CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Selasa, 29 Januari 2008

tentang seorang kawan

Pondok Nadin – Jatinangor, 12 Mei 2007 : Pkl. 08.00 malam

Macan Kampus

*Oleh: G. Sulye Jati

Bung, kampus kita ini penuh sesak sepertinya bukan cuma karena terlalu banyak Mahasiswa Baru yang masuk atau gedung kuliah yang sedikit. Tapi juga karena mahasiswa lamanaya nggak lulus-lulus.. kecenderungan mereka untuk lebih senang memainkan gaya sepak bola Italia juga menjadi penyebab yang mesti dianalisis dan dikaji lebih dalam lagi.. ini sebuah studi kasus yang menarik juga, Bung!

(ini adalah sebuah ucapan saya dulu kepada kawan SF, seorang K1C99, yang mungkin dengan ‘guarauan’ saya itu telah memacu adrenalinnya lebih radikal lagi. Sehingga tak lama kemudian saya mengetahui jika kawan SF telah berhasil ‘membebaskan’ dirinya dari apa yang disebutnya ‘pembodohan’ tersistem dalam dunia pendidikan Indonesia. Sekaligus juga telah membantu orang tuanya dari pengeluaran berkepanjangan. Seremonialnya? Tentu saja sebuah ‘pesta perpisahan’ di Graha Sanusi ..).

Semua orang di dunia ini punya hak preogratif untuk menamakan apapun yang dia temukan pertama kali. Sebab, orang tersebut telah menjadi seorang penemu. Jika anda secara tidak sengaja telah berhasil membuat masakan dengan bumbu yang anda karang-karang sendiri (dan takdir menentukan rasa masakan itu enak), maka anda berhak untuk menamakan resep masakan penemuan anda itu dengan sesuka hati. Jika anda punya anak kandung, maka anda pun berhak untuk memberi nama anak kandung anda itu sesuai selera anda (kecuali anda sedang tidak punya ide yang di rasa cemerlang, kemudian anda melimpahkan hak ‘pelabelan’ anak anda kepada tetangga. Itu sih masalah anda.. Bung!!). Peduli apa kata orang, toh itu adalah ‘hasil’ karya anda sendiri kan?! Begitu juga dengan judul sebuah tulisan. Apapun isi tulisan anda, kasih saja judul sesuai keinginan anda. Mudah saja bukan?! Tapi sudahlah, bicara tentang nama hanya akan membuat saya pusing, sebab ada sesuatu yang akhir-akhir ini agak mengganggu pikiran saya..

Begini ... Ini berkaitan dengan salah seorang kawan terdekat saya. Entah kenapa dengan diri kerabat karib saya ini, seorang D3 Fikom Unpad angkatan 2003 (tentu tidak baik bagi saya menyebut nama, karena khawatir nanti saya malah menjadi terlalu jujur untuk terus saja menceritakan banyak hal tentang karib saya ini..), tanpa sebab yang jelas menurut observasi saya, selalu saja ia tiba-tiba menjadi sangat bersemangat setiap kali dirinya berada di awal semester perkuliahan. ‘Jargon – jargon’ yang ‘dikumandangkannya’ (dengan gaya seorang danlap Tatib Ospek Fikom) pun hampir selalu seperti itu-itu saja di tiap awal semester.

“.. Anjir, gue sekarang mesti rajin kuliah. IPK gue jeblok nih.. Pokoknya sekarang gue mau bener-bener kuliah. Berapa SKS sih maksimal yang boleh diambil??? Ntar sisanya gue SP-in aja..!!“. Karib saya ini sepertinya punya sebuah ‘ritual’ yang terjadwal dalam hal mengontrol jumlah IPK-nya hanya pada tiap awal semester.

Pun kalau tidak khilaf, saya selalu mendengar rentetan kalimat dengan struktur seperti itu ia ucapkan sudah dari semester tiga dulu. Sampai sekarang (tahun 2007) karib saya ini sudah berada di semester delapan dan beberapa bulan lagi sudah masuk pula dia di semester sembilan. Hingga detik ini pun, alhasil IPK-nya masih tetap saja seperti pertama kali dia mengucapkan kalimat-kalimat itu pada tahun 2004. Malah ada kecenderungan akan mengalami penurunan. Dan sepertinya, di awal semester sembilan ini dia kembali akan mengucapkan kalimat-kalimat ‘sucinya’ itu. Melihat fakta IPK yang turun, maka ada prediksi ia akan menambahkan sedikit kalimatnya dengan “biar gue lulusnya lebih cepet lagi, gue udah kagak enak nih sama nyokap gue..”. Mengenai prediksi itu saya sudah mulai ‘mengendus’ signal-signal-nya yang hanya saya sendiri yang bisa merasakan. Untuk itu saya pun sudah mempersiapkan diri untuk mendengar ia mengucapkan sumpah palapa yang telah disempurnakannya itu (yang pasti penyempurnaannya bukan dengan kalimat syahadat), dengan penuh takzim tentunya.

Ada yang menarik, biasanya ciri-ciri karib saya ini akan melakukan pelanggaran terhadap janjinya sudah bisa dideteksi tidak begitu lama dari ia ‘mengumandangkan’ kalimat-kalimat ‘progresif-nya’. Khas yang begitu terlihat adalah ketika masa perwalian sudah dimulai. Ada kemungkinan ia telah mempropaganda dirinya sendiri dengan berkeyakinan bahwa dosen walinya itu sama dengan wali songo atau wali nikah. Tapi, untuk yang terakhir ini saya tidak begitu yakin, sebab karib saya ini sama sekali belum pernah menikah. Jadi besar kemungkinan ia tidak akan menyamakan dosen wali dengan wali nikah. Kalau disamakan dengan wali songo mungkin sekali terjadi. Soalnya karib saya ini pernah juga bersekolah di sekolah agama semacam Al-Azhar dengan prestasi yang pas-pasan saja. Namun, paling tidak ia jadi tahu bahwa wali songo itu adalah orang-orang baik yang selalu mencari dan menunggu orang-orang yang akan didakwahinya serta mengajarkan ilmunya dengan cukup sabar.

Salah satu aktifitas karib saya ini yang paling juara (meminjam istilahnya Bung KM, seorang K0C03, kawan saya juga di Fikom Unpad) adalah begadang. Meskipun ia juga punya kebiasaan lain, seperti nongkrong seharian di kantin Fikom Unpad dengan gelagat ‘seolah-olah’ sedang menunggu jam masuk kuliah atau menunggu dosen untuk perwalian. Juga kadang-kadang ia terlihat ‘seperti’ sedang menunggu sebuah inspirasi (yang mungkin harus ia cerna baik-baik) tentang bagaimana cara untuk menyelesaikan sebuah tugas mata kuliah yang begitu berat dan harus dikumpulkan besok pagi. Namun, dibandingkan dengan tradisi ‘menunggu jam kuliah’ di kantin, maka kebiasaan begadang inilah yang (sekali lagi) paling juara. Ini sebenarnya secara tidak langsung berkaitan pula dengan pola aktifitasnya yang sering sekali tidur di mulai pukul 07.00 atau 08.00 malam.

Pola tidur (yang katanya ia dapatkan dari sebuah artikel yang membahas masalah-masalah kesehatan di sebuah koran lokal, tapi saya malah menduga ia mendapatkan ‘resep’ cara tidur yang ‘sehat’ itu dari koran Lampu Merah..) seperti itu telah membuat karib saya ini selalu terbangun sekitar pukul 00.00 atau 01.00 tengah malam. Biasanya ia akan terbangun karena lapar (ketika tidur tadi ia belum sempat makan malam). Dari sanalah kemudian proses segala macam kekacauan tentang rencana ia besok untuk perwalian atau pun kuliah menjadi berantakan. Bisa dipastikan karib saya ini akan mulai ngantuk lagi pada pukul 05.00 – 06.00 pagi. Gogoleran sedikit, lalu ia akan terlelap kembali dengan sangat nyaman. Bisa dimaklumi kalau ‘beliau’ kemudian akan terbangun lagi (untuk kedua kalinya) sekitar pukul 11.00 atau pada waktu dzuhur. Walhasil, jadilah ia tidak akan pernah melakukan pewalian, kuliah, mengumpulkan tugas, mencatat jadwal ataupun melaksanakan semua rencananya tentang kuliah yang baik dan benar dalam rangka memperbaiki IPK sehingga cepat lulus sesuai dengan statement-nya di awal semester.

Sebagai seorang ‘kerabat dekat’ yang ingin membantu, tentu tidak solider jika saya hanya bisa berdiam diri saja melihat karib saya ‘menindas’ dirinya sendiri. Beberapa tindakan yang bagi saya cukup radikal dan progresif pernah juga saya lakukan untuk membantu karib saya ini (sampai sempat terpikir untuk meminta bantuan kepada kawan-kawan dari FPI atau organisasi-organisasi yang punya kebiasaan ‘membantu’ sesamanya dengan aturan kekerasan, seperti kawan-kawan dari kampus tetangga). Untuk mengurangi kebiasaannya begadang, hal yang pernah saya coba adalah sesering mungkin memutarkan lagunya Bang Raden Haji Oma Irama -yang berjudul ‘BEGADANG’- di komputer karib saya ini.

Tapi, sepertinya butuh waktu yang cukup lama (mungkin lebih dari tiga semester) untuk propaganda Bang Raden Haji Oma Irama itu bisa di cerna dengan baik oleh karib saya ini. Walaupun saya tahu kalau ia tidak begitu suka dengan jenis lagunya Bang Raden Haji Oma Irama. Awalnya saya amat berharap, karena paling tidak Bang Raden Oma Irama kan sudah bergelar Haji. Jadi, paling tidak lewat lagu-lagunya, karib saya akan bisa juga mendapatkan sedikit karomahnya (saya agak sedikit mengingat kebiasaan orang-orang di kampung saya yang menganggap seorang haji itu bisa jadi keramat karena pernah pergi ke Mekkah).

Selain itu, untuk mengganti jenis lagu dengan tema yang sama serta penyanyinya adalah orang yang punya karomah juga, agak sulit bagi saya. Lagu-lagu berbahasa inggris atau seperti lagu grup band Samson dan Letto (yang saat ini sedang begitu digandrungi oleh sebagian besar anak muda Indonesia) tidak ada yang bertemakan nasihat yang baik seperti lagu BEGADANG-nya Bang Raden Haji Oma Irama. Apalagi dengan ditambah pertanyaan, apakah penyanyi-penyanyi itu juga sudah bergelar haji seperti Bang RH. Oma Irama?? Saya malah tambah pesimis. Pisan malah..

Ah.. jika lewat lagunya Bang RH. Oma Irama harus menunggu tiga semester, tentu tidak baik buat karib saya ini. Sebab pertanyaan yang utama adalah ia jadinya akan lulus kapan? Kalau untuk sadar saja harus butuh waktu satu setengah tahun dari tahun pertama ia bisa meresapi suara emasnya Bang RH. Oma Irama? Kapan ia akan bisa menjiwainya? Apakah ia harus kuliah di program D III itu selama 14 semester atau 16 semester? Mahasiswa S1 saja mungkin menganggap itu waktu yang lama untuk menjadi seorang sarjana. Kasus karib saya ini jadi terasa lebih berat daripada saya harus membuat tiga buah Laporan Tugas Akhir sekalipun. Malah mungkin bagi kawan-kawan S1 akan lebih senang jika dimintai tolong untuk membuat Skripsi dengan Dosen Pembimbing seorang dosen paling killer dikampusnya. Sangat menarik dan luar biasa..

Seorang bijak pernah berkata, “Sampaikanlah sesuatu itu dengan kata – kata yang lembut dan dengan cara yang baik..“. Terinspirasi dari hal tersebut, maka dengan begitu bersemangat saya sering mengingatkan ia tentang ‘program-programnya’ untuk memperbaiki nasib akademiknya. Hal yang menarik adalah karib saya ini akan begitu takzim dan terlihat lebih takzim dari waktu saya mendengar sumpah palapanya itu (biasanya juga ia akan mengangguk-angguk seperti seorang mahasiswa kedokteran yang akan lulus Cumlaude, seakan-akan mengerti dan seolah-olah saat itu juga ia akan melaksanakan segala ‘proyek’ besarnya itu), saat ia mendengar pertanyaan ataupun penyataan saya yang sangat standar.

Udah perwalian belum?”. saya basa-basi sedikit untuk memancing reaksinya. “Buruan, ntar malah telat lo bisa dikurangi SKS-nya. Orang-orang lagi pada perwalian tuh, terus lo kalau bisa langsung catat jadwal kuliah. Biar enak nanti ngebagi waktunya. Apalagi lo kan ngulang semua..!“. Pada beberapa kesempatan juga sering saya mengingatkan karib saya ini dengan sebuah realita, “ kawan-kawan kita udah pada lulus tuh. Kalau lo kagak memacu diri kapan lagi lo bisa beres?! Sayang sama waktu.. Junior angkatan kita udah terlalu banyak..!“.

Sering sekali saya mendengar istilah ‘macan kampus’ untuk menyebut seorang mahasiswa yang begitu betah bertahun-tahun dikampusnya tanpa berbuat apapun. Sampai mungkin si mahasiswa tersebut sudah mulai lupa, juniornya sekarang sudah berapa angkatan. Tapi tolong, karib saya ini bukan macan, singa, harimau, ataupun segala isi rimba raya sekalipun. Ia adalah seorang manusia, sama seperti saya juga dan kawan-kawan yang lain. Saya juga tidak akan terima begitu saja kalau ada yang mengatakan dengan serius bahwa para ‘macan kampus’ itu punya kemungkinan ia adalah keturunan macan beneran. Wah.. kalau itu mungkin saya sendiri yang akan membawa kasus ini ke pengadilan sebagai sebuah laporan fitnah dan penghinaan yang amat susah untuk dimaafkan. Cuma untuk karib saya ini, masalahnya bukan karena ia mendapat gelar macan kampus atau tidak. Tapi, dengan berlama-lama di kampus tanpa kuliah yang benar tentu tidak bagus buat dia. Paling tidak ia harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, disamping juga kepada keluarganya yang telah mengeluarkan budget begitu banyak untuk biaya selama ia menjadi mahasiswa.

Sebuah obrolan dengan seorang kawan yang akhir-akhir ini sedang mendalami masalah-masalah agama dan filsafat (yang membuat saya amat sangat terkagum-kagum melihat kepandaian dan kefasihannya berbicara, membuat saya berpikir jangan-jangan kawan yang pandai ini telah pula bergelar haji dan juga mendapat karomah seperti Bang RH. Oma Irama atau para haji dikampung saya..? Untuk perihal ini nanti saja kita telaah lebih jauh lagi, sekarang yang lebih penting adalah nasib akademis karib saya dulu..) telah membangkitkan sebuah optimisme dalam diri saya. Bahwa karib saya itu akan bisa juga merampungkan segala ‘proyek’ akademisnya secara benar dan baik melalui sebuah niat serta usaha yang muncul dari dirinya sendiri. Kawan yang pandai dan fasih itu menyebut sesuatu bernama ‘MUKJIZAT dan HIDAYAH…’!!

Para penerima mukjizat itu adalah mereka yang ditunjuk sebagai Nabi oleh Tuhan. Karib saya bukan nabi, ia adalah manusia biasa. Jadi peluang yang ada adalah ia bisa mendapatkan hidayah..!! “..Hidayah itu bisa datang kepada siapa saja tanpa perduli apakah ia seorang nabi, mahasiswa, tukang bakso, presiden, rektor ataupun seorang dosen wali sekalipun.. Bung harus tahu itu!”, sangat cermat kawan yang pandai itu menjelaskan.

Sama sekali tidak terpikir oleh saya untuk berharap jika yang mendapat hidayah itu adalah dosen walinya karib saya ini (ini adalah pikiran yang sangat kurang ajar). Bukan cuma karena dosen walinya karib saya ini berjenis kelamin wanita, tapi juga lebih kepada etika antara mahasiswa dengan dosen. Apa kata dunia pendidikan Indonesia nantinya, jika seorang dosen wali sampai mencari-cari mahasiswanya kekostan hanya untuk melakukan tanda tangan KRS?! Ini amat sangat kurang ajar dan bukan contoh yang baik, bukan?! Bergidik saya membayangkan karib saya ini akan di demo oleh seluruh mahasiswa Fikom, bahkan mungkin se-Unpad atau mahasiswa se-Indonesia yang begitu ‘revolusioner’, hanya karena hal tersebut. Saya bisa memastikan bahwa para mahasiswa yang mendemo karib saya ini akan menolak mentah-mentah argumentasi bahwa hal tersebut terjadi karena dosen walinya karib saya ini telah menerima hidayah, sehingga ia menjadi kelewat baik. Ah.. pening kepala saya…!!!

Sungguh, saya hanya berharap karib saya ini sajalah yang mendapatkan hidayah seperti yang disebutkan oleh kawan yang pandai itu. Hampir melompat saya kegirangan membayangkan jika karib saya akan benar-benar mendapatkan hidayah itu. Tapi, kapan??? Menurut kawan yang pandai itu, hidayah tidak bisa diprediksi kedatangannya. Bisa kapan saja, mungkin besok dan mungkin juga 10 tahun lagi atau malah 30 tahun yang akan datang.

.. itu adalah rahasia Tuhan dan tidak seorang pun manusia yang bisa tahu.. manusia bisa dapat dan bisa juga tidak!“, kata kawan yang pandai dan fasih itu menambahkan. Ini hal yang sulit lagi buat saya mencerna. Masalahnya adalah kita kemudian menunggu takdir. Tidak bisa diprediksi, walaupun menggunakan teknologi yang canggih sekalipun. Hidayah tetap hidayah.. Ini bertolak belakang dengan jadwal UAS, waktu awal perkuliahan, jadwal registrasi dan lain sebagainya yang begitu mudah untuk diprediksi waktunya. Anda tinggal ke SBA saja dan semua teka-teki itu akan terjawab sudah dengan mulus.

Ah.. yang membuat saya bingung adalah bagaimana jika hidayah itu tidak pernah datang kepada karib saya ini? Sebab saat tulisan ini hampir selesai saya buat dan waktu malam ini telah berada di pukul 11.02, karib saya sedang melakukan ‘ritualnya’; yakni tertidur pulas persis dibelakang saya. Satu atau dua jam lagi dia sepertinya akan terbangun karena lapar dan biasanya ia akan mengirim sebuah instruksi lewat SMS ke warung BKI agar segera ‘diluncurkan’ semangkuk indomie rebus pake telor dan cengek.

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina dan belajar itu sampai ke liang lahat (red: sampai modar). Saya sepakat dengan peribahasa itu. Tapi, pihak fakultas sepertinya tidak akan pernah setuju jika ada mahasiswanya yang terus bertahan kuliah sampai tua jompo dan akhirnya mati di ruang kelas dengan IPK dibawah standar. Sambil merokok, bengong saya berandai-andai.. jika saja Tuhan bisa diajak bernegosiasi dan kemudian berkoalisi seperti kebiasaan saya dengan kawan-kawan di kampus. Mungkin Ia akan bersedia untuk membangunkan karib saya sekarang dengan sebuah hidayah, hingga akhirnya saya akan mendengar ‘sumpah’ karib saya pada awal semester sembilan ini sebagai ‘sumpah palapanya’ yang terakhir. Terserahlah, apakah sumpah itu kemudian akan lebih disempurnakan atau tidak dan cara pengucapan sumpahnya apakah akan lebih dramatis lagi dengan gaya deklamasi yang dikolaborasikan dengan gaya komandan perang Irak. Atau dengan benar-benar seperti style Patih Gajah Mada pada perang Bubat. Terserah, untuk hal itu saya tidak peduli.. Yang penting ia bisa merubah kehidupan akademisnya menjadi lebih baik. Cukup itu saja dulu..!!

Ah.. jika saja.. atau ada kawan lain yang mau membantu?? Jika ada, maka akan saya tunggu kawan itu di gerbang Unpad. Jam berapa saja ayolah (tapi kalau bisa pukul setengah sembilan malam saja biar suasana bisa lebih tenang sedikit), kita ngobrol-ngobrol saja dulu untuk membuat kesepakatan. Nanti masalah kopi dan rokok biar saya sajalah yang tanggung.. Sungguh, tolonglah Bung.. Ini serius, demi nasib kehidupan akademis karib saya itu!!!

*Sang Petarung Kehidupan

Tidak ada komentar: