CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Senin, 15 Desember 2008

PUISI dan CATATAN : Ilustrasi Di Kaki Langit

" Perahu Di Lautan "
ilustrasi oleh : sendiri aja dikomputer seorang kawan yang baik


ILUSTRASI WAJAH


Sepenggalah mata dewa mengerling sejak gerimis terakhir pagi ini
Hinggap dilapisan ozon dan menguap sampai ke ubun – ubun langit
Lalu ada cerita pada daun – daun yang basah
Tentang wajah – wajah kita yang resah

Setengah raut dewi dalam tengadah malam membuka tirai
Merayu lapisan ozon agar tetes – tetes embun tidak terlambat subuh nanti
Lalu ada harap pada ilalang – ilalang yang menggigil
Tentang wajah – wajah kita di ujung doa,

Jatinangor, 9 Desember 2008



MENCARI KAKI LANGIT


Ramadhan 1429 H atau dalam angka masehi terbilang tahun 2008 jatuh pada bulan September. Sebuah ide cemerlang terlontar dari seorang kawan, “Kita adain buka bareng yuk..”. Buka bareng adalah istilah untuk berbuka puasa bersama. Yaph.. ide yang bagus. Sudah lama pula tidak berkumpul dengan kawan-kawan dari ‘masa lalu’. Cerdas juga inisiatif yang terlontar sebagai media untuk mengeratkan tali kekerabatan (mudah-mudahan) sampai ke masa depan.

Layaknya mengadakan sebuah acara bertema September Ceria saja maka rencana pun disusun. Sebar informasi hingga disepakati waktu dan tempat. Seperti yang saya duga sebelumnya. Kehangatan pun tumpah dalam rendevous kali ini. Kesederhanaan hidangan berbuka dan absennya beberapa kawan ternyata tidak mengurangi nuansa yang terbentuk. Seperti dulu, selalu mengalir dan renyah.

Dari banyak obrolan yang tumpah. Ada beberapa tetes sepertinya menarik untuk dihangatkan menjadi ‘segelas kopi atau secangkir teh’. Saya iseng-iseng menyebutnya pencarian kaki langit. Sebenarnya bukan berupa obrolan, namun lebih kepada beberapa pertanyaan yang tersirat (paling tidak untuk diri saya sendiri). Salah satunya adalah kapan kepompong-kepompong ini akan menjadi kupu-kupu dewasa? Kuat terbang dan mengalahkan sayap-sayap camar.

Menikmati senja dipinggir pantai saya pikir anda pernah mengalaminya (kecuali anda adalah seorang warga pegunungan yang tidak mempunyai waktu luang sama sekali seumur hidup untuk duduk-duduk dipasir pantai). Harus diakui pada umumnya disini otak manusia cenderung terjebak di warna siluet jingga cakrawala dan debur ombak sore semata. Batas langit ditengah samudera adalah batas pandang semu yang kita artikan hanya realita sebuah batas yang selesai sampai disitu saja.

Baiklah.. Coba kita bertanya kepada nelayan tua yang sedang memeprbaiki sampan, ”Apakah sepanjang umur mencumbu lautan, pernahkah mencapai garis batas yang ditengah itu?”. Seorang kawan saya yang pernah bekerja di jermal atau bagan ikan (tanpa merasa tereksploitasi sebagai pekerja dibawah umur) dan sering ikut melaut bercerita, bahwa ia tidak pernah menemukan batas laut. Garis yang terlihat sebenarnya adalah jalan untuk terus berlayar dan akhirnya akan sampai kembali kepada pantai diseberang sana. Semakin kita dekati ia akan semakin menjauh.

Okeh.. kita bikin perahu..!”, seorang kawan melontarkan ide segar. Tentu saya pribadi sepakat. Seorang kawan lainnya juga pernah memberikan saya ‘wejangan’ bahwa pelaut tangguh itu lahir ditengah lautan dan bukan didalam kelas. Bahwa untuk menjadi pelaut handal kita perlu untuk mengakrabi gelombang dan badai. Bukan bermanja-manja dengan ria-riak kecil ditepian. Sip.. Disepakati hingga akhirnya perahu tercipta dan semua kawan akan bisa berlayar bersama didalamnya.

Saya memastikan semua penumpang nanti pasti bercita-cita ingin mencapai garis batas langit yang indah itu. Dimana matahari yang hangat ada disana dan bintang-bintang dimalam hari akan terlihat sangat rendah hingga sepertinya gampang untuk kita raih. Namun ditengah debur ombak yang mulai memapas dinding sampan saya berpikir, “Kapankah kita akan berusaha mendekati kaki langit itu? Didalam perahu ini kita seperti tidak pernah mendayung dan layar pun tidak pernah kita naikkan.. Saya merasa perahu ini tidak pernah menjauh dari pantai..”.

Ah.. jangan-jangan kita sudah merasa bahwa tanpa berlayarpun sebenarnya kita sudah berada di batas kaki langit yang indah itu. Sebab, bukankah ujungnya tetap merupakan sebuah pantai? Kalau iya.. kenapa juga kita harus membuat sebuah perahu?

Ketika mencoret catatan ini saya dihibur oleh Bunga Seroja-nya Amigos, Genjer-Genjer lewat suara klasik Lilis Suryani, Ebiet G. Ade, Kla Project, dan Arwana. Tidak lupa (seperti biasa) segelas kopi hitam dan beberapa batang rokok sebagai 'kawan'. Memang tidak nyambung pula saat ingatan saya malah melayang pada kisah Nabi Nuh yang membuat bahtera ditengah gurun.


Jatinangor, 10 Desember 2008
Pukul 02:19 menjelang subuh



*Terima kasih kepada Bung Hari aka. Qtink atas wejangannya pada malam itu di Jalan Burangrang..



-----------00000000----------

Tidak ada komentar: