CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Kamis, 01 Agustus 2013

JAKARTA : Catatan Gelisahnya Sebuah Kota

" Muara Angke "
ilustrasi oleh: airbening21



MENCARI YANG TERSELIP DALAM PERADABAN


Cuaca pada Juni ini seperti gadis yang gelisah. Terkadang panasnya merajuk-rajuk, namun bisa pula hujan tanpa terlalu banyak berpesan mendung. Bulan Juni juga memberi gairah riang untuk anak-anak sekolah, artinya musim liburan tiba. Betul sekali, seperti anak-anak sekolahan itu, saya pun sedang ingin berlibur.

Seorang kawan karib dari Kalimantan akan berkunjung. Sekian lama tak bersua semenjak kami tamat kuliah. Ia datang tepat pada bulan di mana ibukota negara sekaligus sebuah provinsi dengan status daerah istimewa khusus ini sedang bersolek untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 485. Kawan saya dari daerah garis katulistiwa ini berkunjung ke Jakarta untuk urusan sebuah bisnis.

Saya menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta dan mengantarnya ke Hotel Kawanua. Selama di Jakarta ia akan stay di hotel ini. Saya sendiri yang memilihkannya, sebab posisi hotel bintang tiga dengan pelayanan prima ini cocok untuk para pebisnis yang melakukan aktivitasnya di ibukota. Hotel Kawanua Aerotel yang terletak di jalan Cempaka Putih, mudah dijangkau dari Bandara Soekarno Hatta dan pusat pemerintahan serta pusat-pusat belanja di Jakarta.

Di Jakarta, saya tidak membiarkannya tenggelam dalam penat. Saya pun mengajaknya ke sisi lain Jakarta. Walau saya yakin, dia sudah sering melihatnya. Tapi ini Jakarta. Beda. Saya ingin refresh di wilayah kota berbalut gedung-gedung ini. Saya ingin jalan-jalan ke tempat yang agak berbeda.

Hutan Suaka Margasatwa Muara Angke dan ini sepertinya menarik. Menjauh sedikit dari kebisingan sambil mengunjungi salah satu benteng terakhir konservasi bakau untuk pesisir Jakarta. Di tengah arus pembangunan kota besar yang resah, di pinggiran Jakarta ini masih menyisakan 'nafas' yang ingin saya 'hirup'.

Untuk menjangkau tempat ini memang agak nyaman dengan menggunakan kendaraan pribadi. Tinggal melewati jalan tol dan keluar di pintu tol Pluit, kemudian menuju wilayah Pantai Indah Kapuk. Hutan konservasi ini berada dekat pemukiman terbesar di pesisir pantai yang seperti menjadi batas wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Baiklah, kami meluncur!

Suaka Margasatwa Muara Angke

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah sebuah kawasan konservasi berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 097/Kpts-II/1988, 29 Februari 1988 di wilayah hutan bakau (mangrove) di pesisir utara Jakarta. Secara administratif, kawasan ini termasuk wilayah Kelurahan Kapuk MuaraKecamatan PenjaringanKotamadya Jakarta Utara. Kawasan yang berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk ini, hanya dibatasi Kali Angke dengan permukiman nelayan Muara Angke.

Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan SMMA sebagai kawasan cagar alam pada 17 Juni 1939. Awalnya SMMA seluas 15,04 ha lalu tahun 1960-an menjadi 1.344,62 ha. Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia mengubah status kawasan ini menjadi suaka margasatwa. Perubahan status ini untuk menangkal kerusakan lebih lanjut di kawasan tersebut. Kini, luas SMMA menjadi 25,02 hektar.

Dari sebuah gerbang kecil, 'petualangan lingkungan' kami dimulai.

Berjalan di lintasan kayu sepanjang 800 meter memberi kesan yang berbeda. Sepanjang menyusuri lintasan, di kiri kanan dipenuhi pepohonan rimbun khas pesisir. Sebut saja bakau. Ada 30 jenis tumbuhan di tempat saya berjalan-jalan. Sebelas diantaranya adalah jenis pohon bakau seperti Api-Api (Avicennia Spp.) dan Pidada (Sonneratia Caseolaris). Selain itu, ada juga beberapa jenis pohon yang ditanam untuk reboisasi seperti Asam Jawa (Tamarindus Indica), Bintaro (Carbera Manghas), dan Waru Laut (Hibiscus Tiliaceus).

Jangan kaget ketika tiba-tiba ada monyet menghampiri. Bukan seekor atau dua ekor, tapi kadang-kadang mereka bergerombol seolah-olah menyambut para pengunjung. Uuppss! Sepertinya seekor monyet merasa tidak nyaman saya ambil gambarnya. Ketika kamera membidik, matanya terlihat melotot sambil menyeringai. Waw .. hahaa!! Kawasan ini membuat saya seolah-olah tidak berada di Jakarta. Amazing!

SMMA memang menjadi habitat kelompok monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis). Kawanan pemakan buah ini memegang peran penting di SMMA dengan 'perilakunya' menyebar biji-bijian tumbuhan hutan. Selain itu tercatat sekitar 91 jenis burung hidup bebas disini. Diantaranya 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan. 17 jenis di antaranya adalah hewan yang dilindungi seperti Bangau Bluwok (Mycteria Cinerea), Cerek Jawa (Charadrius Javanicus), dan Bubut Jawa (Centropus Nigrorufus).

"Kita berharap pengunjung juga ikut menjaga kebersihan disini. Jangan buang sampah sembarangan dan hindari memberi makan kepada monyet-monyet. Agar mereka tetap terbiasa mencari makan sendiri. Kalau di kasih makanan nanti mereka jadi manja, bahaya kalau mereka keluar dari sini dan 'minta makan' ke warga," kata Arifin yang menjadi salah satu penjaga SMMA ini sambil tertawa.

Meski menjadi suaka margasatwa terkecil di Indonesia, tapi peranan SMMA cukup penting. Bird Life International - salah satu organisasi pelestarian burung di dunia - telah memasukkan kawasan ini sebagai salah satu daerah vital bagi konservasi kehidupan burung.

Tak heran jika kemudian SMMA sering dikunjungi anak-anak sekolah. Waktu saya mengitari area tersebut, saya berjumpa dengan sekelompok anak muda memakai jas almamater perguruan tinggi. “Karena ada tugas, tapi berasa kayak bukan di Jakarta ya,” ujar seorang mahasiswa.

Memang tidak rugi jika Anda pun harus menyempatkan diri kesini bersama keluarga di saat senggang. Pengenalan lingkungan kepada anak-anak harus dimulai sejak dini, memanfaatkan libur sekolah agar lebih bermakna.

Mengintip Kepingan ‘Catatan Tua’ Jakarta

Kembali ke hotel saat senja telah rebah jauh kearah malam. Sambil beristirahat di kamar yang nyaman, saya jadi tertarik untuk mengetahui Jakarta secara lebih ‘jadul’. Membuka buku dan berselancar di dunia maya. Mengintip banyak hal tentang Jakarta.

Kota yang suhunya relatif panas ini memang sangat akrab dengan tempat hiburan yang berserakan hampir di seluruh penjuru kota. Tapi ini kota bersejarah, kawan. Bukan sekedar ‘desa besar’ yang muncul secara tiba-tiba.  Banyak hal lain dan menarik yang tersimpan di metropolitan ini.

Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Jakarta tak kan pernah terlepas dari sejarah sebuah pelabuhan yang terletak di Teluk Jakarta di kawasan Sungai Ciliwung. Ya, pelabuhan Sunda Kelapa erat hubungannya sebagai sejarah asal usul Kota Jakarta, yang merupakan pusat perdagangan sangat penting sejak abad ke 12 hingga abad ke 16.

Hampir semua ‘bangsa penginvasi’ pernah menginjakkan kakinya di jantung Indonesia ini. Sebut saja Portugis, Belanda, maupun Jepang. Lika liku perjalanan zaman di nusantara banyak ditentukan dari sini. Tidaklah mengherankan, asal usul namanya sendiri merupakan dari rangkaian sejarah ‘lontar raja-raja’.

Alkisah, pada tahun 1527 pasukan Fatahillah dari Demak berhasil menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Ketika armada Portugis datang, pasukan Fatahillah menghancurkannya, sisa-sisa armada Portugis itu melarikan diri ke Malaka.

Atas kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya “Kemanangan Yang Berjaya”. Menurut perhitungan, hal itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Itulah sebabnya hari tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta hingga usianya yang menginjak 485 tahun di 2012 ini.

Pekan Raya Jakarta

Mengitari banyak acara dalam Hari Jadi Kota Jakarta ke 485 tahun ini sepertinya tak akan pernah habis. Jadi kami mencoba memilih mana yang kira-kira menjadi ‘maskotnya’. Setidaknya sebuah kegiatan yang menjadi ciri khas dan bisa kami masuki tentunya. Sepertinya kami telah menemukannya.

Siang beranjak rebah di ibukota keesokan harinya. Sebelum senja benar-benar kembali menyapa, kami telah bersiap. Mengunjungi sebuah pameran terbesar, mungkin di Indonesia. Pekan Raya Jakarta sebagai bagian dari kegiatan mengisi perayaan ulang tahun Kota Jakarta.

Event tahunan ibukota ini diadakan pertama kali pada tahun 1968. Dari pertama sampai 1991 PRJ pernah berlangsung di Taman Monumen Nasional (Monas). Sejak digelar pertama kali di kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli tahun 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan melepas merpati pos, penyelenggaraannya tidak pernah terputus.

PRJ dulunya disebut DF yang merupakan singkatan dari Djakarta Fair (ejaan lama). Lambat laun ejaan tersebut berubah menjadi Jakarta Fair yang kemudian lebih popular dengan sebutan Pekan Raya Jakarta.

Dari Hotel Kawanua kami mencoba naik bajaj. Kendaraan khas dari India ini mengantar kami ke gerbang PRJ. Setelah membeli tiket seharga 20 ribu rupiah per orang, kami pun ‘chek in’. Sungguh ramai suasana dengan konsep eksibisi metropolit yang kami jumpai. Tentu saja, sebab ini adalah semacam pameran produk di kota terbesar negeri ini. Dari mulai HP hingga stand mobil. Selayaknya sebuah pameran, maka tentunya bonus dan diskon juga ramai disebar.

Kami mencoba menyusuri jalur-jalur yang ada di dalam area pameran. Memuaskan mata menikmati hampir semua stand yang ada. Selain berbentuk produk barang, maka ada juga stand-stand kuliner. Cuma sayang, kami tidak menemukan kuliner khas betawi. Deretan pedagang kerak telor malah kami temukan di luar area. Kegiatan yang digelar dari 14 Juni hingga 15 Juli ini pun terasa kurang gregetnya.

Tapi ada yang menarik, kami menemukan stand-stand dari provinsi lain. Ini mengobati pencarian kami akan sesuatu yang berbeda di PRJ. Stand-stand daerah tersebut memajang barang-barang khas daerahnya masing-masing. Dari batik hingga kerajinan tas.

Buat yang datang bersama keluarga sepertinya telah diperhitungkan oleh panitia. Arena bermain untuk anak-anak. Dari komidi putar hingga ‘sungai-sungai’ kecil yang terbuat dari plastik tempat anak-anak bermain perahu-perahuan. Pengunjung memang sepertinya tidak ingin ‘dikasih keluar’ oleh panitia.

Kami mencoba masuk ke sebuah stand handphone. Waw! Harganya murah, cuma 159 ribu. “Sedang promosi setengah harga disini,” celetuk penjaga stand-nya saat kami memperhatikan handphone-handphone yang dijajarkan. Memang, di stand-stand elektronik yang lain kami juga melihat hal serupa.

Pegal juga rasanya mengitari arena pameran yang begitu luas ini. Lapar terasa. Agak disisi arena kami menghampiri sebuah tenda panjang. Semacam foodcourt. Berjejer kursi meja dan tentunya beragam pilihan menu yang bisa dipilih. Kami merasa, ‘petualangan’ kami akan berkahir disini. Dua piring sate padang dan es jeruk adalah yang terakhir kami nikmati sebelum akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel.

Jakarta memang tak akan pernah berhenti berdengus. Rodanya terus berputar, berpacu dengan zaman. Dan sisa-sisa perjalanannya yang masih terekam bisa kita jumpai dari Muara Angke hingga Pekan Raya Jakarta.




Jakarta, 2012






*untuk keperluan liputan, maka tulisan ini telah melalui proses sunting tanpa mengurangi esensi dari isi liputan.




-------ooOoo-------