CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Minggu, 23 Agustus 2009

PUISI : Sengaja (untuk) Lupa

" Senja Di Pantai "
ilustrasi oleh : hasil nyari di google saja



AKU SENGAJA

Seperti waktu-waktu yang teramat kita sadari
Begitu sengaja aku telah memanaskan kerlip jejakmu
Kesengajaanmu pula yang telah menjadikan kata-kata begitu indah
Sepulangmu saja, aku tidak akan kemana-mana..”

Kutiupkan harmoni sore berlembayung biru
Teramat langka untuk kau coba-coba terka
Walau setiap nada pasti kita bisa kasih nama
Irama-irama lalu mengalun bagai desau ranting cemara patah

Perjalanan kita telah membiaskan cerita
Dan begitu sengaja aku untuk mengingatkanmu ..



SIAPA NAMAMU?

Senja ini aku kembali mengeja namamu
Merakit kisah dari patahan-patahan yang kau tinggalkan
Semenjak cawan terakhir dihidangkan yang kau sebut rindu
Aku menamainya harapan

Pagi ini aku kembali lupa namamu
Aku menyesal tak menghafalnya
(seperti aku yang selalu mengenali aroma rambutmu
)
Pengelana selalu punya alasan untuk tidak menyimpan huruf
Kau menyebutnya pecundang

Tapi aku memintamu untuk menyebutnya pendewasaan ..




Bandung, 23 Agustus 2009






-------ooOoo-------

Sabtu, 15 Agustus 2009

KAMBING HITAM : Catatan Perjalanan Bandung - Bogor PP

" Membidik Cakrawala :
ilustrasi oleh : sendiri saja


DUA KOTA DAN DUA SOPIR
(Bandung – Bogor PP tanggal 7 – 9 Agustus 2009)


- Sungguh.. sempat terpikir untuk muntah saja didalam bis, tapi akhirnya bisa ditahan-tahan. Sebotol air mineral yang tadi dibeli sebelum berangkat rupanya cukup membantu. Tentunya plus perjuangan mengatasi pening dan penat yang mendera. Tidak apa-apa, sebab perjuangan sudah menjadi bagian setia dari ‘perjalanan’ saya kemanapun dan dimanapun ..

SUNGGUH tidak menyenangkan jika sakit. Makan tak enak terasa pahit, merokok rasanya jadi aneh, tidur tak nyenyak tapi inginnya rebahan melulu. Pokoknya mau ngapain juga terasa nggak nyaman. Itulah sakit demam.. Badan meriang panas tapi penginnya berselimut tebal, aneh..

Akhirnya timbul niat, jika sembuh saya mesti jalan-jalan. Kemana ya? Hhhmm.. ke Bogor kayaknya, kebetulan juga sudah rindu sama keluarga disana. Baiklah, setelah masa pemulihan selesai saya mesti berangkat. Sebenarnya masih terasa belum 100%, tapi kalau ditungguin malah jadi jenuh. Hari jumat menjelang ashar naik bis jurusan Jakarta via Puncak. Bisnya berangkat dari Garut, jadi saya naiknya mesti dari pintu tol Cileunyi nanti bisa turun di Ciawi. Cukup murah, hanya 20 ribu rupiah saja. Tapi ternyata itu adalah awal penderitaan saya selama 5 jam disepanjang perjalanan Bandung – Cianjur – Puncak – Bogor.

Begitu laknat bis yang saya tumpangi. Maklumlah bis ekonomi jadi ‘aromanya’ begitu khas. Saya menyadari itu, tapi saya lupa kalau saya belum begitu sehat. Asap rokok yang bikin mual, macet, dan jalan yang berliku-liku telah lebih dari cukup untuk menyiksa saya. Sungguh.. sempat terpikir untuk muntah saja didalam bis, tapi akhirnya bisa ditahan-tahan. Sebotol air mineral yang tadi dibeli sebelum berangkat rupanya cukup membantu. Tentunya plus perjuangan mengatasi pening dan penat yang mendera. Tidak apa-apa, sebab perjuangan sudah menjadi bagian setia dari ‘perjalanan’ saya kemanapun dan dimanapun.

Sekitar pukul 8 malam sampailah di Bogor, tepatnya Ciawi. Dari sini saya mesti naik angkot dulu 2 kali sebelum akhirnya sampai dirumah saudara. Sebenarnya nggak begitu jauh naik angkotnya, cuma karena jalur angkotnya harus 2 kali ya mau gimana lagi.. hehe..

Wah.. saya mendapat angkot yang hanya berpenumpang 3 orang termasuk saya sendiri. Duduk didepan malah diajak ngobrol sama supirnya. Dia bercerita bahwa dia berasal dari Tasikmalaya dan sudah hampir 15 tahun tinggal di Bogor. Tetap setia dengan profesi yang tak pernah ganti-ganti, supir angkot jurusan Ciawi – Baranangsiang. Namun sepertinya malam itu, dalam perjalanan singkat Ciawi – Baranangsiang si sopir sedang butuh teman ngobrol. Lebih tepatnya butuh ‘alasan’ untuk menyuarakan semacam kegundahan dan kejengkelan hati. Ini bisa saya tebak dari materi cerita yang dikisahkan. Ia jarang pulang ke Tasikmalaya, lebaran pun enggan katanya. Ada sejenis masalah keluarga yang sampai sekarang membuat ia begitu malas untuk mudik kekampungnya di Manonjaya, Tasikmalaya.

Obrolan merembet ke masalah orang tuanya yang sakit dan ia telah mengeluarkan begitu banyak dana (mungkin untuk ukuran seorang supir angkot). Tidak mengeluh, cuma sedikit memastikan bahwa saya harus sepakat jika kakaknya tidak begitu banyak membantu. Orang yang ia sebut sebagai biang masalah keluarga. Saya manggut-manggut, sebab saya masih menduga-duga cerita si sopir itu (mungkin) sangat subjektif. Toh, saya tidak mengenal kakaknya dan ia sendiri baru 10 menit bertemu saya. Apalagi untuk mengetahui segala persoalan yang membuat ia dan kakaknya jadi jarang ngobrol. Tapi tidak apa-apa, saya tampung kisahnya itu sambil sesekali mengatakan, “iya..iya..”.

Tidak berapa lama berakhirlah kisah si sopir malam itu sebab angkot sudah sampai di terminal Baranangsiang dan saya harus ganti angkot. Sebenarnya bukan angkot lagi, tepatnya bis mini Trans Pakuan. Semacam bis Trans Jakarta atau yang biasa disebut Busway, tapi ukurannya lebih kecil. Jauh dekat tarifnya tiga ribu rupiah saja. Trayeknya adalah terminal Barangsiang ke terminal Bubulak dan saya turun di halte Universitas Ibnu Khaldun, halte UIK orang-orang menyebutnya.

Bogor memang cuacanya sedang panas, maklumlah kemarau sedang genit-genitnya. Sebenarnya ini adalah suhu rata-rata daerah di Indonesia dengan segala minus plusnya di masing-masing daerah. Dua hari saya dirumah saudara hampir tidak pernah keluar. Hingga di hari Sabtu saya kaget bukan kepalang, ditengah cuaca yang menyengat di siang bolong tiba-tiba turun hujan. Luar biasa, tidak salah memang julukan kota hujan untuk bekas kerajaan Padjadjaran ini disandangnya. Sepertinya area kebun raya juga memberi andil untuk gelar tersebut, tapi kota hujan tetaplah menjadi ikon yang paten.

Hari minggu sekitar jam 11 siang saya putuskan untuk balik ke Bandung, maksud saya Jatinangor. Diantar saudara ke halte bis yang sama ketika saya datang dan menumpang bis kecil yang sama pula membawa saya ke terminal. Kali ini saya balik ke Bandung lewat Jakarta saja. Masih trauma dengan perjalanan saya lewat Puncak kemarin, mending pakai bis via tol Cipularang saja. Dan kenyamanan sebuah perjalanan lumayan juga saya dapatkan. Terminal Barangsiang Bogor menuju terminal Lebakbulus Jakarta via tol Jagorawi, lanjut dengan bis jurusan Tasikmalaya yang sekitar 2,5 jam saya sudah turun di pintu tol Cileunyi di ujung timur Bandung.

Menjelang ashar juga ketika saya naik angkot menuju Jatinangor. Entah kebetulan atau apa, lagi-lagi saya mendapatkan sopir yang curhat. Tapi kali ini bukan curhat kayaknya. Lebih tepatnya ngomel yang bikin saya jadi kesel dan nyesal sendiri kenapa naik angkot yang ini. Posisi saya yang (lagi-lagi) duduk didepan membuat saya jadi sasaran empuk si sopir kampret itu untuk menumpahkan unek-uneknya. Dari jam 12 siang dia ngetem katanya. Baru bisa jalan jam 3 sore ini, berarti 3 jam dia nongkrongin angkotnya menunggu giliran antrian. Bayar calo 5 ribu rupiah dan penumpang hanya berisi penumpang sampai Jatinangor semua yang akan memberikan ongkos sekitar 2 ribu rupiah saja.

Begitu panjang si sopir menggerutu dan saya cukup sebal. Siapa yang harus dia salahkan? Penumpangkah? Calokah? Atau dirinya sendiri yang apes? Kami naik angkot ini karena calo itu mengiyakan waktu kami bilang mau sampai Jatinangor. Kemudian si sopir itu setuju waktu mengangkut kami diangkotnya. Lalu dia mengomel untuk apa dan siapa? Begitulah.. kambing hitam akan tetaplah hitam. Semua manusia selalu mencari siapa yang harus disalahkan dengan ‘nasibnya’. Subjektifnya akan menggiring dia untuk ‘membenarkan’ dirinya sendiri saja tanpa pernah mau melihat situasi dan kondisi yang ada.

Perjalanan kali ini telah membuat saya ingin tertawa seperti Westerling dalam lagunya Iwan Fals. Mungkin lebih tepatnya tersenyum sinis.




Jatinangor, 15 Agustus 2009





-------ooOoo-------

Rabu, 12 Agustus 2009

Puisi : BUAT SEORANG KAWAN; Daniela

" Pojok Sepertiga Isi "
ilustrasi oleh : ambil dari Friendster http://profiles.friendster.com/15810554



SEGELAS ASAP SEBATANG KOPI
Kepada; Danil Triardianto


Aku pernah ingin menyebutnya bajingan kaki langit
Sempat pula terpikir tentang ranting kering penyulut api
Namun akhirnya aku sapa dia, " si Penjaga Malam.. "
Segelas kopi, kepulan asap rokok dan coretan inspirasi
Apa kabar, Bung?

Seperti kemarin maka hari ini kita berbincang tentang sosial bobrok
Lalu menjelma seuntai cinta pada setangkai daun
Sekali ini bukan bunga esok pagi, Bung..
Sebab kau terkadang tidak percaya dengan kata-kata
Bulan sabit merah yang berjuang melawan gelap dan kita mengutuk wujud pasrah

Pernah pula disuatu masa kita berbincang ditepi kelam
Bagai anjing pasar kita mengeruk-ngeruk bara api
Pemantik romantis kita menyebutnya dihati sendiri
Dan untuk kesekian kali cinta menjadi lolongan saga
Aku ingat, Bung.. itulah kenapa nafas kita sempat megap-megap

Telah aku catat waktu dimana cerita harus menjadi sebuah jejak
Rentang perjalanan memang tidak mesti seperti air saja
Mengalir tanpa berkompromi dengan matahari, tanah dan udara
Harapan adalah cita-cita yang menjadi tujuan perjuangan
Lantang kau nyalakan itu walau hujan masih deras diujung malam

Bung.. esok hari itu tetaplah buah cinta pijar-pijar bibir matahari
Kau boleh menghangatkan rindumu menjadi gumpalan mesiu yang berdetak
Tetap saja bukan setangkai bunga, kawan..
*Sebab ".. perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.."
Itu kata si Burung Merak dan kita belajar mengubur dendam

Bung.. bulan saga, guyuran embun dan jerami patah adalah irama perlawanan
Dan kita masih menggenggam erat pahat sejarah
Tentang cinta, cita-cita, dan sebuah kepercayaan
Identitas ternyata bukan hanya sebaris nama dan seperangkat ciri khas
Setangkai bunga merah, seikat rindu masa lalu, selarik api dalam segelas kopi dan kita tertawa lepas

Ya..ya.. baiklah Bung, aku tidak akan berbohong
Suatu hari nanti sehabis revolusi yang tidak lagi sepi
Mungkin aku harus memanggilmu
Danil Triardianto saja ..




*dikutip dari kata-kata WS. Rendra


Jatinangor, 12 Agustus 2009




-------ooOoo-------