Buat: Mahasiswa Baru
Di depan gerbang ia berdiri berjejal-jejal
Bercelana abu lusuh sepatu buta warna
Tiga tahun tak pernah ganti-ganti
Ah.. mari mengaso sejenak
Perjalanan dari pelosok-pelosok berdatangan
Bergerak menuju gedung-gedung pengharapan
Sabda para ‘Nabi’; diharamkan cita-cita dibuang kepemakaman
Dalam tas lusuh segepok duit lusuh
Tabungan emak selama tiga setengah tahun
Recehan yang kini menangis
Ditertawakan daftar biaya registrasi
Dalam ruangan berderet meja seperti singgasana para hakim
Ada bisik-bisik tangan dibawah SK Rektor
Dengan bahasa ‘asing’ yang kadang susah dimengerti
Ia lalu mengangguk-angguk sambil mengingat emak
Senja pun turun perlahan
Besok batas akhir daftar ulang
Dan malam ini
Orang miskin dilarang bermimpi,
Universitas Padjadjaran, Agustus 2004
MULUT
Di mulut kanak-kanak
Kata-kata seperti tanpa makn
Di mulut para remaja
Kata-kata hanyalah rayuan saja
Di mulut orang tua
Kata-kata adalah petuah
Di mulut guru
Kata-kata adalah pelajaran
Di mulut para raja
Kata-kata adalah sabda
yang terdengar seperti firman tuhan
(dengan huruf t kecil saja)
Dan di mulut ‘kita’
Kata-kata adalah ‘kitab suci’
Sebatang pena yang menjelma sebilah pedang,
Jatinangor, Juli 2004
EKSEKUSI (Aku dan Kau)
Sekarang ayo kita dengarkan
Mana yang lebih gelisah
Degup-degup jantung dan detak jam
Adakah arti yang sama?
Berbaris menunggu instruksi
Sebuah drama tentang keberhasilan
Tentang mimpi-mimpi masa depan
Sekaligus menghibur ibu dirumah
Tanpa beliau pernah tahu jika anaknya
Semalam masih repot mencari pinjaman
sepatu, dasi, dan jas
Dan pagi-pagi terlihat klimis dan wangi
dengan parfum tebengan
Aduhai… IPK kita berapa?
Berapa jumlah sarjana Indonesia tahun ini?
Sekarang ayo kita dengarkan
Mana yang lebih bergairah
Ketukan palu atau suara mesiu
Adakah arti yang sama?
Diseluruh dunia
Picu-picu diciptakan untuk ditarik
Seperti itulah potret kita (aku dan kau)
Berlomba menuju pelatuk,
Jatinangor, Mei 2007
PELUKIS ASA (1)
Buat: neng Ayu..
Aku tengah melukismu lewat jemari angin
Yang mencoreti langit dengan kuasnya yang basah
Kebahagiaan ini kemudian menancap bagai akar-akar aur
Tapi, kalimatmu telah menghancurkan nuansa
Menyusup lebur dalam pengakuan
Malam akhir bulan yang fana,
Bandung, Oktober 2004
PELUKIS ASA (2)
(Tetap) buat: neng Ayu..
Ada yang ingin diucapkan angin pada kegelapan
Malam yang mengalirkan badai bunga
Ada yang ingin diucapkan angin pada dingin
Mungkin kegelisahan kuas yang gemetar
Pada bulan dan sepotong langit
Sebuah lukisan tak kunjung selesai
Kini sajak-sajakku mungkin tinggal jejak-jejak
Sejumlah episode dan sekian kalimat yang hancur
Dalam cerita tentang pusaran mimpi bertuba
Kemanakah kita?
Kemanakah pergi?
Berdentang cuaca di koridor di gerai rambut
Berguguran dari tiang ke tiang
Seperti ingin memberhentikan waktu,
Jatinangor, Oktober 2004
MERANTAU
Selepas magrib
Lepaslah sauh saat peluit ditiup
Lalu papan-papan tua berderak menantang gelombang
Riak-riak cahaya bulan dan angin laut yang menari
Ada rindu di geladak
Pada lampu-lampu dermaga
Yang kian mengecil,
Lembar – Padang Bai, September 1999
RESAH
Pada senja ada bias-bias pecah mengubur desah
Pada subuh ada gairah-gairah mengikat patah
Lalu, rindu pun meleleh seperti geliat ASI yang basi
Tumpah di bilik-bilik,
Saritem, Desember 2003
SERENADE FAJAR
Pada negeri-Mu di pesona bunga
Di penghujung musim ku ketuk kabut
Saat Jatinangor masih bercadar kelam
Embun sedingin subuh
Tuhan..
Bolehkan aku berdzikir tanpa tasbih?
Dan ku hitung asma-Mu dengan kalkulator?
Jatinangor, Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar