" Penjual Kain Di Pantai Kute"
ilustrasi oleh: airbening21
Legenda Pulau Dua Dewi
Rinduku pada Dewi Anjani adalah alunan
seruling batang padi yang membelah lembah
Rinduku pada Putri Mandalike adalah hembusan angin laut yang menderu-deru ..
Rinduku pada Putri Mandalike adalah hembusan angin laut yang menderu-deru ..
Sepertinya
siang telah tegak di ubun-ubun, saat pesawat Garuda Indonesia yang membawa saya
dari Jakarta mendarat mulus di Bandara Internasional Lombok (BIL). Ini bandara
baru, belum genap setahun beroperasi menggantikan bandara lama di Kota Mataram,
Lombok. Penerbangan hampir 1,5 jam terasa begitu cepat. Sepertinya tadi saya
hampir tertidur. Penerbangan yang nyaman dengan menu makanan yang disuguhkan
pramugari yang ramah didalam ‘perut garuda’ membuat saya tidak begitu berminat
mencari makanan di sekitar bandara.
Lombok,
sebuah pulau di timur Bali yang ‘di paku’ oleh menjulangnya Gunung Rinjani
sebagai gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Kerinci di Sumatera dan
Semeru di Jawa. Dengan ketinggian sekitar 3.726m dpl, maka Rinjani terlihat begitu
menjulang. Ada danau di atasnya, yaitu Danau Segare Anak. Mitos menyelimuti gunung
yang tiap tahunnya menyelenggarakan kegiatan Tapak Rinjani ini sebagai ajang
pertemuan tahunan para pecinta alam sambil bersih-bersih gunung. Tentang
seorang puteri yang menjadi penjaganya, Dewi Anjani, yang menurut cerita untaian
rambutnya begitu panjang hingga ke pantai selatan Lombok.
Sejenak
saya tenggelam dalam kegairahan perjalanan. Tapi saat ini saya ingin segelas
kopi sambil mengecek kembali ‘peta perjalanan’. Tak lama saya berpikir, ketika
saya telah berada dalam sebuah kedai kopi yang ada disekitar bandara. Beberapa
tempat telah saya persiapkan dari Jakarta untuk dikunjungi. Namun saya harus
memulainya dari Senggigi. Saya akan menginap di kawasan pantai yang terkenal
ini. Dari BIL beberapa alternatif kendaraan bisa dipilih. Diantaranya damri,
taksi, ataupun travel lepas yang biasa mangkal di sekitar bandara.
“Travel-nya
bisa ditawar kok, Mas. Tawar aja,” celetuk penjaga kedai kopi ketika saya
bertanya tentang travel yang mangkal didepan bandara.
Tapi
saya ingin mencoba damri. Angkutan publik ini sepertinya menarik untuk saya
jajal di Lombok. Dengan tarif 15 ribu rupiah ke Mataram dan 25 ribu rupiah yang
langsung ke Senggigi. Damri berangkat setiap satu jam. Dengan inilah saya
kemudian meluncur ke Senggigi.
Matahari Terbenam Di Senggigi
Senggigi
Beach Hotel. Senja itu saya telah berada disana. Sungguh beruntung saya sore
itu. Setelah sedikit beristirahat dikamar hotel yang lebih mirip
bungalow-bungalow, saya ingin jalan-jalan. Suasana sekitar hotel yang telah mendapat
sertifikat eco hotel ini cukup teduh. Jajaran pepohonan, hamparan rumput, dan
suasana tenang.
Sayup-sayup
suara ombak senja itu menggiring langkah saya ke pinggir pantai. Ada live music. Manajemen Senggigi Beach
Hotel memberi nuansa yang berbeda dengan membuat stage dipinggir pantai dekat bar. Beberapa lagu berirama country terdengar mengalun seperti
menyambut ombak-ombak yang memecah pantai. Rata-rata kursi yang disediakan
diatas pasir terlihat terisi. Tentu saja dengan bule sebagai mayoritas.
Semakin
sore suasana bertambah menarik. Segelas kopi yang saya pesan sepertinya
cukuplah untuk menemani saya menghabiskan malam. Seorang tukang tattoo
temporary melintas, menawarkan ‘keahliannya’. Tapi sayang sekali, saya tidak
terlalu suka menggambar badan.
Di
sepanjang pantai para pengunjung cukup menikmati suasana. Senggigi merupakan
kawasan yang bebas dikunjungi oleh para wisatawan, tidak dikenakan tarif untuk
memasuki area ini, kecuali wilayah-wilayah yang dikelola khusus oleh hotel
maupun lapangan golf.
Namun
di sekitar stage live music Senggigi
Beach Hotel, pengunjung boleh berlalu lalang ataupun sekedar duduk-duduk di
pasir pinggir pantai. Pantai ini memanjakan pengunjungnya dengan panorama alam
yang indah di pandang mata.
Pengunjung dapat melakukan banyak aktivitas di sini, baik melakukan snorkeling di bawah laut maupun
sekadar berjemur menghangatkan tubuh di pinggir pantai. Ombak pantai ini
terkenal tidak terlalu besar, sehingga aman untuk bermain air di pinggiran
pantai. Namun, apabila ingin berenang di pinggir pantai, berhati-hatilah karena
banyak terdapat karang-karang runcing yang bisa membahayakan kaki. Jika ingin
mencoba berperahu, kita juga menyewa perahu-perahu bermotor untuk menyusuri
keindahan laut. Biaya sewa dikenai harga Rp. 150.000 hingga Rp. 200.000 selama
1 jam. Satu perahu dapat memuat hingga 6 orang penumpang.
Selepas senja rebah dan menghilang, saya pun beranjak kembali ke kamar hotel.
Selepas senja rebah dan menghilang, saya pun beranjak kembali ke kamar hotel.
Makam Bintaro, Lebaran Ketupat, dan
Batulayar
Ketika
saya di Senggigi, bertepatan dengan Lebaran Ketupat, yaitu sebuah lebaran yang
menjadi tradisi masyarakat Sasak. Lebaran ini dilaksanakan seminggu setelah
lebaran Iedul Fitri. Saya cukup beruntung, karena akhirnya bisa menyaksikan
bagaimana tradisi di tempat yang dijuluki Pulau Seribu Masjid ini dijalankan.
Lebaran
Ketupat adalah julukan untuk lebaran bagi mereka yang puasa di bulan Syawal. Di
hari ini tradisi awalnya adalah masyarakat membikin ketupat untuk disantap
bersama-sama di masjid maupun ketika berziarah di makam orang-orang yang
dianggap suci. Saya melihatnya lebih tepat sebagai halal bihalal massal.
Ditemani oleh Fauzan, seorang kawan dari Lombok Tengah, maka salah satu tempat
yang saya kunjungi adalah Makam Bintaro.
“Saya
adalah generasi keempat yang menjaga komplek makam ini,” cerita Haji Ali,
seorang juru kunci yang saya temui di Makam Bintaro.
Makam
Bintaro ini sejatinya adalah makam seorang Arab yang dahulu datang ke Lombok
untuk menyempurnakan Islam di Lombok. Kisah alim ulama yang datang ke Lombok
memang banyak. Semuanya meninggal dan dimakamkan di Lombok.
Posisi
komplek makam ini berada persis dipinggir jalan menuju Senggigi. Kondisi
sangatlah ramai. Disini saya menemukan orang ‘begibung’, yaitu makan
bersama-sama dalam satu wadah. Sebuah tradisi makan bersama yang perlahan mulai
hilang. Rata-rata peziarah yang datang hampir dari seluruh penjuru Lombok.
Selain Makam Bintaro, sebenarnya ada juga makam yang cukup ramai yaitu makam
Loang Balok di pantai Ampenan. Tapi waktu yang tidak cukup membuat saya cukup
sampai di Makam Bintaro saja.
Masih
menurut Haji Ali, pada hari-hari biasa selalu saja ada yang datang berziarah ke
makam ini. Namun jumlah peziarah akan membludak pada saat-saat tertentu, salah
satunya ya ketika Lebaran Ketupat. Masyarakat akan berbondong-bondong bersama
keluarga dan handai taulannya mengunjungi komplek pemakaman yang cukup luas
ini. Mereka juga membawa bekal, khas Lebaran Ketupat. Makanan ini disantap
bersama-sama di bangunan-bangunan sekitar makam yang memang sengaja dibikin
sebagai tempat para peziarah beristirahat.
Tidak
jauh dari situ ada Makam Batulayar. Letaknya persis dipinggir jalan mendekati
Senggigi. Sebenarnya Makam Batulayar ini sudah masuk wilayah Senggigi. Seperti
halnya Makam Bintaro, disini juga dimakamkan seorang ulama terkenal. Menurut
cerita turun temurun, Batulayar ini merupakan makam Syeh Syayid Muhammad al Bagdadi
yang berasal dari Bagdad. Beliau datang ke Pulau Lombok untuk menyebarkan agama
Islam. Setelah agama Islam sempurna Syeh Syayid ingin kembali ke negeri asalnya
di Bagdad.
Kemudian
penyebar agama Islam ini diantar ke pinggir pantai Batu Layar oleh para
muridnya. Setelah tiba di pinggir pantai, Syeh Syayid berdiri di atas batu yang
menyerupai sebuah perahu. Namun sekitar setengah jam kemudian datang hujan
lebat yang disertai angin dan petir. Pada saat itulah Syeh Syayid menghilang
dan yang tertinggal hanya surban dan kopiahnya. Dengan demikian yang dimakamkan
di Makam Batu Layar itu bukan jasad Syeh Sayid melainkan kopiah dan sorban yang
ditinggalkannya.
Dari
Makam Batulayar ini kita bisa memandang pantai dan laut. Cukup menarik untuk
kita duduk menunggu sore. Pada saat Lebaran Ketupat, pada makam-makam itu juga
ada yang punya tradisi mencukur rambut bayi. Mungkin berharap berkah agar
anaknya kelak bisa menjadi baik dalam hal agama.
Hari
ini saya betul-betul seperti sedang wisata religi. Berbaur dengan masyarakat
lokal Lombok dan mengikuti acara tradisinya. Sebuah kearifan lokal akan arti
kebersamaan dalam semangat menghormati tokoh-tokoh dari masa lalu.
Memeluk Putri Mandalike Di Kute dan
Tanjung Aan
Jika
kita menyebut atau mendengar nama Kute, maka tentu akan terlintas sebuah pantai
terkenal di Bali. Tapi jangan harap itu akan terlintas dikepala orang-orang
Lombok. Kute di Lombok adalah sebuah nama pantai di bagian selatan. Sebuah
kawasan yang masuk dalam wilayah Lombok Tengah dan tahun 2012 ini dijadikan
sebagai kawasan Mandalika Resor.
Berjarak
tempuh sekira 1,5 hingga 2 jam dari Senggigi. Ini berarti kita cuma butuh waktu
hanya 30 – 40 menit saja kalau dari bandara. Bersama kawan Fauzan, saya
memasuki kawasan Kute ketika hari menjelang siang. Semilir angin laut menerpa.
Disekitar pantai ini cukup ramai. Disepanjang jalan sebelah kiri adalah deretan
hotel-hotel dan tempat penginapan lainnya. Harganya? Jangan khawatir, tidak
semahal di Bali. Pantainya disebelah kanan, jejeran artshop sambung menyambung.
“Sekarang
turis lagi ramai, memang Agustus sampai Oktober itu musim kunjungan wisatawan.
Setiap tahun selalu seperti itu,” Nari, seorang penjaga artshop yang saya temui menceritakan.
Pantai
Kute adalah sebuah pantai dengan ombak yang relatif tenang. Dalam arti kata
sangat cocok untuk berenang bersama keluarga. Namun saya mendengar, bahwa
Pantai Gerupuk di ujung jalan Kute ini kearah timur ombaknya sangat disukai
para peselancar. Besar dan menantang. Sayang sekali, saya belum bisa sampai
kesana. Namun suatu saat nani saya harus mencobanya.
Saya
tidak ingin berenang, bersama kawan saya mencoba menikmati suasana dengan
duduk-duduk diatas pasir. Beberapa anak penjual cinderamata menawarkan
gelang-gelang. Cukup murah, saya bisa menawarnya hingga 5 ribu rupiah. Di
sepanjang pantai ada beberapa tempat makan yang dibikin dari bamboo beratap
daun kelapa. Agak disayangkan karena malah terkesan kurang tertata rapi, ini
mungkin tugas aparat terkait untuk menertibkannya.
Sebuah
mitos lama juga ‘menaungi’ pantai wilayah selatan yang eksotis ini. Sebuah
legenda tentang seorang putri yang mengorbankan dirinya dengan menceburkan diri
ke laut. Setiap tahun diselenggarakan pesta pantai untuk ‘mengenang’ putrid
tersebut. Legenda Putri Mandalike, hidup dalam kepercayaan masyarakat Sasak
hingga saat ini. Putri yang kisahnya secantik panorama Kute ini diperingati
sebagai ajang kearifan budaya lokal Sasak.
Di
Kute juga kita bisa melanjutkan perjalanan kearah timur sedikit. Berjarak
kurang lebih 5 KM, kita akan menemukan Pantai Tanjung Aan. Pasirnya lebih putih
disini. Suasana disini juga tidak kalah indah dengan Kute. Laut biru dan ombak
yang berkejaran berirama. Disini juga cocok untuk berjemur. Jadi tidak heran,
saya menemukan banyak bule berjemur. Wisatawan lokal juga banyak. Terutama di
hari minggu atau saat-saat tertentu, seperti Lebaran Ketupat.
Kalau
di lihat-lihat, Tanjung Aan pantainya cenderung seperti landai. Kawasan yang
memiliki bukit-bukit kecil yang bisa kita naiki ini berpasir seperti buah
merica. Menyenangkan untuk kita membenamkan kaki. Beberapa kepercayaan
mengatakan bahwa disini kita bisa mengobati asma. Caranya dengan mengubur diri
di pasir pantainya. Benar atau tidak, jika ingin mencoba maka tidak ada
salahnya juga.
Pantai
Tanjung Aan sepertinya akan masuk dalam kawasan Mandalike Resor. Yaitu semacam
kawasan pantai yang dikelola secara khusus. Namun jalan dari Kute menuju
Tanjung Aan masih kurang bagus. Walaupun beraspal, tapi banyak lubang.
Sepertinya menunggu Mandalike Resor direalisasikan, sehingga paket pengerjaan
jalannya bisa bersama-sama.
Saya
menghabiskan waktu hampir seharian di Kute dan Tanjung Aan. Menikmati pantai
dan segala aktifitas para turis. Berbincang dengan penjaga artshop hingga berjalan-jalan menikmati kawasan yang membuat saya
malah merasa seperti menjadi ‘bule’, karena terlihat bule lebih banyak daripada
orang lokal .. hahahaa ..
Berburu Cinderamata
Hari
ini merupakan hari terakhir saya di Lombok. Beberapa kawan sudah mengirimi saya
SMS, isinya sudah bisa ditebak. Minta dibawakan oleh-oleh. Setelah ‘berdiskusi’
sebentar dengan Fauzan, saya memutuskan untuk mengunjungi Sukerara dan
Sekarbela. Dua tempat yang menjadi sentra kain tenun dan produksi mutiara.
Sukarara
atau Sukerare dalam dialek Sasak adalah sebuah desa di Lombok Tengah. Berjarak
tempuh sekitar 1 jam lebih dari Senggigi. Tempatnya menjelang kita masuk ke Kota
Praya, mungkin 4 – 5 KM sebelum masuk Praya. Tepat di perempatan Puyung kita
belok kanan. Sekitar 1,5 Km kemudian kita akan masuk Desa Sukerara.
Masyarakat
di desa ini menggunakan dialek Lombok Selatan. Penduduknya terkenal sebagai
pengrajin tenun songket. Sepanjang jalan setelah memasuki desa ini kita akan
menemukan artshop sekaligus tempat
menenun didepannya. Sebuah berugak
atau saung dengan gaya Sasak merupakan tempat buat perempuan Sasak untuk
menenun.
Menurut
info, dulu menenun adalah aktifitas ketika musim kemarau tiba. Sambil menunggu
musim hujan yang merupakan waktu untuk bertani, maka perempuan-perempuan Sasak
akan menenun. Di wilayah pesisir, menenun itu adalah aktifitas ketika bulan
sedang terang. Saat itu nelayan-nelayan tidak ada yang melaut. Ketika para
laki-laki menggunakan waktu tidak melautnya untuk memperbaiki sampan dan
jaring, maka perempuan-perempuan juga akan mengisi waktunya dengan menenun.
Kini
menenun sudah dijadikan sebagai salah satu sentra pariwisata di Lombok. Jadi
aktifitas menenun pada desa yang sudah dibina oleh pemerintah, menenun
dilakukan sepanjang waktu. Gayanya masih tetap dengan alat yang tak pernah
berubah.
“Kebanyakan
yang datang itu berombongan, pakai bis pariwisata,” kata Putre, seorang pemilik
artshop tenun “Intan” di sana.
Putre
juga menambahkan jika turis mancanegara lebih suka datang sendiri-sendiri. Berbagai
macam kain dipajang di tempatnya Putre. Dari yang seharga 70 ribu hingga 5
jutaan. Kita bisa menawar.
“Kalau
beli banyak saya kasih harga turun. Tapi kalo cuma satu ya jangan ditawar ya ..
hahaha ..”, cetus pria paruh baya ini
sambil bercanda.
Kain
tenun di Sukerara ini ada yang berbentuk selendang hingga kain panjang. Cukup
menarik bagi yang menyukai kain-kain dengan corak etnis. Puas saya berkeliling
dan melihat-lihat yang sedang menenun.
Saatnya
kembali kearah barat, sebuah tempat lagi harus saya kunjungi. Berada di pinggir
Mataram, Sekarbela namanya. Disini merupakan pengrajin perak dan mutiara.
Tempatnya tidak luas. Sekitar 500 meter sepanjang jalan disana kiri kanan
berjejer toko-toko yang menjual perak dan mutiara.
Harganya
relatif murah. Dengan perak berkarat 92,5, maka kita bisa menjumpai aksesoris
seharga 10 ribu hingga ratusan ribu. Mutiaranya yang dijual rata-rata mutiara
air tawar. Yaitu mutiara yang sengaja khusus dibudidayakan. Harganya murah,
perbutir Rp.7.500 rupiah. Tapi jika sudah berbentuk gelang perak, maka harganya
menjadi 40 hingga 70 ribu rupiah. Tergantung jumlah mutiara dan ketebalan
peraknya.
Bagi
yang mencari mutiara air laut, maka di Sekarbela juga ada. Harganya jauh lebih
mahal daripada mutiara air tawar.
“Kalau
yang air laut itu perbutirnya 100 ribu, Mas .. biasanya yang suka mutiara air
laut itu diikatnya sama emas, tapi kalau mau pakai perak juga gak apa-apa,”
penjual mutiara tempat saya melihat-lihat kerajinan handycraft itu menjelaskan.
Jika
sudah masuk butik, harganya menjadi jauh lebih mahal. Biasanya naik lebih dari
50 persen. Para pedagang mutiara dari luar daerah, terutama dari Jakarta juga
banyak yang ‘berburu’ mutiara ke Sekarbela. Mereka biasanya membeli dengan
sistem borongan.
Hari
sudah lewat ashar, ketika beberapa mutiara sudah saya beli. Perjalanan saya ke
Lombok kali ini penuh warna warni. Dari wisata pantai, mendengarkan kisah-kisah
mitos, wisata religi dalam kearifan lokal, hingga berburu cinderamata.
Malam
pun beranjak kelam di bumi yang ramah ini. Saya sudah mengemas barang-barang,
sebab esok hari pesawat Garuda Indonesia akan kembali membawa saya pulang ke
Jakarta. Sekilas saya lihat tiket, disana tertulis waktu pkl. 06.55 pagi. Untuk
waktu Indonesia bagian tengah tentunya. Tak terasa saya terlelap, pagi buta
saya harus segera bergerak menuju bandara untuk kembali ke ibukota. Lombok akan
selalu menjadi ‘kekasih’ yang akan saya rindukan.
Lombok, Agustus 2012
*untuk keperluan liputan, maka tulisan ini telah melalui proses sunting tanpa mengurangi esensi dari isi liputan.
-------ooOoo-------