CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Kamis, 18 Februari 2010

GENGGAM TANGAN DIDADA : Catatan Sebuah Pertanyaan

" Matahari Menyapa Lautan "
ilustrasi oleh: hasil browsing di google.com saja


MATAHARI DI TELAPAK TANGAN
(Samudera Membekap Dalam Dada)


- Sungguh.. saya tidak ingin matahari akan membakar jalan dan samudera akan menenggelamkan harapan. Saya ingin matahari memberi kehangatan lewat telapak tangan dengan genggaman yang penuh keakraban dan kasih sayang. Lalu samudera akan memberi kesejukan lewat debur ombaknya yang mengiringi angin berhembus di dalam hati dan perasaan sehingga setiap kata yang terlontar akan memberi ketenangan, semangat dan inspirasi yang baik .. –

MENJADI pecundang sungguh tidak enak. Butuh kesabaran tingkat tinggi untuk ‘melakoni bagian’ itu. Seperti halnya epos sebuah kemenangan, maka sejarah juga telah menulis kisah tentang mereka-mereka yang kalah. Paling tidak dari zaman peradaban manusia mengenal ‘pertikaian’ dan cita-cita, maka sejak itulah kalah menang menjadi kosakata manusia dalam kehidupan. Tutur temurun lewat lisan maupun tulisan telah mengisyaratkan berbagai versi eksistensi manusia. Masing-masing tentu menurut posisinya, apakah pemenang atau pecundang. Jalinan cerita yang terangkai menjadi catatan sejarah itu akan dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kebanggaan. Tak ada yang dibanggakan? Maka sejarahnya akan dibuat dengan berbagai ‘sentuhan’ subjektif sehingga terlihat manis. Paling tidak, nggak akan malu-maluin. Begitulah ..

Sejarah adalah subjektif, saya pikir semua orang akan bisa menerima pendapat itu. Objektifitas yang ada lebih kepada waktu, tempat, pelaku, dan rentetan peristiwanya. Namun pesan yang ditekankan pada intonasi suara atau pemilihan kata-kata dalam sejarah lisan tetaplah subjektif. Ini pun berlaku dalam sejarah tulisan, dimana penggunaan kalimat dipengaruhi oleh faktor sejarah itu versi siapa. Pencundang ataukah juaranya. Itulah sejarah dan saya tidak akan berbicara tentang sejarah secara teoritis ilmiah. Saya bukan ahli sejarah ataupun pengamat sejarah. Tapi satu hal yang saya tahu, bahwa tiap-tiap diri manusia adalah pelaku dan saksi dari sejarah hidupnya sendiri. Begitupun saya sendiri juga tentu adalah saksi dan pelaku dari perjalanan hidup saya sendiri, dimana saya menyebutnya sebagai kisah kemarin dan hari ini untuk masa depan.

Episode kali ini telah membimbing saya untuk membuka dan mencoba mengartikan sebuah makna kesabaran dan kesadaran terhadap diri saya. Tidak perlu menganalogikan sebagai orang lain, itu bisa menjadi gunjingan atau bahkan dapat dituduh fitnah (negative thinking mereka menyebutnya dan saya sungguh bingung jika itu adalah fakta..). Apa yang saya lakukan dan alami pada saat ini dan kemarin adalah catatan sejarah saya yang saya rangkai sendiri. Saya tidak malu menyebut ‘takluk’ jika saya kalah, sama seperti saya harus mengucap alhamdulillah jika saya keluar sebagai juara. Tapi tentu kata ‘mengalah’ itu tidak ingin saya lafadzkan, sebab sampai saat ini sejarah itu masih berjalan dan saya belum menyerah (sebelum titik perjuangan penghabisan). Saya masih berharap saya akan keluar sebagai pemenang dengan titel juara dan itu masih saya lakoni ‘pertempurannya’.

Banyak manusia mengalami sesuatu yang mirip de javu, dimana ia mengalami peristiwa yang sama dengan waktu dan tempat yang berbeda. Semua punya nilai masing-masing yang besar kecilnya tergantung dari seberapa jauh ia bisa mempengaruhi sisi-sisi kehidupan manusia itu secara pribadi. Terkadang saya harus banyak mengalah dan menerima apa saja yang ada. Walaupun terkadang rasa benar pada sisi humanis saya tanpa sadar membuat saya sedikit ‘melawan’, tapi kemudian saya akan ‘mengalah’ kembali. Keterbatasan kemampuan dan posisi membuat saya harus menuruti alur yang ada. Disini ujian kesabaran menjadi sesuatu yang harus dipertaruhkan. Saya tidak bisa menolak, kesadaran saya mengatakan inilah bagian saya. Keinginan untuk bisa protes tentulah ada dan saya berharap ada masa dimana protes saya itu bisa diterima dan dapat dianggap sebagai sebuah pertanyaan wajar yang akhirnya mendapatkan ‘jawaban’ semestiya. Bukan cuma saya sendiri, semua orang juga pasti menginginkan hal yang sama. Sesuatu yang lumrah dan manusiawi.

Jika ingin menjadi manusia bijak maka posisikanlah diri kita dalam posisi orang lain. Sebuah filosofi hidup yang sederhana dan kalimat itu saya percaya betul bisa membuat kita bisa mengerti dan memahami orang lain, sebab suatu saat nanti kita pun bisa mengalami hal yang sama. Pastinya kita berharap pada saat itu orang lain akan bisa juga mengerti kita. Tapi ternyata tidak sesederhana itu, karena ternyata tidak semua orang bisa seperti itu. Keegoisan terkadang ternyata telah membuat orang hanya menempatkan dirinya sendiri sebagai individu yang keras. Mungkin itulah salah satu seninya manusia, positive thinking saya mengatakan seperti itu.

Yah.. memang beginilah saya, mau gimana lagi..?!”, kalimat itu menjadi sering saya dengar. Entah apakah kalimat itu akan tetap dipakai jika posisi manusia itu berada dalam posisi sebaliknya. Seorang guru SD saya dulu mengatakan bahwa, “manusia terbaik adalah mereka yang selalu belajar untuk memperbaiki dirinya..”. Jika begitu, kenapa begitu susah untuk merubah sesuatu yang memang disadari tidak (kurang) baik? Saya berpikir kalau kemudian kondisi ego itu tidaklah mutlak tetap, ia akan berubah tergantung posisinya. Apakah pemenang atau pecundang, apakah sebagai yang takluk atau juara.

Baiklah, semua manusia memang bisa menjadi apa saja. Semua karakter yang dimainkan itu adalah pilihan. Saya cuma bisa berharap diri saya bisa menerima semua itu sebagai sebuah catatan hidup yang membuat saya bisa mengerti setiap delik kehidupan dengan berbagai lika likunya. Sungguh.. saya tidak ingin matahari akan membakar jalan dan samudera akan menenggelamkan harapan. Saya ingin matahari memberi kehangatan lewat telapak tangan dengan genggaman yang penuh keakraban dan kasih sayang. Lalu samudera akan memberi kesejukan lewat debur ombaknya yang mengiringi angin berhembus di dalam hati dan perasaan sehingga setiap kata yang terlontar akan memberi ketenangan, semangat dan inspirasi yang baik. Jika itu terjadi, maka alangkah indahnya sejarah akan bisa ditulis sebagai sebuah cerita yang membanggakan dimasa depan yang indah.

Sederhana berbicara tentang perjalanan, seperti harapan semua orang maka saya juga ingin menjadi bagian yang bermakna dalam kisah yang (ter)baik. Saya menyadari bahwa saya dengan amat sadar telah meleburkan diri dalam cerita perjalanan hidup. Takdir telah mengirim saya hadir tapi bukanlah untuk menjadi duri, bara, ataupun gelombang yang mengganggu perjalanan. Jika seperti itu, bisakah kita membedakan telapak tangan dengan telapak kaki? Untuk menggenggam harapan dan tetap memijak bumi ..



*Sebuah persembahan kepada: matahari, bulan, bintang, angin, hujan, embun, gerimis, pagi, senja, malam, dan pelangi yang begitu saya sayangi ..




Bandung, 18 Pebruari 2010






-------ooOoo-------

Tidak ada komentar: