CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Jumat, 09 September 2011

PEMANDU SADAR : Catatan Tentang Alat-Alat Tabuh Yang (mulai) Terlupakan

" Traditional Drum and Guitar "
ilustrasi oleh: airbening21


SANG PENABUH


- Dung .. Dung .. Dung .. / Suara bedug seperti sudah di pinggir telinga / Dung .. Dung .. Dung .. / Dan aku harus bersiap berlomba dengan hujan / Dung .. Dung .. Dung .. / Ternyata hanya degup jantung saja ..-

ADA seorang tua di kampung saya (sekarang beliau sudah meninggal), namanya papuq Juahir. Papuq dalam bahasa Sasak Lombok artinya kakek. Beliau memang sudah tua, bahkan sedari saya masih kecil. Saya kenal baik sebab papuq Juahir sering ke rumah, ibu saya sering minta bantuan mengupas kelapa atau membersihkan rumput di halaman dan lain sebagainya. Bahkan kalau tidak salah ingat, sumur di rumah saya juga di gali sama papuq Juahir. Tak ada yang aneh dengan papuk Juahir ini sehingga saya menuliskannya di paragrap awal. Bukan juga saya mau membuat sebuah catatan in memoriam tentang papuq Juahir. Saat ini saya sedang mengingatnya sebagai seorang penabuh beduk yang handal. Hampir semua orang di kampung saya mengetahui hal itu. Pukulan tiga rentetnya sangat terkenal. Pas mantap pokona mah ..

Anda pasti tahu apa itu beduk, termasuk juga apa yang disebut dengan penabuh beduk. Jika lebaran tiba maka para penabuh beduk akan saling bergantian ‘menghajar’ beduk yang ada di masjid-masjid. Semua orang boleh menabuh beduk, terlepas dari apakah ia seorang yang ahli atau bukan. Itu tak penting sebab intinya adalah kemeriahan saja. Namun di kampung saya, beduk itu telah mulai ditabuh dari malam pertama Ramadhan yang dibunyikan setiap selesai tarawih. Saya pikir itu bagus, sebab setidaknya selama hampir sebulan para penabuh telah mulai latihan agar nanti pas malam lebaran suara tabuhannya sudah terlatih dan enak didengar. Jadi peluang suara beduk akan terdengar ‘tidak merdu’ menjadi agak berkurang.

Kini mari sejenak kita dengar suara tiang listrik yang mulai di pukul-pukul dari jam 12 malam dan berlanjut setiap jam dengan jumlah pukulan yang disesuaikan dengan angka jam hingga pukul 4 pagi. Itu hansip yang sedang jaga ronda. Kemudian ketika terjadi bencana alam atau kondisi gawat darurat kita akan mendengar suara kentongan dipukul bertalu-talu. Lalu apa persamaannya selain dari bahwa itu sama-sama mengandung arti dipukul? Tidak perlu rumit atau yang sulit-sulit, cukuplah hal yang ringan saja bahwa itu berarti pengingat dan ‘penunjuk’. Sesuatu yang luar biasa bukan?! Mari kita obrolkan sedikit sambil ngopi, mumpung masih cukup hangat.

Seorang penabuh beduk, pemukul kentongan, atau pemukul tiang listrik sejatinya adalah mereka yang mengingatkan kita akan waktu atau kondisi yang terjadi. Mereka yang membuat kita sadar bahwa ada sesuatu atau setidaknya bahwa kita harus melakukan apa. Mereka sebenarnya adalah ‘pemimpin’, semacam leader yang memandu kita. Terlepas dari sejarahnya dan ‘sekte’ atau mazhab yang dianut, beduk sejak dahulu merupakan penanda datang waktu sholat. Jadi tidak digunakan hanya saat Ramadhan maupun lebaran saja. Tugas-tugas mulia dari benda-benda itu (selain dari tiang listrik yang ‘diberdayakan’ kemudian oleh hansip) beserta dengan orang yang memukul atau menabuhnya sangatlah mengandung arti yang luhur. Tanpa sadar dan kita harus sadar bahwa kita harus berterima kasih kepada mereka beserta dengan benda-benda tersebut.

Saya disini tidak ingin mengajak untuk melakukan pemujaan terhadap benda atau manusia, cuma sekedar untuk memberi penghargaan saja. Bahwa kita ternyata dalam kondisi tertentu tanpa sadar membutuhkan ‘pemimpin’. Kita dalam waktu-waktu yang ‘bias’ memerlukan pemandu sadar. Namun jangan menyamakan mereka itu dengan seorang pemain drum dengan seperangkat alat drumnya pada sebuah grup band. Itu berbeda tentunya, sebab pemain drum bukanlah pemandu waktu namun hanya pemandu ketukan pada sebuah lagu. Hakikat dan manfaatnya tentu jauh berbeda dengan seorang penabuh beduk, pemukul kentongan bencana, maupun tiang listrik yang dipukul-pukul hansip ditengah malam buta.

Baiklah, kawan .. gelas kopi kita sudah hampir kosong dan sisa kopi dipantat gelas telah mulai dingin. Lewat akhir coretan ini saya ingin mencoba belajar untuk berterima kasih kepada seluruh penabuh beduk di seluruh dunia, termasuk kepada pemukul kentongan di kampung-kampung, dan juga segenap hansip di nusantara ini. Spesial buat almarhum papuq Juahir, semoga beliau mendapat tempat sebaik-baik dan seindah-indah tempat disisi-Nya. Amin ya Robbalalamin .. percayalah, walau tangan-tangan itu pada waktunya telah tak mampu lagi mengangkat pemukulnya tapi suara pukulan beduk atau kentongan dan tiang listrik itu akan selalu terrdengar sepanjang masa. Bertalu-talu dan berdengung dengan indah sampai ke ujung langit.



Bandung, 5 September 2011






-------oooOooo-------

Tidak ada komentar: