CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Sabtu, 08 Januari 2011

NANANG SABA KOTA : Catatan Tentang Seorang Pemuda Desa

" Nanang On Subjective High Style "
ilustrasi oleh: airbening21


KISAH DARI SEBUAH SISI JALAN


- ".. cita-cita adalah sesuatu yang membuat kita merasakan itu sebagai sebuah perjuangan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang melelahkan .." -

WAKTU masih menunjukkan pukul 03.14 menjelang subuh waktu Bandung. Dingin masih mencucuk tulang, namun seorang pria tampak berkemas-kemas dari tempat tidurnya. Ia mesti menyiapkan bahan dagangannya untuk pagi ini. Pelanggan kue Surabinya tentu tidak suka ia terlambat. Begitu pula jika malam, ia akan mempersiapkan semuanya dari siang hari dan sebelum maghrib api tungku Surabinya telah menyala dan siap untuk mencetak Surabi. Begitulah aktifitas sang pria setiap hari, walau kadang-kadang hujan atau kondisi badan membuatnya meliburkan diri.

Namanya pendek saja, Nanang. Setidaknya itulah yang saya tahu, walaupun sudah hampir satu tahun ini kami sering berbincang dan melewati hari-hari dirumah yang dijadikan kantor oleh kawan saya, Darisman sang photographer berbakat (bakat ku hayang bisa .. hahaa ..). Saya tidak pernah menanyakan nama panjangnya, entah kenapa saya tidak pernah terpikir. Pun hingga saat tulisan ini saya corat coret, saya belum terpikir saja untuk bertanya. Setidaknya dengan kalimat, “.. Nang, nama lengkap ente siapa sih?”.

Dia berasal dari Desa Pamulihan, Kecamatan Subang di wilayah yang masuk Kabupaten Kuningan, sebuah daerah timur Jawa Barat. Masih bujangan dan penuh semangat, setidaknya itulah yang membuat obrolan kami selalu akrab. Disamping itu mungkin juga karena kami sama-sama berasal dari desa, orang kampung yang bertemu di kota besar. Tetap ngobrol ala dusun .. hehee .. Rokoknya cap Djarum Super, motto hidupnya “kita jangan pusing sama orang lain, tapi biarkan saja orang lain pusing karena kita” dan “kalau cinta bertepuk sebelah tangan mending tidak usah aja”. Pendidikan terakhir tamat SMA (dengan hasil baik katanya, entah benar atau tidak hanya Tuhan, Kepala Sekolahnya dulu, dan Nanang saja yang tau).

Selain itu, ia menamatkan seluruh pendidikannya yang lain di daerah asalnya. Di Bandung Nanang tinggal bersama klan Kuningannya. Jadi berasa tinggal dikampung katanya, paling tidak itu membuat dia tidak selalu ingin mudik tiap bulan. Rata-rata keluarga dan kerabat Nanang yang tinggal di Bandung berprofesi menjual Surabi. Saya kurang tahu, apakah Surabi memang identik dengan Kuningan atau bukan. Seperti halnya makanan Tahu di Sumedang, Dodol di Garut, Manisan di Bogor atau Renginang di Tasikmalaya. Atau jangan-jangan Nanang cs hendak membuat trend baru dengan menciptakan image Surabi itu identik dengan Kuningan? Entahlah, sebab ‘konspirasi’ semacam itu mungkin bukan sesuatu yang harus diwaspadai.

Bercerita panjang lebar dengan kawan saya Nanang seperti memancing di sungai. Bukan di kolam buatan yang ikannya dilepaskan kemudian dipancing lagi sehingga membuat para pemancing tampak bodoh (buat apa beli ikan terus dilepas kemudian dipancing lagi, aneh sekali). Kalau ini mengalir saja dan kita tidak tahu ada ikan apa didalam sungai hari itu. Mungkin hari ini airnya sedikit keruh karena semalam hujan, namun bisa juga bening tenang. Apalagi saat ia menceritakan tentang desanya yang konon menurutnya adalah desa terbaik di Indonesia. Sejuk segar dan air berlimpah ruah. Saya sepertinya sedang ‘diprovokasi dan diagitasi’ oleh Nanang agar terpengaruh untuk membenarkan segala ceritanya. Baiklah, untuk sementara saya percaya saja sebab ada kawan yang memang pernah kesana dan cukup betah.

Nanang adalah pemuda yang polos. Polos yang dimaksud disini bukan berarti ia suka bertelanjang dada bagaikan para Baywatch di pantai-pantai California sana, tapi karena ia selalu cenderung ceplas ceplos mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Komentar-komentarnyalah yang saya sebut dengan ikan didalam sungai. Tidak tahu seperti apa yang akan keluar. Salah satu yang cukup menarik adalah ketika ia bercerita pernah diajak ke Ciwidey oleh seorang tante. Ternyata tante itu juga mengajak temannya, berarti mereka akan pergi bertiga. Wow .. Nanang mau diajak nakal .. hahaa .. tapi dia menolak dengan alasan malas. Hebat juga hehee ..

Nanang berjualan Surabi di Jalan Moh. Ramdan. Jika anda datang dari arah Jalan Pungkur atau Universitas Langlang Buana di Jalan Karapitan menuju Patung Ikan dekat Tegalega, maka setelah lampu merah perempatan Srimahi dan Jalan Sawah Kurung disebelah kiri nanti ada tukang Surabi yang bersebelahan dengan tukang Sate Padang. Disitulah Nanang ‘beropreasi’. Didekat situ ada sebuah Stasiun Radio dangdut, Garuda FM. Diseberang Surabinya Nanang ada jual Pecel Lele. Saat ini Surabinya Nanang belum dipasangi papan nama, tapi ia sudah punya persiapan. Namanya adalah Surabi Haneut. Menawarkan menu Surabi yang diolah secara tradisional dengan memakai tungku pembakaran kayu dan alat cetak Surabi berbentuk keramik tanah liat. Betul-betul tradisional, termasuk Nanangnya juga bolehlah disebut ‘tradisional’.

Cita-cita Nanang saat ini tidaklah terlalu rumit. Ia hanya ingin Surabinya laku keras dan bisa membawa uang pulang ke kampung. Disamping itu kalau bisa membuka cabang lagi ditempat yang berbeda disekitar Kota Bandung. Dengan begitu maka ia akan menasbihkan dirinya sebagai Juragan Surabi yang pantas diperhitungkan di belantara kuliner Kota Bandung. Sungguh walau saya sebut tidak rumit tapi luar biasa, tentu ia banyak belajar dari dinamika romantika kota yang jalan-jalannya perlahan belajar macet ini.

Nanang .. saat ini bolehlah disebut sebagai salah satu simbol ‘perlawanan’ terhadap cita-cita. Disaat banyak pemuda bangsa bercita-cita menjadi dokter, politikus, pengusaha, pegawai negeri, musisi, dan banyak lagi yang begitu lekat dengan image orang hebat tapi Nanang lebih memilih untuk menjadi penjual Surabi tradisional saja. Menurut saya ini justru malah lebih hebat lagi, mencoba berada di sebuah lintasan dimana orang lain melihat itu bukan sebagai jalan yang harus dilalui. Two thumbs for Nanang!

“.. cita-cita adalah sesuatu yang membuat kita merasakan itu sebagai sebuah perjuangan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang melelahkan ..”, saat tulisan ini selesai saya corat coret dan saya posting, Nanang masih mendengkur dengan nyaman. Beberapa hari ini ia lebih memilih jualan malam saja sampai pukul 11.30 Waktu Indonesia Bagian Bandung. Untuk jualan pagi memang kondisional, sedangkan malam itu tetap. Nanang telah menjadi presiden bagi dirinya sendiri, luar biasa ..



Bandung, 8 Januari 2011







-------ooOoo-------

Tidak ada komentar: