" Muara Angke "
ilustrasi oleh: airbening21
MENCARI YANG TERSELIP DALAM PERADABAN
Cuaca pada Juni ini seperti
gadis yang gelisah. Terkadang panasnya merajuk-rajuk, namun bisa pula hujan
tanpa terlalu banyak berpesan mendung. Bulan Juni juga memberi gairah riang untuk
anak-anak sekolah, artinya musim liburan tiba. Betul sekali, seperti anak-anak
sekolahan itu, saya pun sedang ingin berlibur.
Seorang kawan karib dari Kalimantan
akan berkunjung. Sekian lama tak bersua semenjak kami tamat kuliah. Ia datang
tepat pada bulan di mana ibukota negara sekaligus sebuah provinsi dengan status
daerah istimewa khusus ini sedang bersolek untuk merayakan ulang tahunnya yang
ke 485. Kawan saya dari daerah garis katulistiwa ini berkunjung ke Jakarta
untuk urusan sebuah bisnis.
Saya menjemputnya di Bandara
Soekarno-Hatta dan mengantarnya ke Hotel Kawanua. Selama di Jakarta
ia akan stay di hotel ini. Saya sendiri yang memilihkannya,
sebab posisi hotel bintang tiga dengan pelayanan prima ini cocok untuk para
pebisnis yang melakukan aktivitasnya di ibukota. Hotel Kawanua
Aerotel yang terletak di jalan Cempaka Putih, mudah dijangkau dari Bandara
Soekarno Hatta dan pusat pemerintahan serta pusat-pusat belanja di Jakarta.
Di Jakarta, saya tidak membiarkannya
tenggelam dalam penat. Saya pun mengajaknya ke sisi lain Jakarta. Walau saya
yakin, dia sudah sering melihatnya. Tapi ini Jakarta. Beda. Saya ingin refresh di
wilayah kota berbalut gedung-gedung ini. Saya ingin jalan-jalan ke tempat yang
agak berbeda.
Hutan Suaka Margasatwa Muara Angke
dan ini sepertinya menarik. Menjauh sedikit dari kebisingan sambil mengunjungi
salah satu benteng terakhir konservasi bakau untuk pesisir Jakarta. Di tengah
arus pembangunan kota besar yang resah, di pinggiran Jakarta ini masih
menyisakan 'nafas' yang ingin saya 'hirup'.
Untuk menjangkau tempat ini memang
agak nyaman dengan menggunakan kendaraan pribadi. Tinggal melewati jalan tol
dan keluar di pintu tol Pluit, kemudian menuju wilayah Pantai Indah Kapuk.
Hutan konservasi ini berada dekat pemukiman terbesar di pesisir pantai yang
seperti menjadi batas wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Baiklah, kami
meluncur!
Suaka Margasatwa Muara Angke
Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah
sebuah kawasan konservasi berdasarkan
SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 097/Kpts-II/1988, 29 Februari 1988 di
wilayah hutan bakau (mangrove) di pesisir utara
Jakarta. Secara administratif, kawasan ini termasuk wilayah Kelurahan
Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kawasan yang
berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk ini, hanya dibatasi Kali Angke dengan permukiman nelayan Muara Angke.
Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan SMMA
sebagai kawasan cagar alam pada 17 Juni 1939. Awalnya SMMA
seluas 15,04 ha lalu tahun 1960-an menjadi
1.344,62 ha. Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia mengubah
status kawasan ini menjadi suaka margasatwa. Perubahan status ini untuk
menangkal kerusakan lebih lanjut di kawasan tersebut. Kini, luas SMMA
menjadi 25,02 hektar.
Dari sebuah gerbang
kecil, 'petualangan lingkungan' kami dimulai.
Berjalan di lintasan kayu sepanjang
800 meter memberi kesan yang berbeda. Sepanjang menyusuri lintasan, di kiri
kanan dipenuhi pepohonan rimbun khas pesisir. Sebut saja bakau. Ada 30
jenis tumbuhan di tempat saya berjalan-jalan. Sebelas diantaranya
adalah jenis pohon bakau seperti Api-Api (Avicennia Spp.) dan Pidada (Sonneratia
Caseolaris). Selain itu, ada juga beberapa jenis pohon yang ditanam untuk
reboisasi seperti Asam Jawa (Tamarindus Indica), Bintaro (Carbera Manghas), dan
Waru Laut (Hibiscus Tiliaceus).
Jangan kaget ketika tiba-tiba ada
monyet menghampiri. Bukan seekor atau dua ekor, tapi kadang-kadang mereka
bergerombol seolah-olah menyambut para pengunjung. Uuppss! Sepertinya seekor monyet merasa
tidak nyaman saya ambil gambarnya. Ketika kamera membidik, matanya terlihat melotot
sambil menyeringai. Waw .. hahaa!! Kawasan ini membuat saya
seolah-olah tidak berada di Jakarta. Amazing!
SMMA memang menjadi habitat kelompok
monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis). Kawanan pemakan buah ini memegang
peran penting di SMMA dengan 'perilakunya' menyebar biji-bijian tumbuhan hutan.
Selain itu tercatat sekitar 91 jenis burung hidup bebas disini. Diantaranya 28
jenis burung air dan 63 jenis burung hutan. 17 jenis di antaranya adalah hewan
yang dilindungi seperti Bangau Bluwok (Mycteria Cinerea), Cerek Jawa
(Charadrius Javanicus), dan Bubut Jawa (Centropus Nigrorufus).
"Kita berharap pengunjung juga
ikut menjaga kebersihan disini. Jangan buang sampah sembarangan dan hindari
memberi makan kepada monyet-monyet. Agar mereka tetap terbiasa mencari makan
sendiri. Kalau di kasih makanan nanti mereka jadi manja, bahaya kalau mereka
keluar dari sini dan 'minta makan' ke warga," kata Arifin yang menjadi
salah satu penjaga SMMA ini sambil tertawa.
Meski menjadi suaka margasatwa
terkecil di Indonesia, tapi peranan SMMA cukup penting. Bird Life International - salah
satu organisasi pelestarian burung di dunia - telah memasukkan kawasan ini
sebagai salah satu daerah vital bagi konservasi kehidupan burung.
Tak heran jika kemudian SMMA sering
dikunjungi anak-anak sekolah. Waktu saya mengitari area tersebut, saya
berjumpa dengan sekelompok anak muda memakai jas almamater perguruan
tinggi. “Karena ada tugas, tapi berasa kayak bukan di Jakarta ya,” ujar
seorang mahasiswa.
Memang tidak rugi jika Anda pun
harus menyempatkan diri kesini bersama keluarga di saat senggang. Pengenalan
lingkungan kepada anak-anak harus dimulai sejak dini, memanfaatkan libur
sekolah agar lebih bermakna.
Mengintip Kepingan ‘Catatan Tua’ Jakarta
Kembali
ke hotel saat senja telah rebah jauh kearah malam. Sambil beristirahat di kamar
yang nyaman, saya jadi tertarik untuk mengetahui Jakarta secara lebih ‘jadul’.
Membuka buku dan berselancar di dunia maya. Mengintip banyak hal tentang
Jakarta.
Kota
yang suhunya relatif panas ini memang sangat akrab dengan tempat hiburan yang
berserakan hampir di seluruh penjuru kota. Tapi ini kota bersejarah, kawan.
Bukan sekedar ‘desa besar’ yang muncul secara tiba-tiba. Banyak hal lain dan menarik yang tersimpan di
metropolitan ini.
Sebagai
salah satu kota tertua di Indonesia, Jakarta tak kan pernah terlepas dari
sejarah sebuah pelabuhan yang terletak di Teluk Jakarta di kawasan Sungai
Ciliwung. Ya, pelabuhan Sunda Kelapa erat hubungannya sebagai sejarah asal usul
Kota Jakarta, yang merupakan pusat perdagangan sangat penting sejak abad ke 12
hingga abad ke 16.
Hampir
semua ‘bangsa penginvasi’ pernah menginjakkan kakinya di jantung Indonesia ini.
Sebut saja Portugis, Belanda, maupun Jepang. Lika liku perjalanan zaman di
nusantara banyak ditentukan dari sini. Tidaklah mengherankan, asal usul namanya
sendiri merupakan dari rangkaian sejarah ‘lontar raja-raja’.
Alkisah,
pada tahun 1527 pasukan Fatahillah dari Demak berhasil menduduki kota pelabuhan
Sunda Kelapa. Ketika armada Portugis datang, pasukan Fatahillah
menghancurkannya, sisa-sisa armada Portugis itu melarikan diri ke Malaka.
Atas
kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang
artinya “Kemanangan Yang Berjaya”. Menurut perhitungan, hal itu terjadi pada
tanggal 22 Juni 1527. Itulah sebabnya hari tersebut ditetapkan sebagai hari
jadi Kota Jakarta hingga usianya yang menginjak 485 tahun di 2012 ini.
Pekan Raya Jakarta
Mengitari
banyak acara dalam Hari Jadi Kota Jakarta ke 485 tahun ini sepertinya tak akan
pernah habis. Jadi kami mencoba memilih mana yang kira-kira menjadi
‘maskotnya’. Setidaknya sebuah kegiatan yang menjadi ciri khas dan bisa kami
masuki tentunya. Sepertinya kami telah menemukannya.
Siang
beranjak rebah di ibukota keesokan harinya. Sebelum senja benar-benar kembali
menyapa, kami telah bersiap. Mengunjungi sebuah pameran terbesar, mungkin di
Indonesia. Pekan Raya Jakarta sebagai bagian dari kegiatan mengisi perayaan
ulang tahun Kota Jakarta.
Event tahunan ibukota ini diadakan
pertama kali pada tahun 1968. Dari pertama sampai 1991 PRJ pernah
berlangsung di Taman Monumen Nasional
(Monas). Sejak digelar pertama kali di kawasan Monas tanggal 5 Juni
hingga 20 Juli
tahun 1968
dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan melepas merpati pos,
penyelenggaraannya tidak pernah terputus.
PRJ
dulunya disebut DF yang merupakan singkatan dari Djakarta Fair (ejaan lama).
Lambat laun ejaan tersebut berubah menjadi Jakarta Fair yang kemudian lebih
popular dengan sebutan Pekan Raya Jakarta.
Dari
Hotel Kawanua kami mencoba naik bajaj. Kendaraan khas dari India ini mengantar
kami ke gerbang PRJ. Setelah membeli tiket seharga 20 ribu rupiah per orang,
kami pun ‘chek in’. Sungguh ramai suasana dengan konsep eksibisi metropolit yang
kami jumpai. Tentu saja, sebab ini adalah semacam pameran produk di kota
terbesar negeri ini. Dari mulai HP hingga stand mobil. Selayaknya sebuah
pameran, maka tentunya bonus dan diskon juga ramai disebar.
Kami
mencoba menyusuri jalur-jalur yang ada di dalam area pameran. Memuaskan mata
menikmati hampir semua stand yang ada. Selain berbentuk produk barang, maka ada
juga stand-stand kuliner. Cuma sayang, kami tidak menemukan kuliner khas
betawi. Deretan pedagang kerak telor malah kami temukan di luar area. Kegiatan
yang digelar dari 14 Juni hingga 15 Juli ini pun terasa kurang gregetnya.
Tapi
ada yang menarik, kami menemukan stand-stand dari provinsi lain. Ini mengobati
pencarian kami akan sesuatu yang berbeda di PRJ. Stand-stand daerah tersebut
memajang barang-barang khas daerahnya masing-masing. Dari batik hingga
kerajinan tas.
Buat
yang datang bersama keluarga sepertinya telah diperhitungkan oleh panitia. Arena
bermain untuk anak-anak. Dari komidi putar hingga ‘sungai-sungai’ kecil yang
terbuat dari plastik tempat anak-anak bermain perahu-perahuan. Pengunjung
memang sepertinya tidak ingin ‘dikasih keluar’ oleh panitia.
Kami
mencoba masuk ke sebuah stand handphone. Waw!
Harganya murah, cuma 159 ribu. “Sedang promosi setengah harga disini,” celetuk
penjaga stand-nya saat kami memperhatikan handphone-handphone yang dijajarkan.
Memang, di stand-stand elektronik yang lain kami juga melihat hal serupa.
Pegal
juga rasanya mengitari arena pameran yang begitu luas ini. Lapar terasa. Agak
disisi arena kami menghampiri sebuah tenda panjang. Semacam foodcourt. Berjejer kursi meja dan
tentunya beragam pilihan menu yang bisa dipilih. Kami merasa, ‘petualangan’
kami akan berkahir disini. Dua piring sate padang dan es jeruk adalah yang
terakhir kami nikmati sebelum akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel.
Jakarta
memang tak akan pernah berhenti berdengus. Rodanya terus berputar, berpacu
dengan zaman. Dan sisa-sisa perjalanannya yang masih terekam bisa kita jumpai
dari Muara Angke hingga Pekan Raya Jakarta.
Jakarta, 2012
*untuk keperluan
liputan, maka tulisan ini telah melalui proses sunting tanpa mengurangi esensi
dari isi liputan.
-------ooOoo-------