan panah, pedang, dan tombak, maka para pemilik kerajaan -sebagai ‘owner’ bagi rakyatnya- akan bebas sekali menghukum rakyat yang ia anggap bersalah (atau tidak ia sukai secara amat sangat subjektif sekalipun). Apakah kemudian orang-orang sekarang sangat mengagung-agungkan sejarah? Atau juga (positive thinking saya) mungkin karena mereka ingin melestarikan kebudayaan, maka gaya owner zaman baheula itu kemudian masih digunakan di kampus-kampus. Sampai saat ini..

Almarhum bapak saya dulu adalah seorang guru sejarah di sebuah SMP. Saya sendiri pun sangat menyukai pelajaran sejarah. Tapi, sepanjang pengetahuan saya yang sangat terbatas ini, tidak pernah ada himbauan (baik oleh guru di sekolah maupun oleh para aparat desa di kampung saya) untuk hidup menggunakan metode gaya para raja zaman dulu (maaf, di sini saya tidak meminta anda untuk menyingkat kata PARA dan RAJA menjadi kata PRAJA). Entahlah kalau kawan-kawan yang lain. Mungkin saja, sebab saat ini gaya itu sudah ‘dipraktikkan’ benar-benar (tanpa sensor dan pemeran pengganti) oleh sebuah kampus, tetangganya Unpad.

Mungkin karena para mahasiswa -yang potongan rambutnya seragam- itu merasa mereka adalah owner kampus tempat mereka belajar. Jika bukan mereka yang membangun kampus itu (maksud saya, mereka bukan pemegang saham seperti kawan-kawan saya yang membuka usaha makanan), paling tidak mereka telah merasa sebagai pemilik sah ‘para pendatang’ yang datang lebih belakangan dari mereka. Jadi mereka boleh berbuat apa saja semau dan sesuka hati seperti para panglima perang atau raja-raja zaman nenek moyang. Atau jangan-jangan mereka telah pula di kasih ‘kuliah’ oleh kawan saya yang hebat itu? Jadi, apa yang kemudian mereka lakukan adalah merupakan bagian dari praktik supaya bisa menjiwai. Sehingga diharapkan kelak mereka akan betul-betul berkarakter owner dan siap untuk menjadi seorang ‘pemilik’ perusahaan atau kantor tempat mereka bekerja. Kalau itu yang terjadi, bertambah rasa kagum saya kepada kawan saya itu. Memang hebat dia.. masih kuliah tapi sudah bisa memberikan ‘kuliah’ kepada seluruh isi satu kampus, walau mungkin secara tidak formal.

Seorang owner rumah makan bisa juga merangkap sebagai karyawan bagi rumah makan yang dikelolanya. Setidaknya ini bisa saya lihat dibeberapa tempat yang saya tahu persis (kemudian) kalau orang itu adalah pemilik yang sah dari rumah makan tersebut. Tentu saja kemudian dari penampilan dan gayanya (biasanya) akan sedikit berbeda dibandingkan orang yang betul-betul hanya bekerja sebagai karyawan atau pelayan biasa. Jangan salah, ‘teori’ ini bukan saya dapatkan dari kawan hebat saya, tapi betul-betul dari ‘penemuan’ sendiri. Asli saya alami..

Sebagai seorang kawan yang baik, tentu juga saya harus ikut berbahgia jika ada kawannya yang telah sukses mendirikan sebuah usaha sendiri. Jika usaha yang dibukanya itu adalah sebuah usaha menjual makanan, maka cara yang baik adalah datang kesana untuk membeli makanan layaknya seorang pelanggan. Tapi, tujuan lain yang juga ingin saya lakukan adalah ingin mengucapkan selamat dengan sedikit doa semoga usahanya semakin lancar dan sukses. Mungkin saja nanti setelah kawan-kawan saya itu sukses, mereka akan merekrut saya menjadi karyawannya. Sebab saya sendiri juga tidak bisa memastikan apakah nanti saya juga akan bisa menjadi seorang owner seperti mereka atau tidak. Sedikitnya saya tahu juga kalau menciptakan lapangan pekerjaan atau mencari pekerjaan mungkin agak susah di zaman seperti sekarang ini.

Luar biasa sekali kawan-kawan saya ini. Para generasi muda harapan bangsa dan kebanggaan orang tua (mungkin juga harapan para calon mertua). Mungkin merekalah orang-orang yang dimaksud oleh tujuan pendidikan negeri ini. Sekelompok orang yang selalu disebut-sebut dalam setiap pidato Bapak Presiden ketika hari Sumpah Pemuda tentang generasi muda harapan bangsa. Selalu diobrolkan ibu-ibu ketika arisan, tentang kriteria calon suami buat anak gadisnya. Senantiasa dibahas oleh bapak-bapak saat rapat pengurus RW, tentang sosok ketua Karang Taruna yang baik dan berkredibilitas. Masih muda dan bersemangat, sudah bisa berdikari (tidak sekedar bisa mandi sendiri) dan tentunya sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan (paling tidak untuk mereka sendiri). Agak malu saya sama diri sendiri.

Disini, tidak perlu dululah kita mempersoalkan apakah jenis usaha yang mereka jalankan itu memang sudah sesuai dengan bakat dan cita-cita mereka sebelumnya. Itu tidak penting menurut saya. Toh, bakat itu mungkin bisa dibentuk belakangan dan cita-cita juga bisa ditentukan nanti saja. Setelah kita sukses pastinya.. Yang penting berkreasi dulu dan tentu saja halal!!

Saya merasa agak berdosa dengan kawan-kawan owner saya itu. Belum apa-apa saya sudah ‘lancang’ untuk mempersepsikan kawan-kawan owner saya itu akan sama dengan para owner di semua warung makan yang pernah saya kunjungi. Sialan juga para pemilik rumah makan itu. Setelah mereka membentuk opini saya tentang tag line bahwa pembeli itu adalah seorang raja (yang ternyata saya rasa keliru), sekarang mereka juga (tanpa pernah ‘mengkuliahi’ saya) sudah membuat saya su’udzon kepada kawan-kawan baik saya sendiri. Bedebah juga..!!

Sebab ternyata tidak. Tidak sama sekali… Ternyata di tempat makan kawan-kawan saya ini, saya diperlakukan betul-betul seperti raja. Ya.. Saya dilayani!! Datang dan kemudian bertegur sapa dengan tidak mengurangi keakraban kami selama ini. Pesan beberapa menu yang kira-kira muat dengan kemampuan saku seorang musafir kelana (baca: kaum miskin kampus sekaligus perantau kere) dan saya tinggal duduk saja menunggu pesanan diantar. Ya.. duduk saja dengan santai dan nyaman seperti seorang raja!! (Sekali lagi) Seperti seorang RAJA!!

Seorang owner perusahaan koran atau majalah, pemilik saham sebuah bisnis jamu wedang jahe, termasuk juga yang menjadi pemilik sah sebuah pabrik dodol, tidak pernah saya jumpai (atau mungkin tidak pernah saya dengar dari siapapun kawan saya yang pandai dikampus) baca koran, minum bajigur, atau juga duduk dengan santai makan-makan dodol dengan pelanggan atau pembeli (baca: raja) yang dilayaninya. Kalau itu tidak pernah terjadi diseluruh penjuru nusantara tercinta ini atau juga dibelahan planet bumi manapun, maka di warung makan kawan-kawan owner saya ini hal itu adalah pengecualiannya. Saya betul-betul duduk dengan pelayan.. ehh maap, maksud saya dengan owner­-nya warung makan dan menyantap makanan bersama. Mungkin juga dengan menu yang sama (saya tidak begitu sempat untuk memperhatikan menu yang disantapnya dengan begitu nyaman).

Dalam kisah hidup saya sebagai bagian dari rakyat proletar, paling tidak saya mesti berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada kawan-kawan saya para owner itu. Sebab, merekalah yang telah memperlakukan saya seperti tag line yang saya ketahui. Sekaligus juga telah memberikan saya pengalaman yang amat sangat baru dalam cerita hidup saya ini, bahwa salah satu kewenangan owner yang lain adalah ia boleh makan bersama ‘raja’ yang sedang dilayaninya kapan saja ia mau, dimeja yamg sama.

Sambil menghirup segelas kopi hitam (pesanan dari warung tenda “cita”) plus menghisap sebatang rokok yang sudah gepeng pemberian seorang kawan di gerbang Unpad –sekitar jam sepuluh malam- saya melamun dengan khusyuk, apakah saya benar-benar pernah jadi seorang ‘raja’? Terpikir juga kiranya saya untuk bertanya kepada seluruh kawan-kawan saya yang hebat. Sebab mungkin cuma mereka yang bisa menjelaskan atau memutuskan persoalan saya ini. Atau jika masih penasaran, mungkin sekali-sekali saya harus mencoba pula untuk makan di tempat yang mengharuskan calon pembelinya punya isi saku minimal 25 ribu untuk sekali ‘suap’ (dengan resiko setelah itu mungkin saya harus puasa seminggu). Ah sudahlah.. Biar saja apapun kata orang, yang penting saya pernah dilayani seperti ‘raja’. Titik…!!!

*Sang Petarung Kehidupan

“… ketika akhirnya saya memutuskan untuk menghibahkan tulisan ini kepada kawan-kawan saya yang mau mempublikasikannya, maka kawan-kawan owner saya itu telah memutuskan juga untuk kembali ke bangku kuliah … dalam arti kata, kuliah memang harus diutamakan. Tepat waktu atau pada waktu yang tepat, apapun itulah …”

tentang seorang kawan

Pondok Nadin – Jatinangor, 12 Mei 2007 : Pkl. 08.00 malam

Macan Kampus

*Oleh: G. Sulye Jati

Bung, kampus kita ini penuh sesak sepertinya bukan cuma karena terlalu banyak Mahasiswa Baru yang masuk atau gedung kuliah yang sedikit. Tapi juga karena mahasiswa lamanaya nggak lulus-lulus.. kecenderungan mereka untuk lebih senang memainkan gaya sepak bola Italia juga menjadi penyebab yang mesti dianalisis dan dikaji lebih dalam lagi.. ini sebuah studi kasus yang menarik juga, Bung!

(ini adalah sebuah ucapan saya dulu kepada kawan SF, seorang K1C99, yang mungkin dengan ‘guarauan’ saya itu telah memacu adrenalinnya lebih radikal lagi. Sehingga tak lama kemudian saya mengetahui jika kawan SF telah berhasil ‘membebaskan’ dirinya dari apa yang disebutnya ‘pembodohan’ tersistem dalam dunia pendidikan Indonesia. Sekaligus juga telah membantu orang tuanya dari pengeluaran berkepanjangan. Seremonialnya? Tentu saja sebuah ‘pesta perpisahan’ di Graha Sanusi ..).

Semua orang di dunia ini punya hak preogratif untuk menamakan apapun yang dia temukan pertama kali. Sebab, orang tersebut telah menjadi seorang penemu. Jika anda secara tidak sengaja telah berhasil membuat masakan dengan bumbu yang anda karang-karang sendiri (dan takdir menentukan rasa masakan itu enak), maka anda berhak untuk menamakan resep masakan penemuan anda itu dengan sesuka hati. Jika anda punya anak kandung, maka anda pun berhak untuk memberi nama anak kandung anda itu sesuai selera anda (kecuali anda sedang tidak punya ide yang di rasa cemerlang, kemudian anda melimpahkan hak ‘pelabelan’ anak anda kepada tetangga. Itu sih masalah anda.. Bung!!). Peduli apa kata orang, toh itu adalah ‘hasil’ karya anda sendiri kan?! Begitu juga dengan judul sebuah tulisan. Apapun isi tulisan anda, kasih saja judul sesuai keinginan anda. Mudah saja bukan?! Tapi sudahlah, bicara tentang nama hanya akan membuat saya pusing, sebab ada sesuatu yang akhir-akhir ini agak mengganggu pikiran saya..

Begini ... Ini berkaitan dengan salah seorang kawan terdekat saya. Entah kenapa dengan diri kerabat karib saya ini, seorang D3 Fikom Unpad angkatan 2003 (tentu tidak baik bagi saya menyebut nama, karena khawatir nanti saya malah menjadi terlalu jujur untuk terus saja menceritakan banyak hal tentang karib saya ini..), tanpa sebab yang jelas menurut observasi saya, selalu saja ia tiba-tiba menjadi sangat bersemangat setiap kali dirinya berada di awal semester perkuliahan. ‘Jargon – jargon’ yang ‘dikumandangkannya’ (dengan gaya seorang danlap Tatib Ospek Fikom) pun hampir selalu seperti itu-itu saja di tiap awal semester.

“.. Anjir, gue sekarang mesti rajin kuliah. IPK gue jeblok nih.. Pokoknya sekarang gue mau bener-bener kuliah. Berapa SKS sih maksimal yang boleh diambil??? Ntar sisanya gue SP-in aja..!!“. Karib saya ini sepertinya punya sebuah ‘ritual’ yang terjadwal dalam hal mengontrol jumlah IPK-nya hanya pada tiap awal semester.

Pun kalau tidak khilaf, saya selalu mendengar rentetan kalimat dengan struktur seperti itu ia ucapkan sudah dari semester tiga dulu. Sampai sekarang (tahun 2007) karib saya ini sudah berada di semester delapan dan beberapa bulan lagi sudah masuk pula dia di semester sembilan. Hingga detik ini pun, alhasil IPK-nya masih tetap saja seperti pertama kali dia mengucapkan kalimat-kalimat itu pada tahun 2004. Malah ada kecenderungan akan mengalami penurunan. Dan sepertinya, di awal semester sembilan ini dia kembali akan mengucapkan kalimat-kalimat ‘sucinya’ itu. Melihat fakta IPK yang turun, maka ada prediksi ia akan menambahkan sedikit kalimatnya dengan “biar gue lulusnya lebih cepet lagi, gue udah kagak enak nih sama nyokap gue..”. Mengenai prediksi itu saya sudah mulai ‘mengendus’ signal-signal-nya yang hanya saya sendiri yang bisa merasakan. Untuk itu saya pun sudah mempersiapkan diri untuk mendengar ia mengucapkan sumpah palapa yang telah disempurnakannya itu (yang pasti penyempurnaannya bukan dengan kalimat syahadat), dengan penuh takzim tentunya.

Ada yang menarik, biasanya ciri-ciri karib saya ini akan melakukan pelanggaran terhadap janjinya sudah bisa dideteksi tidak begitu lama dari ia ‘mengumandangkan’ kalimat-kalimat ‘progresif-nya’. Khas yang begitu terlihat adalah ketika masa perwalian sudah dimulai. Ada kemungkinan ia telah mempropaganda dirinya sendiri dengan berkeyakinan bahwa dosen walinya itu sama dengan wali songo atau wali nikah. Tapi, untuk yang terakhir ini saya tidak begitu yakin, sebab karib saya ini sama sekali belum pernah menikah. Jadi besar kemungkinan ia tidak akan menyamakan dosen wali dengan wali nikah. Kalau disamakan dengan wali songo mungkin sekali terjadi. Soalnya karib saya ini pernah juga bersekolah di sekolah agama semacam Al-Azhar dengan prestasi yang pas-pasan saja. Namun, paling tidak ia jadi tahu bahwa wali songo itu adalah orang-orang baik yang selalu mencari dan menunggu orang-orang yang akan didakwahinya serta mengajarkan ilmunya dengan cukup sabar.

Salah satu aktifitas karib saya ini yang paling juara (meminjam istilahnya Bung KM, seorang K0C03, kawan saya juga di Fikom Unpad) adalah begadang. Meskipun ia juga punya kebiasaan lain, seperti nongkrong seharian di kantin Fikom Unpad dengan gelagat ‘seolah-olah’ sedang menunggu jam masuk kuliah atau menunggu dosen untuk perwalian. Juga kadang-kadang ia terlihat ‘seperti’ sedang menunggu sebuah inspirasi (yang mungkin harus ia cerna baik-baik) tentang bagaimana cara untuk menyelesaikan sebuah tugas mata kuliah yang begitu berat dan harus dikumpulkan besok pagi. Namun, dibandingkan dengan tradisi ‘menunggu jam kuliah’ di kantin, maka kebiasaan begadang inilah yang (sekali lagi) paling juara. Ini sebenarnya secara tidak langsung berkaitan pula dengan pola aktifitasnya yang sering sekali tidur di mulai pukul 07.00 atau 08.00 malam.

Pola tidur (yang katanya ia dapatkan dari sebuah artikel yang membahas masalah-masalah kesehatan di sebuah koran lokal, tapi saya malah menduga ia mendapatkan ‘resep’ cara tidur yang ‘sehat’ itu dari koran Lampu Merah..) seperti itu telah membuat karib saya ini selalu terbangun sekitar pukul 00.00 atau 01.00 tengah malam. Biasanya ia akan terbangun karena lapar (ketika tidur tadi ia belum sempat makan malam). Dari sanalah kemudian proses segala macam kekacauan tentang rencana ia besok untuk perwalian atau pun kuliah menjadi berantakan. Bisa dipastikan karib saya ini akan mulai ngantuk lagi pada pukul 05.00 – 06.00 pagi. Gogoleran sedikit, lalu ia akan terlelap kembali dengan sangat nyaman. Bisa dimaklumi kalau ‘beliau’ kemudian akan terbangun lagi (untuk kedua kalinya) sekitar pukul 11.00 atau pada waktu dzuhur. Walhasil, jadilah ia tidak akan pernah melakukan pewalian, kuliah, mengumpulkan tugas, mencatat jadwal ataupun melaksanakan semua rencananya tentang kuliah yang baik dan benar dalam rangka memperbaiki IPK sehingga cepat lulus sesuai dengan statement-nya di awal semester.

Sebagai seorang ‘kerabat dekat’ yang ingin membantu, tentu tidak solider jika saya hanya bisa berdiam diri saja melihat karib saya ‘menindas’ dirinya sendiri. Beberapa tindakan yang bagi saya cukup radikal dan progresif pernah juga saya lakukan untuk membantu karib saya ini (sampai sempat terpikir untuk meminta bantuan kepada kawan-kawan dari FPI atau organisasi-organisasi yang punya kebiasaan ‘membantu’ sesamanya dengan aturan kekerasan, seperti kawan-kawan dari kampus tetangga). Untuk mengurangi kebiasaannya begadang, hal yang pernah saya coba adalah sesering mungkin memutarkan lagunya Bang Raden Haji Oma Irama -yang berjudul ‘BEGADANG’- di komputer karib saya ini.

Tapi, sepertinya butuh waktu yang cukup lama (mungkin lebih dari tiga semester) untuk propaganda Bang Raden Haji Oma Irama itu bisa di cerna dengan baik oleh karib saya ini. Walaupun saya tahu kalau ia tidak begitu suka dengan jenis lagunya Bang Raden Haji Oma Irama. Awalnya saya amat berharap, karena paling tidak Bang Raden Oma Irama kan sudah bergelar Haji. Jadi, paling tidak lewat lagu-lagunya, karib saya akan bisa juga mendapatkan sedikit karomahnya (saya agak sedikit mengingat kebiasaan orang-orang di kampung saya yang menganggap seorang haji itu bisa jadi keramat karena pernah pergi ke Mekkah).

Selain itu, untuk mengganti jenis lagu dengan tema yang sama serta penyanyinya adalah orang yang punya karomah juga, agak sulit bagi saya. Lagu-lagu berbahasa inggris atau seperti lagu grup band Samson dan Letto (yang saat ini sedang begitu digandrungi oleh sebagian besar anak muda Indonesia) tidak ada yang bertemakan nasihat yang baik seperti lagu BEGADANG-nya Bang Raden Haji Oma Irama. Apalagi dengan ditambah pertanyaan, apakah penyanyi-penyanyi itu juga sudah bergelar haji seperti Bang RH. Oma Irama?? Saya malah tambah pesimis. Pisan malah..

Ah.. jika lewat lagunya Bang RH. Oma Irama harus menunggu tiga semester, tentu tidak baik buat karib saya ini. Sebab pertanyaan yang utama adalah ia jadinya akan lulus kapan? Kalau untuk sadar saja harus butuh waktu satu setengah tahun dari tahun pertama ia bisa meresapi suara emasnya Bang RH. Oma Irama? Kapan ia akan bisa menjiwainya? Apakah ia harus kuliah di program D III itu selama 14 semester atau 16 semester? Mahasiswa S1 saja mungkin menganggap itu waktu yang lama untuk menjadi seorang sarjana. Kasus karib saya ini jadi terasa lebih berat daripada saya harus membuat tiga buah Laporan Tugas Akhir sekalipun. Malah mungkin bagi kawan-kawan S1 akan lebih senang jika dimintai tolong untuk membuat Skripsi dengan Dosen Pembimbing seorang dosen paling killer dikampusnya. Sangat menarik dan luar biasa..

Seorang bijak pernah berkata, “Sampaikanlah sesuatu itu dengan kata – kata yang lembut dan dengan cara yang baik..“. Terinspirasi dari hal tersebut, maka dengan begitu bersemangat saya sering mengingatkan ia tentang ‘program-programnya’ untuk memperbaiki nasib akademiknya. Hal yang menarik adalah karib saya ini akan begitu takzim dan terlihat lebih takzim dari waktu saya mendengar sumpah palapanya itu (biasanya juga ia akan mengangguk-angguk seperti seorang mahasiswa kedokteran yang akan lulus Cumlaude, seakan-akan mengerti dan seolah-olah saat itu juga ia akan melaksanakan segala ‘proyek’ besarnya itu), saat ia mendengar pertanyaan ataupun penyataan saya yang sangat standar.

Udah perwalian belum?”. saya basa-basi sedikit untuk memancing reaksinya. “Buruan, ntar malah telat lo bisa dikurangi SKS-nya. Orang-orang lagi pada perwalian tuh, terus lo kalau bisa langsung catat jadwal kuliah. Biar enak nanti ngebagi waktunya. Apalagi lo kan ngulang semua..!“. Pada beberapa kesempatan juga sering saya mengingatkan karib saya ini dengan sebuah realita, “ kawan-kawan kita udah pada lulus tuh. Kalau lo kagak memacu diri kapan lagi lo bisa beres?! Sayang sama waktu.. Junior angkatan kita udah terlalu banyak..!“.

Sering sekali saya mendengar istilah ‘macan kampus’ untuk menyebut seorang mahasiswa yang begitu betah bertahun-tahun dikampusnya tanpa berbuat apapun. Sampai mungkin si mahasiswa tersebut sudah mulai lupa, juniornya sekarang sudah berapa angkatan. Tapi tolong, karib saya ini bukan macan, singa, harimau, ataupun segala isi rimba raya sekalipun. Ia adalah seorang manusia, sama seperti saya juga dan kawan-kawan yang lain. Saya juga tidak akan terima begitu saja kalau ada yang mengatakan dengan serius bahwa para ‘macan kampus’ itu punya kemungkinan ia adalah keturunan macan beneran. Wah.. kalau itu mungkin saya sendiri yang akan membawa kasus ini ke pengadilan sebagai sebuah laporan fitnah dan penghinaan yang amat susah untuk dimaafkan. Cuma untuk karib saya ini, masalahnya bukan karena ia mendapat gelar macan kampus atau tidak. Tapi, dengan berlama-lama di kampus tanpa kuliah yang benar tentu tidak bagus buat dia. Paling tidak ia harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, disamping juga kepada keluarganya yang telah mengeluarkan budget begitu banyak untuk biaya selama ia menjadi mahasiswa.

Sebuah obrolan dengan seorang kawan yang akhir-akhir ini sedang mendalami masalah-masalah agama dan filsafat (yang membuat saya amat sangat terkagum-kagum melihat kepandaian dan kefasihannya berbicara, membuat saya berpikir jangan-jangan kawan yang pandai ini telah pula bergelar haji dan juga mendapat karomah seperti Bang RH. Oma Irama atau para haji dikampung saya..? Untuk perihal ini nanti saja kita telaah lebih jauh lagi, sekarang yang lebih penting adalah nasib akademis karib saya dulu..) telah membangkitkan sebuah optimisme dalam diri saya. Bahwa karib saya itu akan bisa juga merampungkan segala ‘proyek’ akademisnya secara benar dan baik melalui sebuah niat serta usaha yang muncul dari dirinya sendiri. Kawan yang pandai dan fasih itu menyebut sesuatu bernama ‘MUKJIZAT dan HIDAYAH…’!!

Para penerima mukjizat itu adalah mereka yang ditunjuk sebagai Nabi oleh Tuhan. Karib saya bukan nabi, ia adalah manusia biasa. Jadi peluang yang ada adalah ia bisa mendapatkan hidayah..!! “..Hidayah itu bisa datang kepada siapa saja tanpa perduli apakah ia seorang nabi, mahasiswa, tukang bakso, presiden, rektor ataupun seorang dosen wali sekalipun.. Bung harus tahu itu!”, sangat cermat kawan yang pandai itu menjelaskan.

Sama sekali tidak terpikir oleh saya untuk berharap jika yang mendapat hidayah itu adalah dosen walinya karib saya ini (ini adalah pikiran yang sangat kurang ajar). Bukan cuma karena dosen walinya karib saya ini berjenis kelamin wanita, tapi juga lebih kepada etika antara mahasiswa dengan dosen. Apa kata dunia pendidikan Indonesia nantinya, jika seorang dosen wali sampai mencari-cari mahasiswanya kekostan hanya untuk melakukan tanda tangan KRS?! Ini amat sangat kurang ajar dan bukan contoh yang baik, bukan?! Bergidik saya membayangkan karib saya ini akan di demo oleh seluruh mahasiswa Fikom, bahkan mungkin se-Unpad atau mahasiswa se-Indonesia yang begitu ‘revolusioner’, hanya karena hal tersebut. Saya bisa memastikan bahwa para mahasiswa yang mendemo karib saya ini akan menolak mentah-mentah argumentasi bahwa hal tersebut terjadi karena dosen walinya karib saya ini telah menerima hidayah, sehingga ia menjadi kelewat baik. Ah.. pening kepala saya…!!!

Sungguh, saya hanya berharap karib saya ini sajalah yang mendapatkan hidayah seperti yang disebutkan oleh kawan yang pandai itu. Hampir melompat saya kegirangan membayangkan jika karib saya akan benar-benar mendapatkan hidayah itu. Tapi, kapan??? Menurut kawan yang pandai itu, hidayah tidak bisa diprediksi kedatangannya. Bisa kapan saja, mungkin besok dan mungkin juga 10 tahun lagi atau malah 30 tahun yang akan datang.

.. itu adalah rahasia Tuhan dan tidak seorang pun manusia yang bisa tahu.. manusia bisa dapat dan bisa juga tidak!“, kata kawan yang pandai dan fasih itu menambahkan. Ini hal yang sulit lagi buat saya mencerna. Masalahnya adalah kita kemudian menunggu takdir. Tidak bisa diprediksi, walaupun menggunakan teknologi yang canggih sekalipun. Hidayah tetap hidayah.. Ini bertolak belakang dengan jadwal UAS, waktu awal perkuliahan, jadwal registrasi dan lain sebagainya yang begitu mudah untuk diprediksi waktunya. Anda tinggal ke SBA saja dan semua teka-teki itu akan terjawab sudah dengan mulus.

Ah.. yang membuat saya bingung adalah bagaimana jika hidayah itu tidak pernah datang kepada karib saya ini? Sebab saat tulisan ini hampir selesai saya buat dan waktu malam ini telah berada di pukul 11.02, karib saya sedang melakukan ‘ritualnya’; yakni tertidur pulas persis dibelakang saya. Satu atau dua jam lagi dia sepertinya akan terbangun karena lapar dan biasanya ia akan mengirim sebuah instruksi lewat SMS ke warung BKI agar segera ‘diluncurkan’ semangkuk indomie rebus pake telor dan cengek.

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina dan belajar itu sampai ke liang lahat (red: sampai modar). Saya sepakat dengan peribahasa itu. Tapi, pihak fakultas sepertinya tidak akan pernah setuju jika ada mahasiswanya yang terus bertahan kuliah sampai tua jompo dan akhirnya mati di ruang kelas dengan IPK dibawah standar. Sambil merokok, bengong saya berandai-andai.. jika saja Tuhan bisa diajak bernegosiasi dan kemudian berkoalisi seperti kebiasaan saya dengan kawan-kawan di kampus. Mungkin Ia akan bersedia untuk membangunkan karib saya sekarang dengan sebuah hidayah, hingga akhirnya saya akan mendengar ‘sumpah’ karib saya pada awal semester sembilan ini sebagai ‘sumpah palapanya’ yang terakhir. Terserahlah, apakah sumpah itu kemudian akan lebih disempurnakan atau tidak dan cara pengucapan sumpahnya apakah akan lebih dramatis lagi dengan gaya deklamasi yang dikolaborasikan dengan gaya komandan perang Irak. Atau dengan benar-benar seperti style Patih Gajah Mada pada perang Bubat. Terserah, untuk hal itu saya tidak peduli.. Yang penting ia bisa merubah kehidupan akademisnya menjadi lebih baik. Cukup itu saja dulu..!!

Ah.. jika saja.. atau ada kawan lain yang mau membantu?? Jika ada, maka akan saya tunggu kawan itu di gerbang Unpad. Jam berapa saja ayolah (tapi kalau bisa pukul setengah sembilan malam saja biar suasana bisa lebih tenang sedikit), kita ngobrol-ngobrol saja dulu untuk membuat kesepakatan. Nanti masalah kopi dan rokok biar saya sajalah yang tanggung.. Sungguh, tolonglah Bung.. Ini serius, demi nasib kehidupan akademis karib saya itu!!!

*Sang Petarung Kehidupan

"sampai kapan..?" dia menggumam lirih.

Gerbang Unpad ke Fikom Pulang Pergi: Sampai Kapan?

tribute to kenangan sang biduan kampus

*oleh: G. Sulye Jati

“.. saya pikir tidak semuanya jadi berubah. Dari zaman bis kuning dengan angkot yang tarifnya 400 perak sampai era 700 perak dan angkot plat merah, itu cuma perubahan materi semata. Ada yang tetap ‘kekal’, immateri.. Bung harus camkan itu!!”.

(Gerbang Unpad pada malam yang fana. Langit bersih, ribuan bintang, tapi tak ada bulan. Mungkin dia akan muncul, nanti menjelang subuh dengan wujud sabit yang saga)

Yogyakarta punya malioboro, Bandung punya dago, maka Jatinangor punya gerbang Unpad. Begitu kira-kira slogan yang sering dijejalkan kepada saya oleh kawan-kawan yang sering bisa saya jumpai di gerbang Unpad. Saya mahfum juga, walau saya sendiri juga masih bingung mencari apa sisi yang harus ditonjolkan di gerbang ini sehingga bisa ‘sederajat’ dengan malioboro atau dago. Ke-mahfum-an saya saat ini masih berkisar sekitar kawan-kawan saya itu memang sangat membutuhkan sebuah identitas.

Mencari kawan di Jatinangor bagi saya tidak begitu sulit ternyata. Diluar dugaan anda sebelumnya, kalau kemudian secepat itu anda sudah mendapat tongkrongan. Sekelas malioboro atau dago, lagi-lagi kawan saya itu mencoba mem-paten-kan propagandanya di kepala saya. Sebagai kawan yang baik tentu saja saya tanpa ragu untuk mengangguk dengan tertib dan berkesinambungan.

Sekarang, gerbang Unpad bagi saya merupakan tempat yang sangat nyaman. Segelas kopi hitam dan beberapa batang rokok cukuplah menjadi alasan bagi kita untuk duduk dan berlama-lama di sana. Tidak ada yang akan mengusir dan mencoba bertanya apakah kita berasal dari keluarga baik-baik atau tidak. Bapak kita perampok atau kiai. Tidak.. Tidak ada yang akan bertanya seperti itu. Dan yang paling menarik adalah topik obrolan. Semua bebas untuk berbicara tentang apapun. Dari agama, sejarah, filsafat, politik, ekonomi dan perbankkan (maksud saya, jika ada kawan yang kebetulan sedang terjerat masalah ekonomi maka biasanya ia akan melakukan ‘itu’ juga digerbang. Semisal menggadaikan HP atau lobi-lobi demi mendapatkan sedikit kucuran pinjaman untuk bisa bertahan sampai akhir bulan), sampai teknologi dan lain sebagainya. Tidak terkecuali tentang cinta. YA.. CINTA, BUNG!!

Semua manusia adalah makhluk sosial (ah.. lagi-lagi, kan?!). Seorang kawan penggemar masalah-masalah sosiologi (sekali lagi) pernah berkomentar. Saya sepakat, karena saya memang tidak bisa hidup tanpa kawan (apalagi ketika kiriman dari ibu saya di kampung belum datang). Tapi yang lebih utama tentang sosial itu, menurut kawan yang mendalami masalah seni, adalah bahwa kita juga membutuhkan cinta untuk menghidupkan rasa sosial kita. Agak rumit bagi saya sebab sosial dan cinta itu nyambung dimana?

Hei, Bung.. Jika ingin cinta Bung bersambut, maka Bung harus sosial. Kepada teman-temannya, ibunya, tetangganya, kucingnya, terlebih-lebih kepada wanita yang Bung sukai itu..”, sedikit detail kawan saya pecinta seni itu menjelaskan maksudnya.

Okeh.. Cukup jelas bagi saya. Ini berarti bahwa jika saya ingin mencintai seorang wanita maka saya harus punya uang banyak.

Ah.. Anda terlalu sempit Bung. Sosial itu tidak melulu masalah uang. Itu bisa juga berarti ramah, rajin menolong, dan sedikit perhatian..”. Okeh (sekali lagi).. Sekarang saya menjadi mengerti dengan arah maksud kawan saya yang sebenarnya. Dengan sedikit bengong saya bertanya dalam hati, apakah orang-orang yang nongkrong di malioboro atau dago juga mengartikan cinta itu seperti pendapat kawan saya yang pecinta seni? Entahlah..

Tapi, fakta memang harus selalu diperlukan untuk menilai sesuatu. Beberapa kawan saya pernah mengalami jatuh cinta berkali-kali dalam beberapa bulan (ini termaktub dalam begitu banyak permintaan untuk mendengarkan curhat yang mampir di daftar agenda saya). Tidak terbayang bagi saya kalau ia akan sangat sibuk sekali untuk berbaik-baik dengan begitu banyak tetangga, ibu-ibu, kucng-kucing, terlebih kepada teman-temannya yang mungkin seabrek-abrek. Susah juga untuk jatuh cinta terlalu sering. Paling tidak menurut ‘rumus’ percintaan saya.

Gerbang Unpad ketika musim hujan atau musim kemarau tidaklah terlalu berbeda. Cerita yang mengalir tetap sama dan topik yang bergulir susah sekali untuk mengalami ‘revolusi’. Para ‘pakar’ filsafat, peneliti agama, ‘ahli’ politik, pecinta seni, dan semua yang tidak termasuk kategori tersebut (tapi bisa sangat seru untuk ngobrol masalah-masalah itu) seperti tidak akan pernah bosan membicarakan tentang cinta; cinta temennya, cinta tetangganya, cinta orang yang tidak ia kenal, maupun cintanya sendiri.

Namun, bertolak dari pendapat kawan pecinta seni tentang cinta yang sosial. Maka, tentu saja ada pengecualian. Bukankah hidup ini penuh dengan hal-hal yang berlawanan dengan kelaziman? Bukti tentang hal itu cukup kuat. Sebab, ada juga kawan yang sepertinya enggan untuk terlalu sibuk melakukan aksi berbaik budi dan beramah tamah dengan begitu banyak orang dan ragam jenis golongan. Sedemikian ‘malasnya’ hingga ia akhirnya memutuskan hanya mencintai seorang saja (YAH.. SEORANG SAJA!!) selama hampir tiga tahun lebih ini.

Kawan saya ini termasuk golongan pecinta seni juga. Ini saya pastikan karena ia sering sekali menyumbangkan suaranya ketika ada acara di kampus. Murni, menurut subjektif saya, ia adalah pemuja seni. Dari seluruh sudut pandang saya yang terlalu ‘lugu’, ia adalah wujud eksistensi sebuah seni. Gaya bicara, berpakaian, model pemikiran, keinginan, dan lain sebagainya adalah seni. Hingga bagaimana ia menikmati atau pun mengaplikasikan cintanya. Semuanya menurut saya adalah seni. Walau mungkin seni yang amat sangat subjektif. Cinta adalah dirinya sendiri. Cinta adalah perasaannya. Cinta adalah mimpi dan harapannya. Cinta adalah kesendiriannya. Cinta adalah wujudnya.. pada seorang, yah seorang saja. Tentang bulan yang selalu muncul menjelang subuh. Paling tidak seperti itulah, menurut saya tentunya.

Gerbang Unpad adalah ‘kantor’ tidak resmi untuk para penikmat cinta. Para penikmat cinta adalah simpatisan ‘ideologi seni’. Dan tentu saja kawan saya itu adalah anggota yang sama sekali tidak boleh dilupakan. Yang menarik kemudian adalah cara kawan saya ini melihat cintanya. Meneguk segelas kopi hitam dengan hisapan sebatang rokok adalah seperti menikmati kilatan cahaya mata ‘gadisnya’ dengan (seolah-olah) renyah tawa candanya. Please.. Anda sedang tidak saya ajak untuk bernostalgia. Toh, belum tentu anda punya kenangan. Jadi apa yang mau dinostalgiakan?! Orang yang bernostalgia adalah mereka yang punya memori khusus dalam hidupnya. Memori khusus merupakan episode-episode tertentu yang sangat berarti. Seperti itulah kira-kira statement seorang kawan penikmat cinta lainnya. Dan saya sepakat itu.. Nama kawan saya itu adalah Bung GN.

Kampus Fikom Unpad merupakan tempat yang tidak begitu jauh dari gerbang Unpad. Dengan hanya memanfaatkan kedua kaki, anda pun sudah bisa sampai di sana. Mencari atau bertanya tentang Bung GN di Fikom tidaklah susah. Anda tinggal datang ke kantin dan semua orang di sana akan bercerita tentang sosok yang penuh ‘kontroversi’ akan cintanya itu. Sebagai seorang K0A02, maka ia adalah bentuk nyata dari sebuah kesetiaan. Saya pikir semua orang yang mengenal Bung GN akan sepakat. Tidak perlu voting, tapi akan langsung quorum 100%.

Cerita tentang cinta Bung GN adalah cerita tentang angin yang berhembus dari gunung Manglayang menuju setiap sudut di Jatinangor pada pagi dan sore. Tentang aliran Citarum yang ‘menggila’ ketika musim hujan tiba. Atau tentang embun yang mengering tapi tetap ‘hidup’ di akar-akar rumput. Dengarlah lagu-lagunya dan simaklah senandungnya. Saya tahu pasti, teriakan keras dari atas panggung tidaklah melulu berarti sebuah perlawanan. Namun, itu adalah sebuah pelepasan ‘rasa’ yang mengungkung. Agar cinta menjadi tahu dan faham jika Bung GN masih tegar dan bersemangat. Vulgar tanpa tedeng aling.. Begitu berdinamika untuk saya nikmati.

Gerbang Unpad menuju Fikom pulang pergi dengan beberapa jam menghidupkan gerbang Unpad di waktu malam. YAAA.. WY NAMA PEREMPUAN ITU. Seorang K0B03 yang matanya menyala dan tangannya halus bagaikan lilin dengan suara seperti air yang menetes di daun tertiup angin. Setiap langkahnya adalah jejak-jejak yang tidak bisa di hapus begitu saja. Ia adalah cerita tentang kantin Fikom dan bagian dari ‘sejarah’ tentang gerbang Unpad. Untuk sebuah waktu yang sangat panjang. Di tulis oleh angin dan hujan di dinding-dinding gerbang Unpad dan meja kantin di Fikom. Pada jalan yang meretas di Fikom, Kiarapayung, Cimalaka, dengan jutaan kenangan yang melekat erat. Di Jatinangor, Bung GN adalah ‘ruh’ untuk cerita tentang WY. Untuk rindu dendam yang belum terlampiaskan, tentang penantian (yang seperti) tak berujung, pada kesetiaan seperti dongeng-dongeng masa lalu. WAHAI DIPLOMASI 2004.. TAHUKAH ENGKAU, BETAPA LAKNATNYA DIRIMU TELAH MEMULAI CERITA ITU…!!!

Gerbang Unpad dari Fikom pulang pergi tanpa hari libur di tanggal merah. Harus diakui jika kawan GN telah memberikan improvisasi dan ciri khas yang sangat kental untuk obrolan seputar cinta kepada para penghuni gerbang Unpad. Ia adalah ikon perjuangan cinta. Ia adalah maskot ketabahan akan cinta. Ia adalah legenda keterusterangan pada cinta. Bagi Bung GN, menyembunyikan cinta adalah sebuah aib. Mereka yang hanya mendekam cintanya dengan malu-malu adalah sekumpulan pecundang yang kalah sebelum bertarung. Tapi, terus terang saja, saya pernah mencoba untuk mengikuti style kawan GN untuk ‘vulgar’ pada cinta (pada seorang juniornya di K0A). Hasilnya?? Malu yang tidak bisa hilang (yang mudah-mudahan tidak seumur-umur). Seorang uztadz dikampung saya (ustadz ini begitu senang dan selalu bersemangat kalau memberikan pengajian untuk ibu-ibu dan gadis remaja), pernah berkisah kalau wanita itu diciptakan untuk laki-laki. Kalau laki-laki tidak ada maka perempuan tidak akan diciptakan. Begitu kira-kira perihal yang sering ia sampaikan ketika ceramah bersama remaja masjid. Ah.. persetan dengan omongan ustadz itu. Ia hanya ingin memberikan pembenaran subjektifnya untuk bisa jatuh cinta dengan gadis-gadis di kampung saya (mudah-mudahan tidak kepada istri orang, sebab itu berarti ia akan berurusan dengan golok yang sudah di asah mengkilat.. atau rajam dan pancung ala tanah arab!!).

Mengikuti gaya Bung GN dalam hal cinta adalah sesuatu yang sangat sulit bagi saya (mungkin kalau dipaksa, maka akan saya katakan mustahil). Saya pikir akan sangat sekali kita jumpai karakter cinta seperti yang ada dalam diri kawan GN ini. Bukan perfect, tapi sangat ‘berani’. Berani apa?? Ya berani segala-galanya..

Hujan ketika jam sepuluh malam adalah hal yang sangat wajar di Jatinangor. Mungkin juga diseluruh dunia. Gerbang Unpad bukanlah sebuah kafe yang punya atap kuat dengan deretan kursi yang memanjakan pengunjung. Gerbang Unpad tetaplah basah dan dingin. Tapi, ini bukan berarti Bung GN akan begitu saja ‘melepas’ saya untuk berhenti membicarakan tentang WY. Tempat bukan masalah utama disini dan Pajawan 24 jam adalah jawabannya. Cerita itu kemudian akan mengalir (sampai jauh..). Dan jangan salah, orang yang baru ia kenal pun akan di paksa untuk ‘mengenal’ WY lewat kisah-kisahnya yang terkadang begitu ‘memilukan’. Saya pernah juga curiga, apakah kisah dara WY ini kemudian telah menjadi materi tetap untuk Ospek Jurusan di K0A? Ada baiknya juga untuk nanti saya tanyakan kepada pengurus Hima K0A atau pada kawan-kawan K0A yang baru selesai di Ospek oleh Himanya itu (tapi, untuk masuk di AD / ART Hima K0A bagi saya adalah sebuah keterlaluan).

Berbicara tentang WY pada tahun 2007 ini bukanlah kita akan berbicara tentang sosok yang sering hilir mudik di depan hidung kita di Jatinangor. Gerbang Unpad, Fikom, Pajawan, kamar kostan atau tempat manapun di Jatinangor ia tidak akan kita temukan. Yah.. WY telah lulus dan meninggalkan kenangan itu disini. Tapi, Bung GN dan kenangan sekarang ini adalah sebuah film tanpa akhir. Begitu anda akan nekat mencoba-coba membuat skenario untuk ending-nya, maka secepat itu episode baru akan masuk. Entahlah.. jika ada penulis naskah yang sanggup untuk terus mengikuti alur ceritanya.

Semua alur komunikasi dua arah membutuhkan sebuah media untuk praktiknya. Tidak perlu venue yang mewah. Setelah waktu sudah tidak etis lagi buat nongkrong di gerbang Unpad atau Fikom. Dan tempat seperti pajawan sudah terlalu berisik dengan pengunjung yang membludak. Maka, kamar kostan adalah solusi terakhir sambil ‘menunggu’ ngantuk (yang sebenarnya sangat tidak diharapkan oleh Bung GN untuk terjadi pada saya atau kawan lain yang jadi pendengarnya). Segelas kopi hitam, sebotol anggur merah, sebungkus rokok, atau insomnia dadakan, adalah alasan bagi saya untuk kemudian kembali melanjutkan mendengar (dengan sesekali menimpali) Bung GN berkisah tentang WY. Dan seperti itulah untuk esok hari dan hari-hari selanjutnya..

Bung GN adalah aktifis, biduan kampus, dan tokoh yang mungkin nanti akan menjadi ‘dongeng’ di Jatinangor. Bung GN adalah tokoh ‘kontroversi’ untuk segala statement maupun semua teori-teori tentang cinta. Ceritanya telah mementahkan semua petuah Kahlil Gibran, kisah Laila Majnun hingga dongeng Sangkuriang. Tapi, saya pribadi tetap berkeyakinan.. Bahwa semua yang tulus dan suci pasti akan sampai kealamatnya. Paling tidak akan menemukan alamat sebenarnya. Bukan begitu, Bung??

Ah.. sudah terlalu larut sepertinya. Besok saya juga musti menata kembali cerita tentang kisah cinta saya. Kepada seorang perempuan yang tidak pernah benar-benar datang (seorang kawan pernah mengingatkan saya tentang hal tersebut)..

Tapi, apakah kisah Bung GN dan kenangan akan selesai? Untuk saat ini saya katakan NEVER…!! Mungkin nanti sajalah kita mencoba untuk membantu Bung GN untuk menata episodenya kembali. Biar alur cerita bisa berurutan dan nyaman untuk kita nikmati. Serta tentu saja, mempunyai ending (apapun itu) biar ‘penonton’ tidak deg-degan dan menduga-duga saja akhirnya akan seperti apa. Dan biasanya semua film itu selalu berakhir dengan ‘kemenangan’ bagi nu boga lakon.. apapun kemenangannya.. Bukan begitu, Bung!?

Oh ya.. WY bagaimana kabarmu sekarang, geulis..??

*sang petarung kehidupan

“..Sejujurnya saya tidak bisa menceritakan semua tentang Bung GN. Gairah saya entah kenapa tidak bisa lepas untuk menulis semua isi otak saya. Ah.. Kisah ini memang harus punya tempat sendiri dalam dunia percintaan..”

Sabtu, 19 Januari 2008

Sebuah Surat Cinta Dalam Kaleng





Jatinangor, 11 Januari 2008 Pkl.00.08

Teruntuk:

Mentari pagi di taman penantian ..

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Hai.. gimana kabar mentariku? Aku selalu berharap kamu baik-baik saja dan tidak kurang suatu apa dalam lindungan-Nya. Amin.. Aku juga alhamdulillah masih sehat-sehat saja. Cuma kemarin rada pening kayak mau pilek. Mungkin sedikit kecapekan abis ngerjain sesuatu di Bandung, tapi sekarang udah baikan lagi kok. Gimana tahun barunya kemarin? Jalan-jalan kemana aja? Kena hujan nggak? Kalau aku sih dikostan aja, nggak ada duit buat kemana-mana (masalah standar ha..ha..ha..). Lagian juga aku sedikit lemes setelah beresin gawean di Bandung, jadi malam tahun baru aku tidur pulas ha..ha..ha.. Tuhan Maha Adil dan Bijak. Cuma aku sempet bangun juga sebentar pas tengah malam, gara-gara anak-anak kostan sebelah pada bakar mercon he..he..he.. ada-ada aja! Tapi, SMS tahun baru aku kemarin bisa keterima kan?! Nggak kerasa ya, sekarang udah tahun 2008 lagi..

Maapin ya, baru sekarang ini aku bisa berkirim surat. Bukan apa-apa, belakangan ini aku memang terlalu sibuk menata bumi dan menghias langit (tentu saja dengan dekorasi dan warna yang sangat kamu suka). Terkadang juga aku masih suka mengumpul-ngumpulkan bayangan kamu yang tercecer setiap kali aku mengikuti kamu. Ya dimana sajalah ia bisa aku temukan.. Mungkin sejauh kaki kamu melangkah pulang pergi kemana pun. Bayangan kamu selalu aku kumpulin, sebab aku nggak mau bayangan kamu kececer dimana-mana.

Tapi, kamu jangan terlalu sering ninggalin bayangan dimana-mana yah.. aku khawatir aja kalau nanti ada orang yang ikut-ikutan ngambil bayangan kamu. Aku bisa kesel kalau udah gitu! Oia, bayangan kamu yang udah bisa aku kumpulin itu udah aku pakai buat ngehias langit-langit perasaan. Sebenarnya kemarin itu aku pengin minta sedikit suara lembut kamu, buat ngeganti nada dering di HP sama alarm weker jiwa aku. Tapi, aku nggak enak ngomong ke kamu.. entah kenapa. Padahal orang sebaik kamu kayakya pasti ngasih he..he..he....

Eh, gimana sama cerita aku yang kemarin malam? Jangan lupa dong, itu loh.. sesuatu yang aku ceritain waktu kita ketemuan didalam mimpi?! Seru banget kan.. ntar deh kapan-kapan aku lanjutin ceritanya ya.. kalau aku udah tidur nyenyak kayak kemarin. Makanya, kamu sering-sering dong nitipin aku senyum lewat angin malam. Atau kalau nggak lewat bintang-bintang aja. Aku rasa bintang-bintang itu lebih jujur. Titipan kamu pasti disampein. Biar aku bisa tidur pulas dan nyaman. Udah sering loh aku nanyain sama embun yang jatuh pertama tiap malam, bintang ada nitipin aku sesuatu nggak? “belum ada..”, selalu gitu jawabnya.

Oia, aku lagi bingung nih mau manggil kamu apa? Sebenarnya sih, aku penginnya manggil kamu Ariq*. Nggak mau aku sebut kamu Dende**.. walaupun panggilan Dende itu bagus dan sopan tapi nggak mesra he..he..he.. Jadi, berhubung aku sekarang sedang tinggal di Bandung maka gimana kalau aku panggil Ai*** saja, jangan Neng**** ya.. itu sih sama saja kayak Dende dan juga terlalu pasaran he..he..he.. Aku pikir panggilan Ai itu sama persis kayak Ariq, sama-sama sopan dan mesra. Deal..!! Tapi maap juga nih, aku sebenarnya nggak begitu paham tentang makna panggilan di Bandung ini. Tapi, menurut pengamatan aku sih kayaknya seperti itulah arti dan makna panggilan-panggilan itu. Ya nggak sih?! Ah, udahlah he..he..he.. aku pusing. Nothing to lose aja ya, apalah arti sebuah nama (panggilan) juga kata William Shakespeare. Tul nggak..

Ai.. sebulan lalu aku udah bikinin kamu puisi. Udah aku tulis direlung hati pakai pena jerami dan tintanya pakai embun. Nanti kapan-kapan deh kamu baca. Tapi puisinya pendek i, padahal waktu aku bikin puisi itu panjang banget loh.. Sampai habis halaman hati terus aku sambung ke lembar jantung, nggak cukup juga aku lanjutin diurat nadi. Mengalir-ngalir dipembuluh darah hingga sempat terpikir buat numpukin semuanya di otak. Tapi setelah aku timang-timang, ntar otak aku gimana? Nggak bisa mikir yang lain dong he..he..he.. terus puisinya aku baca lagi.. baca lagi, sampai beberapa purnama akhirnya aku menemukan cara yang tepat buat jalan keluarnya.

Yah, ternyata aku terlalu berpanjang kalimat i.. padahal semua isi puisi itu intinya cuma tiga kata saja. Ya udah, semua isi puisi itu aku ringkas aja jadi tiga kata itu (three in one, kayak kopi he..he..he..) dan udah aku simpan buat kamu. Eeeiiit, ntar dulu! Disurat ini aku nggak mau ngasih tau tiga kata itu. Aku pengin kamu ngebaca sendiri puisi itu langsung ditempatnya. Tapi biar kamu nggak penasaran banget, ya udah aku kasih dikit bocorannya. Tiga kata itu kalau disingkat menjadi ASA. Ya ASA aja, nggak lebih..! apaan hayoo.. he..he..he.. ya udah nanti kamu baca ya. Nanti kalau langit yang aku hias udah cerah lagi. Oke..

Ai.. temen aku pernah ada yang curhat sama aku. Dia cerita kakinya bengkak, keseleo abis jatuh waktu lari-larian ngejar layangan putus. Terus aku tanya, “kenapa begitu putus layangannya langsung dikejar? Kenapa nggak diam dulu sambil jalan biasa aja, ngikutin sama ngamatin layangannya itu jatuh dimana.. kalau udah jelas jatuhnya dimana, kan tinggal kesana dan ambil lagi layangannya. Beres kan?! Nggak perlu pake jatuh-jatuhan, sampai kaki bengkak segala..”.

Tapi i.. temen aku bilang gini, “masalahnya kalau aku nggak ngejar itu layangan, udah ada orang yang nungguin juga dan ikut-ikutan ngejar..”.

Aduh, aku kasihan i.. aku ngeliat dia meringis sambil memegang kepala dan sesekali mendekap dadanya. Sampai segitunya ngejar layangan putus. Terus aku tanya lagi, “..tapi layangannya udah dapet lagi kan?!”.

nggak..”, pelan tatapannya menerawang, “aku udah nggak kuat lari, sakit..”.

Akhirnya aku bilang (buat ngehibur dia), “ya udahlah biarin, ntar lagi aja buat layangan baru. Gampang kok.. nanti pakai benangnya yang kuat biar nggak putus-putus lagi”.

Wah..wah..wah.. aku malah dibentak i.., “sesederhana gitu kamu ngomong. Kamu nggak tahu, berapa lama perjuangan aku untuk membuat layangan itu! Berapa pemikiran yang udah aku kuras untuk mendesainnya supaya terlihat elok. Berapa bintang yang aku petik buat ngehiasnya. Berapa padang bunga yang aku babat untuk ngumpulin aroma mekar buat ngeharuminnya. Dan satu yang pasti, buluh yang aku raut untuk rangkanya itu adalah dari bambu yang aku semai sendiri. Kertas buat atapnya adalah hamparan rerumputan yang aku sirami sendiri. Dengan tangan perasaanku sendiri.. Jauh dilubuk hati..”.

Ai.. mendengar itu aku jadi terdiam. Aku jadi kehilangan kata-kata. Aku jadi ingat kamu, i.. Aku jadi langsung pengin ceritain itu ke kamu. Yah.. mungkin kamu punya solusi buat (paling tidak) menghibur teman aku itu. Sambil sedikit tertunduk aku perhatikan kakinya. Tidak bengkak. Tidak luka. Tapi, dengan tubuhnya yang bersandar ditembok kamar aku lirik tangannya masih mendekap dada. Aku kemudian mengerti i.. teman aku terluka dalam diperasaannya.

Ai.. sejak itu, aku jadi selalu berdegup-degup. Bingung nggak karuan. Aku jadi pengin secepatnya menulis surat ini buat Ai. Terus terang saja i.. aku jadi khawatir kalau aku mengalami hal yang sama kayak teman aku itu. Aku jadi resah jika nanti Ai terbang terlalu tinggi dan benang tidak cukup kuat untuk melawan hembusan angin. Padahal hal itu sepertinya masih terlalu jauh ya.. sekarang kan belum apa-apa (aku mulai lupa nih kalau aku ternyata kadang-kadang suka membikin-bikin skenario sendiri he..he..he..).

Padahal i.. surat ini saja belum aku kirim ke kamu. Mungkin juga tidak akan pernah aku kirimkan. Atau mungkin saja kalau aku kirim, surat ini tidak akan pernah sampai. Jika sampai pun, mungkin kamu tidak akan mau membacanya. Ah.. entahlah, aku mulai pusing dan pesimis. Tapi, aku harus coba dulu. Cuma aku bingung i.. kemana aku harus mengirim surat ini?! Padahal kita sering ketemu, tapi aku sama sekali nggak tahu alamat kamu.

Ai.. Jika saja kamu mau berbaik hati untuk menitipkan aku alamat kamu diguguran daun-daun sore yang melayang. Atau bisa juga kamu tuliskan dihamparan awan yang berarak, lewat embun malam via bintang-bintang. Atau kalau ntar malam kita ketemuan lagi di mimpi aku, kamu juga bisa ngebisikin itu. Tapi i.. kalau ternyata kamu ngasih taunya didalam mimpi, gimana kalau kamu tulis aja alamat kamu di pasir pantai?! Soalnya aku udah berharap nanti dimimpi itu kita ketemuannya dipantai aja.. duduk-duduk dipasir sambil ngelihat sunset dan camar-camar yang terbang menari di sela-sela ayunan ombak. Okeh..?! okeh ajalah biar cepet he..he..he.. tapi, aku nggak egois loh :)

Ai.. soalnya kalau kamu nggak ngasih tau alamat kamu. Aku gelisah kalau surat ini ternyata harus aku kirim ke alamat aku sendiri. Aku baca sendiri dan akhirnya aku simpan kembali dihati sendiri saja. Yah.. dihati sendiri saja.

Jadi, kalau nanti kamu ngebalas surat aku, nanti tulisin juga ya alamat kamu. Biar aku bisa ngirim surat ini. Makasih banyak i.. mungkin cukup sekian dulu surat ini. Tapi, sebelumnya aku mau ucapin selamat tahun baru 1429 Hijriyah buat kamu. Semoga sukses dan barokah selalu. Amin.. Insya Allah nanti kapan-kapan bisa disambung lagi ya. Dan sekali lagi jangan lupa ya alamat kamu, tulis yang jelas biar nggak salah. Okeh :)

Istirahat yang cukup ya, Baik-baik dirumah. Jangan lupa shalat dan jangan telat makan biar kamu nggak sakit. I miss you so much.. Ditunggu balasannya!

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam manis,

G.Sulye Jati

Ket:

*Adik (bahasa sasak)

**Panggilan buat anak perempuan yang masih gadis (bahasa sasak)

***Adik (bahasa Sunda)

****Panggilan buat anak perempuan (bahasa Sunda (entahlah, apa itu berlaku buat semua perempuan tanpa pandang usia.. untuk hal ini penulis merasa kurang tahu))