CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Minggu, 07 Desember 2008

YANG DIBUAT YANG DIDAPAT (Menabur Angin Menuai Badai)


" SAWAH "
ilustrasi oleh : (dari) komputer seorang kawan yang baik




MENABUR BENIH


Dalam sebuah istilah dikalangan para petani, maka anda yang bukan petani pun biasanya sudah mahfum mengenai apa yang disebut dengan menabur benih. Sebenarnya istilah ini juga bernama menyemai. Ketika biji-biji gabah (sebagai benih) sudah bertunas maka kemudian ia akan disemaikan dalam bentuk jumputan-jumputan kecil tunas padi. Ini nanti akan tumbuh besar dan berbuah padi yang saat masanya tiba akan dipanen. Saya termasuk anak yang senang sekali melihat tunas-tunas padi yang sudah diikat dan siap untuk disebar ditengah sawah, dulu dikampung ketika saya masih kecil. Agak susah pula saya mendeskripsikan suasana kesibukan petani saat itu, jika anda memang orang kota yang seumur hidup sama sekali belum pernah jalan-jalan kedesa pada musim tanam padi tiba.

Berkeliaran sedikit diluar dunia petani, maka istilah menabur benih pun akan mempunyai berbagai macam pasangan makna. Sepasang pengantin baru akan menabur benih dari malam pertama pengantinannya sampai si istri mengalami mual-mual tanda ia sudah ngidam. Itu menabur benih dalam pengertian genetika untuk mendapatkan keturunan. Walaupun ada juga yang menabur benih tapi tidak ingin mendapatkan anak. Maka mereka akan memakai kondom atau alat kontrasepsi lainnya. Kalau ada ‘kesalahan’, maka siap-siaplah untuk beberapa jalan keluar. Beberapa diantaranya yaitu menikahi pasangan anda, menggugurkan kandungan atau anda kabur dari tanggung jawab. Maaf.. untuk dua solusi terakhir amat sangat tidak saya sarankan. Walaupun anda akan tetap melakukan dua solusi terakhir itu, maka jangan salah; anda akan tetap menuai hasilnya pula. Suatu saat nanti.

Saya rasa, kalimat bijak yang sering dilupakan orang adalah “Setiap orang akan mendapatkan hasil sesuai benih yang ia tebar”. Guru pelajaran Bahasa Indonesia saya dulu waktu SMP pernah memberitahu saya tentang peribahasa “Siapa menabur angin, maka ia akan menuai badai..”. Dulu saya langsung merinding. Ngeri, badai kok dituai. Ngapain juga.. hehehe.. Tapi saat ini saya kembali berpikir tentang peribahasa itu.

Beberapa kawan yang saya kenal baik telah terancam di DO (drop out) oleh pihak fakultas tempat mereka kuliah. Sebagian lainnya akhirnya dipindahkan keprogram lain agar mereka bisa menyelesaikan mata kuliahnya yang masih tersisa lumayan banyak. Sebab diprogram sebelumnya mereka sudah kehabisan jatah waktu maksimal untuk masa tempuh studi. Kuliah selama 14 semester alias 7 tahun dengan sukses mereka lewati tapi tak sanggup mereka akhiri dengan sebuah wisuda yang membanggakan. Konsekuensi? Ya itu tadi.. alih program.

Membaca koran Pikiran Rakyat Bandung untuk edisi musim haji ini, kita bisa melihat cerita-cerita tentang orang yang menabur benih. Bukan hanya kisah mengagumkan akan sebuah perjalanan yang mabrur. Namun ada juga kisah mengenai orang-orang yang menuai hasil kurang baik di Tanah Suci. Menurut alkisah, apapun yang dilakukan dulu akan ‘diperlihatkan kembali’ di Tanah Suci. Anda mungkin sudah mengerti itu. Maaf.. agak njelimet juga jika saya ceritakan kembali disini. Jadi saya sarankan saja anda membaca koran itu selama musim haji ini.

Pada dasarnya, segala sesuatu yang kita lakukan (setiap hari) adalah proses kita menabur benih. Hari ini anda bekerja maka nanti akan menerima hasil berupa upah atau gaji. Kalau anda tidak menerima gaji maka orang atau perusahaan yang tidak memberi anda gaji itu nanti akan menuai ‘upah’ juga dari perbuatannya ‘menganiaya’ anda dengan tidak memberikan anda upah bekerja. Baiklah sederhana saja; kita melakukan suatu kebaikan maka nanti hasil yang kita dapat adalah baik. Kita membuat suatu keburukan maka tentu saja poin yang didapat akan buruk. Sebuah proses yang adil.

Ibu saya adalah salah seorang di dunia ini yang sangat tidak suka menggunjing dan menyalahkan orang lain. Walaupun si orang tersebut sudah benar-benar salah. Seorang pejabat yang sudah jelas-jelas lalim sekali pun. Beliau selalu berkata, “Biar sajalah. Kita jangan terlalu menyalahkan dan menghujat. Kalau kita seperti itu maka nanti suatu saat kita juga akan dihujat..”.

Saya terkadang tidak sependapat dengan beliau. Si pejabat itu memang sudah seharusnya dihujat. Kita tidak sedang menabur benih untuk suatu saat nanti kita akan menuai hujatan juga. Tapi kita sedang ‘memberikan’ hasil dari apa yang pernah diperbuat oleh si pejabat itu selama ia berkuasa. Dengan kalimat lain, si pejabat itu sedang menuai hasil dari apa yang pernah ia tabur dulu. Ya salah satunya lewat hujatan dan ‘hukuman’ yang sekarang kita berikan sebagai sebuah hukuman sosial (biarpun ia bisa lolos dari hukum negara). Sesuatu yang lumrah bukan? Toh tidak ada yang pernah menyuruh ia berkuasa. Dia sendiri yang mau. Selama ia menjadi penguasa pun kita yang menggajinya lewat pajak dan hasil kekayaan negeri ini. Tapi biarpun anda setuju dengan argumen saya itu, ibu saya tidak akan pernah sepakat. Beliau lebih suka selalu ber-positive thinking. Tidak apa-apa, biarlah.. namanya juga orang tua dan tinggal dikampung. Biasanya selalu seperti itu.

Terlepas dari seluruh catatan diatas, pada intinya manusia memang akan menuai apa yang selalu dikerjakannya. Apapun dan siapapun itu. Saya menemukan sebuah ungkapan; “Tidak ada pekerjaan yang tidak akan digaji”. Semua akan mendapatkan hasil dari apa yang dilakukannya. Anda? Akan mendapatkan juga tentunya. Apapun bentuknya..



Pondok Nadin – Jatinangor, 2 Desember 2008




-----------00000000----------

Tidak ada komentar: