CINTAI LINGKUNGAN UNTUK SELAMATKAN BUMI KITA : Iklan Layanan airbening21 Untuk Semua

Berbagi Apa Yang Bisa Dibagi

Selasa, 29 Januari 2008

tentang beberapa kawan

Pondok Nadin – Jatinangor, 15 Mei 2007 : Pkl. 10.00 malam

Owner

*Oleh: G. Sulye Jati

Bung.. Telor dadar sama asin, nasinya yang timbel aja. Oh ya pake tahu juga satu, goreng agak kering ya.. Makasih, Bung..! Rada cepet udah laper nih..”.

Ah senang juga rasanya dilayani. Setelah seluruh sisi hidup ini saya dedikasikan (walau mungkin kadang-kadang dengan terpaksa) untuk melayani (yang terakhir saya lakoni adalah profesi sebagai pelayan curhat), maka boleh juga kalau sekali-sekali saya yang dilayani. Tidak aneh juga tentunya, bukankah ada yang disebut dengan siklus? Jika kemarin anda ke kampus naik angkot dan saya jalan kaki (karena tidak punya ongkos), maka besok mungkin gantian saya yang naik angkot (karena ada kawan yang mbayarin) dan giliran anda yang jalan kaki (karena nguntit sang pujaan hati yang kebetulan lagi jalan). Itulah siklus, paling tidak menurut seorang kawan yang sering sekali saya jumpai di gerbang Unpad malam-malam.

Untuk masalah melayani dan dilayani, saya harap tidak ada yang akan protes sebab argumentasi yang akan saya sodorkan sudah cukup kuat; SIKLUS..!! Anda juga jangan ngotot untuk kemudian mengajak saya berdebat. Biar begini juga saya punya beberapa kawan kumpulan tukang debat yang mumpuni dan handal, yang pasti akan membantu saya untuk berdebat sangat alot dengan anda. Jadi, saya harap lupakanlah dan buang jauh-jauh niat anda untuk mengajak saya berdebat (terutama masalah siklus tersebut). Sebab jika anda mencoba nekat, maka sampai dower 1, 5 meter bibir anda dan sampai berbusa sekental sperma ludah anda tidak akan pernah menang berdebat melawan kawn-kawan saya itu.

Memang hebat. Untuk itulah saya banyak bergaul dengan mereka. Harapan saya, suatu saat nanti saya bisa juga ketularan hebat berdebat. Hal yang utama sehubungan dengan harapan saya itu adalah adanya pepatah “bergaul dengan penjual parfum, kita bisa juga ketularan wangi..”. Walaupun setelah sekian lama saya masih juga belum jadi ‘wangi’ seperti kawan-kawan saya yang tukang debat itu. Ataukah saya yang terlalu bodoh?! Ah.. entahlah, yang penting kawan-kawan saya sekarang ini sudah tambah hebat dan selalu siap membantu jika saya harus berdebat dengan siapapun (termasuk anda tentunya). Untuk sementara ini cukup itu saja dulu.. aman kan?!

Kembali kepada masalah melayani dan dilayani. Saya pernah berpikir kalau semua rumah makan akan melayani pembelinya. Sebab yang utama adalah saya sudah betul-betul haqqulyaqin dengan ‘kampanye’ rumah-rumah makan di semua tempat yang pernah saya kunjungi, bahwa PEMBELI adalah RAJA. Tapi, belakangan ini saya nampaknya harus mengkaji kembali ‘kesepakatan’ saya untuk tag line para warung makan tersebut. Pasalnya adalah beberapa pengalaman yang membingungkan buat orang dengan tingkat intelektual yang rendah seperti saya.

Daerah yang secara waktu lumayan panjang saya diami adalah Jatinangor. Sebuah kawasan pendidikan (???) di mana saya mendapat kesempatan untuk kuliah di kampus Fikom Unpad. Di Jatinangor ini bertebaran banyak sekali rumah makan yang anda sendiri mungkin akan sangat malas untuk mengitungnya (kecuali itu menjadi bagian dari tugas kuliah anda sendiri). Jika anda orang yang dermawan, maka bisa dipastikan sebanyak apapun duit anda sepertinya tidak akan cukup untuk membayari sekaligus semua rumah makan di Jatinangor dalam satu waktu. Dan yang paling penting adalah tidak semua rumah makan di Jatinangor ini mau memperlakukan pembelinya seperti raja. Sungguh..

Tidak usah jauh-jauh. Jika anda merasa lapar saat lewat di gerbang Unpad, saya sarankan anda untuk mampir di rumah makan padang yang ada di seberang jalan depan kantor Camat Jatinangor. Atau silahkan juga anda berkunjung ke warung makan (yang mengklaim dirinya menyediakan makanan khas sunda) di sebelah tukang photo copy dekat penjual pulsa belakang kios 24 jam. Saya beberapa kali kesana ‘mengantar’ perut saya untuk di isi. Sesuai dengan pengalaman saya, maka bisa dipastikan anda tidak akan dilayani seperti layaknya seorang ‘raja’. Anda akan melayani diri anda sendiri dengan cara mengambil sendiri makanan yang anda inginkan. Tatap muka anda dengan penjual makanan itu terjadi hanya saat anda membayar makanan (kecuali anda pura-pura minta izin ke kamar kecil untuk kemudian kabur..). Ternyata pengalaman ini tidak hanya terjadi di Jatinangor saja, tapi sudah ‘mewabah’ rata-rata ke seluruh tempat yang pernah saya kunjungi itu.

Pernah juga saya ‘mengeluhkan’ ini kepada seorang kawan. Sepertinya kawan tempat saya biasa berkeluh kesah ini sudah bisa menerima kondisi ‘siklus tag line’ rumah makan. Ini terbukti dari jawabannya yang mungkin terdengar bagi saya cukup diplomatis, “..ah, kau Bung.. memang sudah seperti itu kondisi sebagian besar rumah makan sekarang. Sebab, yang Bung jumpai dirumah makan itu bukan pelayan atau karyawan rumah makannya. Tapi, mereka adalah Owner rumah makan itu.. apa Bung tidak tahu?!”. Namun, lanjut kawan saya ini, tidak semua rumah makan itu seperti yang saya keluhkan. Di sini kesalahan saya adalah, “..tidak pernah makan di tempat yang mengharuskan pembeli menyediakan budget­-nya minimal 25 ribu untuk sekali santap..”, begitu mantap kawan saya ini memvonis saya to the point (dan saya mengakuinya dengan mantap pula..). Tapi, 25 ribu rupiah sekali santap untuk seorang perantau seperti saya?! Busyet dah, biadab dan dzalim betul pembuat daftar menunya.

Beberapa kawan saya belum lama ini telah sepakat untuk saling bergabung dalam menciptakan sebuah lapangan pekerjaan, yakni membuka usaha menjual makanan. Seorang kawan yang saya jumpai di kampus menceritakan jika kawan-kawan yang membuka usaha makanana itu sekaligus adalah owner juga dari warung makan yang mereka dirikan. Mereka adalah pemilik 100 persen saham dan berarti sekaligus juga pemilik yang sah dari usaha itu (termasuk juga “nama” tempat makan tersebut, jadi kalau ada yang mau membuka usaha jual makanan juga tapi dengan “nama” yang sama, maka ia harus mendapat izin dan membayar royalti pada kawan-kawan saya itu.. Luar biasa!!). Ketika mendengar itu, seketika terbayang dalam benak saya rumah makan di samping gerbang Unpad. Apakah kawan-kawan saya itu juga seperti itu ‘mengelola’ usahanya?

Saya pernah ‘dikuliahi’ oleh seorang kawan yang tergolong sebagai salah satu orang yang saya anggap hebat pula. Ia mengatakan bahwa salah satu cara untuk memecahkan masalah kaum buruh adalah dengan menjadikan semua buruh itu sebagai pemilik usaha. Menarik bagi saya, karena itu berarti semua orang akan jadi majikan. Wah.. agak terhibur rupanya saya sedikit, maklumlah orang seperti saya selalu saja berharap suatu saat bisa hidup berkecukupan. Apalagi sebagai bos, saya selalu bermimpi menjadi seperti itu.

Di sini menurut kawan saya yang hebat itu, orang paling tidak harus memulai dari mempunyai jiwa seorang owner. Semua orang harus membiasakan dirinya untuk berkarakter seperti layaknya owner. Walaupun juga saat ini, misalnya, orang tersebut sedang bekerja pada orang lain, sebagai buruh. Dengan karakter seperti itu, lanjut kawan hebat ini, maka si buruh tersebut pasti akan bekerja dengan sangat sungguh-sungguh dan tidak akan melakukan suatu hal yang akan merugikan perusahaannya. Kenapa? Karena ia sudah merasa sebagai ‘pemilik’ perusahaan itu, maka tentu saja ia tidak ingin ‘perusahaannya’ menjadi rugi atau bangkrut sampai gulung tikar segala. Terlongo-longo saya mendengar penjelasan yang sangat brilian tersebut. Memang hebat sekali kawan saya yang satu ini. Sepertinya ia sudah ditakdirkan untuk jadi orang hebat semenjak orang tuanya masih pacaran dulu.

Belajar menjadi seorang owner?? Harus saya lakukan itu!! Terbayang saya akan berpakaian rapi, sedikit klimis tentunya. Alangkah senang ibu dan keluarga juga kawan-kawan saya di kampung termasuk juga alamarhum bapak saya, begitu mengetahui saya menjadi seorang pemilik perusahaan. Tidak sia-sia pula saya jauh-jauh merantau menyeberangi dua selat lautan dan melintasi daratan pulau Jawa yang begitu panjang. Mengenai jenis usahanya nanti sajalah saya pikirkan. Apakah jual sendal, produksi pakaian bayi atau bandar buah-buahan di pasar induk Gedebage. Masalah itu nanti sajalah, sebab sekarang saya masih sibuk membayangkan kebahagiaan orang-orang di kampung saya itu.

Salah satu ciri khas seorang owner adalah ia bebas berbuat apa saja terhadap perusahaannya, temasuk juga para pekerjanya. Kalau tidak salah, mungkin itu yang disebut kebebasan yang mendekati ‘mutlak’ (rekrut pekerja sesuka hati dan pecat pekerja juga sesuka hati). Seperti itu juga, seorang dosen pun memiliki hak ‘mutlak’ untuk memberikan mahasiswanya nilai apa saja yang dosen itu inginkan. Terserah apakah mahasiswanya itu rajin, nakal, pintar, atau bego sekalipun. Masalah nilai itu suka-suka dosen dan tergantung juga pada ‘lobi-lobi’ mahasiswanya. Melihat hal tersebut, apakah berarti dosen tersebut adalah seorang (paling tidak mempunyai karakter) owner juga? Owner kampus atau mempunyai hak ‘kepemilikan’ atas nasib mahasiswa? Mungkin perlu sebuah diskusi yang alot dan lama untuk memecahkan pertanyaan tersebut.

Pada zaman dahulu kala, ketika dunia ini masih berbentuk kerajaan-kerajaan dan orang-orangnya masih suka saling berperang menggunakan panah, pedang, dan tombak, maka para pemilik kerajaan -sebagai ‘owner’ bagi rakyatnya- akan bebas sekali menghukum rakyat yang ia anggap bersalah (atau tidak ia sukai secara amat sangat subjektif sekalipun). Apakah kemudian orang-orang sekarang sangat mengagung-agungkan sejarah? Atau juga (positive thinking saya) mungkin karena mereka ingin melestarikan kebudayaan, maka gaya owner zaman baheula itu kemudian masih digunakan di kampus-kampus. Sampai saat ini..

Almarhum bapak saya dulu adalah seorang guru sejarah di sebuah SMP. Saya sendiri pun sangat menyukai pelajaran sejarah. Tapi, sepanjang pengetahuan saya yang sangat terbatas ini, tidak pernah ada himbauan (baik oleh guru di sekolah maupun oleh para aparat desa di kampung saya) untuk hidup menggunakan metode gaya para raja zaman dulu (maaf, di sini saya tidak meminta anda untuk menyingkat kata PARA dan RAJA menjadi kata PRAJA). Entahlah kalau kawan-kawan yang lain. Mungkin saja, sebab saat ini gaya itu sudah ‘dipraktikkan’ benar-benar (tanpa sensor dan pemeran pengganti) oleh sebuah kampus, tetangganya Unpad.

Mungkin karena para mahasiswa -yang potongan rambutnya seragam- itu merasa mereka adalah owner kampus tempat mereka belajar. Jika bukan mereka yang membangun kampus itu (maksud saya, mereka bukan pemegang saham seperti kawan-kawan saya yang membuka usaha makanan), paling tidak mereka telah merasa sebagai pemilik sah ‘para pendatang’ yang datang lebih belakangan dari mereka. Jadi mereka boleh berbuat apa saja semau dan sesuka hati seperti para panglima perang atau raja-raja zaman nenek moyang. Atau jangan-jangan mereka telah pula di kasih ‘kuliah’ oleh kawan saya yang hebat itu? Jadi, apa yang kemudian mereka lakukan adalah merupakan bagian dari praktik supaya bisa menjiwai. Sehingga diharapkan kelak mereka akan betul-betul berkarakter owner dan siap untuk menjadi seorang ‘pemilik’ perusahaan atau kantor tempat mereka bekerja. Kalau itu yang terjadi, bertambah rasa kagum saya kepada kawan saya itu. Memang hebat dia.. masih kuliah tapi sudah bisa memberikan ‘kuliah’ kepada seluruh isi satu kampus, walau mungkin secara tidak formal.

Seorang owner rumah makan bisa juga merangkap sebagai karyawan bagi rumah makan yang dikelolanya. Setidaknya ini bisa saya lihat dibeberapa tempat yang saya tahu persis (kemudian) kalau orang itu adalah pemilik yang sah dari rumah makan tersebut. Tentu saja kemudian dari penampilan dan gayanya (biasanya) akan sedikit berbeda dibandingkan orang yang betul-betul hanya bekerja sebagai karyawan atau pelayan biasa. Jangan salah, ‘teori’ ini bukan saya dapatkan dari kawan hebat saya, tapi betul-betul dari ‘penemuan’ sendiri. Asli saya alami..

Sebagai seorang kawan yang baik, tentu juga saya harus ikut berbahgia jika ada kawannya yang telah sukses mendirikan sebuah usaha sendiri. Jika usaha yang dibukanya itu adalah sebuah usaha menjual makanan, maka cara yang baik adalah datang kesana untuk membeli makanan layaknya seorang pelanggan. Tapi, tujuan lain yang juga ingin saya lakukan adalah ingin mengucapkan selamat dengan sedikit doa semoga usahanya semakin lancar dan sukses. Mungkin saja nanti setelah kawan-kawan saya itu sukses, mereka akan merekrut saya menjadi karyawannya. Sebab saya sendiri juga tidak bisa memastikan apakah nanti saya juga akan bisa menjadi seorang owner seperti mereka atau tidak. Sedikitnya saya tahu juga kalau menciptakan lapangan pekerjaan atau mencari pekerjaan mungkin agak susah di zaman seperti sekarang ini.

Luar biasa sekali kawan-kawan saya ini. Para generasi muda harapan bangsa dan kebanggaan orang tua (mungkin juga harapan para calon mertua). Mungkin merekalah orang-orang yang dimaksud oleh tujuan pendidikan negeri ini. Sekelompok orang yang selalu disebut-sebut dalam setiap pidato Bapak Presiden ketika hari Sumpah Pemuda tentang generasi muda harapan bangsa. Selalu diobrolkan ibu-ibu ketika arisan, tentang kriteria calon suami buat anak gadisnya. Senantiasa dibahas oleh bapak-bapak saat rapat pengurus RW, tentang sosok ketua Karang Taruna yang baik dan berkredibilitas. Masih muda dan bersemangat, sudah bisa berdikari (tidak sekedar bisa mandi sendiri) dan tentunya sudah bisa menciptakan lapangan pekerjaan (paling tidak untuk mereka sendiri). Agak malu saya sama diri sendiri.

Disini, tidak perlu dululah kita mempersoalkan apakah jenis usaha yang mereka jalankan itu memang sudah sesuai dengan bakat dan cita-cita mereka sebelumnya. Itu tidak penting menurut saya. Toh, bakat itu mungkin bisa dibentuk belakangan dan cita-cita juga bisa ditentukan nanti saja. Setelah kita sukses pastinya.. Yang penting berkreasi dulu dan tentu saja halal!!

Saya merasa agak berdosa dengan kawan-kawan owner saya itu. Belum apa-apa saya sudah ‘lancang’ untuk mempersepsikan kawan-kawan owner saya itu akan sama dengan para owner di semua warung makan yang pernah saya kunjungi. Sialan juga para pemilik rumah makan itu. Setelah mereka membentuk opini saya tentang tag line bahwa pembeli itu adalah seorang raja (yang ternyata saya rasa keliru), sekarang mereka juga (tanpa pernah ‘mengkuliahi’ saya) sudah membuat saya su’udzon kepada kawan-kawan baik saya sendiri. Bedebah juga..!!

Sebab ternyata tidak. Tidak sama sekali… Ternyata di tempat makan kawan-kawan saya ini, saya diperlakukan betul-betul seperti raja. Ya.. Saya dilayani!! Datang dan kemudian bertegur sapa dengan tidak mengurangi keakraban kami selama ini. Pesan beberapa menu yang kira-kira muat dengan kemampuan saku seorang musafir kelana (baca: kaum miskin kampus sekaligus perantau kere) dan saya tinggal duduk saja menunggu pesanan diantar. Ya.. duduk saja dengan santai dan nyaman seperti seorang raja!! (Sekali lagi) Seperti seorang RAJA!!

Seorang owner perusahaan koran atau majalah, pemilik saham sebuah bisnis jamu wedang jahe, termasuk juga yang menjadi pemilik sah sebuah pabrik dodol, tidak pernah saya jumpai (atau mungkin tidak pernah saya dengar dari siapapun kawan saya yang pandai dikampus) baca koran, minum bajigur, atau juga duduk dengan santai makan-makan dodol dengan pelanggan atau pembeli (baca: raja) yang dilayaninya. Kalau itu tidak pernah terjadi diseluruh penjuru nusantara tercinta ini atau juga dibelahan planet bumi manapun, maka di warung makan kawan-kawan owner saya ini hal itu adalah pengecualiannya. Saya betul-betul duduk dengan pelayan.. ehh maap, maksud saya dengan owner­-nya warung makan dan menyantap makanan bersama. Mungkin juga dengan menu yang sama (saya tidak begitu sempat untuk memperhatikan menu yang disantapnya dengan begitu nyaman).

Dalam kisah hidup saya sebagai bagian dari rakyat proletar, paling tidak saya mesti berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada kawan-kawan saya para owner itu. Sebab, merekalah yang telah memperlakukan saya seperti tag line yang saya ketahui. Sekaligus juga telah memberikan saya pengalaman yang amat sangat baru dalam cerita hidup saya ini, bahwa salah satu kewenangan owner yang lain adalah ia boleh makan bersama ‘raja’ yang sedang dilayaninya kapan saja ia mau, dimeja yamg sama.

Sambil menghirup segelas kopi hitam (pesanan dari warung tenda “cita”) plus menghisap sebatang rokok yang sudah gepeng pemberian seorang kawan di gerbang Unpad –sekitar jam sepuluh malam- saya melamun dengan khusyuk, apakah saya benar-benar pernah jadi seorang ‘raja’? Terpikir juga kiranya saya untuk bertanya kepada seluruh kawan-kawan saya yang hebat. Sebab mungkin cuma mereka yang bisa menjelaskan atau memutuskan persoalan saya ini. Atau jika masih penasaran, mungkin sekali-sekali saya harus mencoba pula untuk makan di tempat yang mengharuskan calon pembelinya punya isi saku minimal 25 ribu untuk sekali ‘suap’ (dengan resiko setelah itu mungkin saya harus puasa seminggu). Ah sudahlah.. Biar saja apapun kata orang, yang penting saya pernah dilayani seperti ‘raja’. Titik…!!!

*Sang Petarung Kehidupan

“… ketika akhirnya saya memutuskan untuk menghibahkan tulisan ini kepada kawan-kawan saya yang mau mempublikasikannya, maka kawan-kawan owner saya itu telah memutuskan juga untuk kembali ke bangku kuliah … dalam arti kata, kuliah memang harus diutamakan. Tepat waktu atau pada waktu yang tepat, apapun itulah …”

Tidak ada komentar: