PADA SUATU MUSIM
Rinduku pada Dewi Anjani* adalah alunan seruling batang padi
yang membelah ngarai
Rinduku pada Putri Mandalike** adalah hembusan angin laut
yang menderu-deru
Hari ini aku melihat hujan
Teringatlah sungai di batas desa ..
Seberapa besar airnya mengalir?
Siapa sekarang yang sedang memancing?
Hari ini aku menyaksikan rumput ditanah berlumpur
Teringatlah sawah dibelakang rumah ..
Siapa sekarang yang sedang membajak?
Seberapa banyak nanti padi bisa dipanen?
Hari ini aku melihat gadis-gadis berdandan seperti turis bule
Teringatlah para dedare*** dan mantan pacarku dikampung ..
Seramai apakah sekarang jika malam mereka mengaji di santren?****
Siapa sekarang yang paling kuat menjinjing air dikepala?
Lalu aku mulai menyusun rencana
Siang ini aku mau mencari singkong di montong*****
Dan sehabis ashar memetik mangga dirumah paman
Semua itu untuk oleh-oleh waktu apel nanti di malam minggu,
Sungguh.. saat ini aku tiba-tiba ingat ibu dirumah!
(Bandung, Januari 2008)
*Cerita legenda rakyat Lombok tentang putri di gunung Rinjani
**Cerita legenda rakyat Lombok tentang putri di pantai selatan Lombok
***Gadis / perawan (bahasa sasak)
****Langgar / surau (bahasa sasak)
*****Ladang yang berbentuk bukit kecil, biasanya terletak ditengah persawahan dan biasanya juga digunakan sebagai lahan menanam singkong / ubi (bahasa sasak)
RIUH DI HATI SENDIRI
Kepada: Tahun Baru ‘kelas dua’
Sederet kalimat telah terkirim diawal tahun
Kata-kata tanpa taring lewat hape yang ketinggalan zaman
Sekedar memperteguh identitas yang selalu diperdebatkan
(Persetan dengan mereka karena aku hanya ingin menghormati Muhammad saja, atau juga empat lelaki sahabatnya)
Tidak ada gerimis atau hujan namun mendung sempat menggertak bumi
Semenjak siang ..
Selepas isya jalanan masih seperti malam-malam sebelumnya
Kecuali sederet kanak-kanak yang membawa obor berbaris-baris
(minyak tanah yang langka dengan harga yang membumbung tinggi tentulah bukan masalah buat mereka)
Hanya mereka yang mempersembahkan suara sebenarnya
(kelak kalau sudah besar mungkin mereka tidak akan pernah mau melakukannya lagi, buat apa? Malu dong pawai obor kayak ibu-ibu PKK.. Tahun baru kan cuma tanggal satu Januri saja.. itu kata artis di tivi-tivi)
Setelah semua berlalu dan malam mulai merangkak lebih pekat
Aku bersenandung riuh
Aku membakar petasan dengan suara bedug
dan kembang api yang beraroma dupa
Aku berjoget riang dalam irama gambus, gamelan, marawis,
atau tari-tarian masa lampau
Hanya yang berbeda dengan pawai obor kanak-kanak itu adalah
semua yang kulakukan tanpa suara tanpa rupa tanpa aroma
Hingga tetes embun dan jerami patah pun bisa kau dengar dalam hening
Dan wangi nafas bayi pun bisa kau hirup dalam sunyi
Sebab aku melakukannya didalam hati saja.. dihati sendiri..
Maaf, malam ini aku membenci pemuda masjid apapun ..
(Jatinangor, malam Tahun Baru 1429 Hijriyah)
MENANTI KATA
Ku pacu kuda cinta lewat pipi ranum
Berharap keringatmu menetes dari helaian rambut harum
Berlari jutaan kilometer dan tentulah ia kini haus
Apa komentarmu?
Muak aku dengan orang-orang yang mencintaimu
Sebab aku hanya ingin berkasihmu saja
Langit malam kelam meretak-retak
Lalu suara-suara berlompatan menghibur perasaan
Dengan riuh rendah rayuan angin berhembus
Jauh dan dingin namun kedap ..
Kuda cinta telah kutambat dilentik bulu mata ..
Dan sementara ini aku tidak ingin bersuara dulu
Hingga tetes embun dan jerami patah pun bisa kau dengar dalam hening
Bagaimana komentarmu?
(Bandung – Jatinangor, Desember 2007)
Ket: Aku memakai dua kalimat itu sama untuk dua puisi yang berbeda dan satu judul tulisan (Pada Suatu Musim dan Menanti Kata serta judul untuk Surat Buat Ai). Alasanku adalah karena aku mencintai identitasku sama seperti aku menyayangi dan mencintai wanita (itu) ciptaan Tuhanku .. (G. Sulye Jati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar